Menjelang Pemilu, Harapan pada Transisi Demokrasi di Myanmar Meredup
Myanmar akan melaksanakan pemilihan umum, Minggu (8/11/202). Etnis minoritas Rohingya di pengungsian ditinggalkan dalam pesta demokrasi ala Myanmar. Identitas mereka tetap dicabut dan tidak diakui sebagai warga negara.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Hnin, seorang guru berusia 21 tahun, pada awalnya tumbuh dengan mengidolakan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang kini memimpin negaranya. Tapi, kini Hnin berpaling ketika ia pergi ke tempat pemungutan suara, Minggu (8/11/2020). Hnin memutuskan tidak lagi mendukung sang idola pada pemilihan umum Myanmar yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.
”Saya tidak percaya lagi padanya. Jalan yang dia coba ambil untuk menuju demokrasi, tidak mungkin,” katanya. Dalam penilaian Hnin, Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian 2015, gagal memenuhi janji untuk menyatukan rakyat Myanmar.
Hnin adalah satu dari puluhan aktivis kelompok mahasiswa di balik protes anti-pemerintah dan penyebaran selebaran berisi ketidakberesan kerja pemerintah ke seluruh negeri dalam beberapa bulan terakhir. Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma (ABFSU) adalah kelompok yang mendesak pemboikotan pemungutan suara, kelompok yang memendam kekecewaan mendalam terhadap kondisi negara mereka.
Langkah mereka ditanggapi dengan tindakan keras. Sembilan aktivis dijatuhi hukuman penjara, dua di antaranya dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena dituduh menyebabkan kerusakan publik di tengah dakwaan lainnya. Adapun 10 aktivis lain yang menjalani persidangan masih berada dalam tahanan, sedangkan aktivis lainnya bersembunyi untuk sementara waktu, menghindari kejaran aparat dan teralis besi penjara.
Perwakilan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai Suu Kyi dan pemerintah tidak menanggapi permintaan komentar untuk artikel ini. Sementara pembela Suu Kyi mengatakan, sikap para mahasiswa yang mengharapkan perubahan yang cepat setelah setengah abad militer berkuasa tidaklah realistis. Bahkan, dinilai menghambat kemajuan secara bertahap yang tengah diupayakan Suu Kyi dan politisi di belakangnya.
”Setiap orang berusaha keras untuk mengusir kediktatoran. Mereka (para mahasiswa) membuat masalah. Ini jelas tidak bisa diterima,” kata Thawbita, seorang biksu Buddha pendukung Suu Kyi.
Adakah masa depan?
Pada bulan Maret, ABFSU memulai kampanye ”tidak ada lagi perang" di negara itu. Anggota ABFSU memasang poster dan membagikan selebaran, menyebarkan idealismenya tentang perdamaian dan penghentian perang di Negara Bagian Rakhine. Para mahasiswa itu memasang poster dan membagikan selebaran yang mengecam keras perang di Negara Bagian Rakhine.
Rakhine, wilayah yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, merupakan negara bagian tempat tinggal bagi 730.000 warga Muslim Rohingya. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2017, militer Myanmar mengusir warga Rohingya keluar dari Rakhine dengan niat melakukan genosida. Hal itu dibantah keras militer dan Pemerintah Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi. Militer beralasan, mereka mencoba memadamkan pemberontakan.
Mohammad Yusuf (65), warga Rohingya yang tinggal di Cox’s Bazar, Bangladesh, lokasi pengungsian terbesar di dunia, mengatakan bahwa hak suara mereka telah dicabut Pemerintah Myanmar sejak tahun 2010. Yusuf lahir dan besar di Rakhine. Ia telah menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga Myanmar sejak tahun 1974.
”Tidak bisa memberikan suara membuat saya merasa sangat sedih. Rasanya seolah-olah kami sudah mati dan kami tidak penting,” ujarnya.
Mohammad Ismail (35), pengungsi Rohingya lainnya, menilai Pemerintah Myanmar tidak tertarik untuk menerima kehadiran mereka di tanah kelahirannya. ”Bahkan, jika kami bisa kembali suatu hari nanti, apakah mereka mengizinkan kami untuk memilih kembali? Kami punya anak. Apa yang akan terjadi pada mereka kalau kami tidak mendapatkan hak dan kewarganegaraan. Bagaimana mereka akan bertahan?” kata Ismail.
Pemerintah dan militer sejak 2015 telah melucuti identitas warga Rohingya. Kini, hampir satu juta pengungsi Rohingya tidak memiliki bukti asal usul mereka.
Yusuf mengatakan, hak atas identitas dan hak memilih adalah penting. ”Kami ingin anak-anak kami menjadi insinyur dan pengacara suatu hari nanti. Tetapi, saya tidak melihat ini terjadi kapan pun di masa depan,” kata Yusuf.
Hal inilah yang membuat Hnin dan kawan-kawannya di ABFSU menggugat keberadaan militer dan pemerintahan sipil boneka Myanmar. Di kota besar dan kecil di seluruh negeri, para mahasiswa telah mendistribusikan pamflet dan memasang poster dengan slogan-slogan, seperti ”kediktatoran harus gagal” dan ”menentang fasisme pembunuh” dan lain-lain. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mencabut pembatasan di internet di Rakhine.
Hnin bersimpati dengan ratusan ribu korban perang karena dia sendiri, yang dibesarkan di Negara Bagian Kachin Utara, juga mengalami dampak kekejaman perang. Perang telah merusak kampung halamannya. Dia juga menilai, pemerintahan sipil tidak melakukan apa pun untuk menghentikan konflik dan sebaliknya menjadi ”boneka” militer.
Pemerintahan sipil tidak berbuat banyak untuk untuk mengubah konstitusi 2008 yang menjadi landasan utama kekuatan militer, termasuk hak veto bila ada yang menginginkan perubahan konstitusi itu sendiri. ”Sebagai guru, saya ingin masa depan yang lebih baik untuk anak-anak. Dengan konstitusi ini, tidak ada (perubahan) yang akan terjadi,” kata Hnin.
Kemunduran
Maya Tudor, dosen Blavnik School of Government di Universitas Oxford yang mempelajari transisi demokrasi, mengatakan bahwa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) telah gagal membuat perubahan demokratis selama berkuasa. Alih-alih melakukan demokratisasi, NLD menekan kebebasan pers dan menuntut para pengkritik pemerintahan dengan ancaman penjara, sebuah kebalikan dari prinsip demokrasi itu sendiri.
”Janji pendalaman demokrasi yang dipimpin NLD telah menguap di tengah kemunduran. Transisinya sangat membeku,” katanya.
Sejumlah menteri pernah mengatakan, harapan rakyat tentang hal yang ingin dicapai NLD pada periode pertama kekuasaannya terlalu tinggi. Mereka menolak bila dikatakan tidak ada capaian apa pun selama NLD berkuasa. Mereka menyebutkan, pemerintahan NLD telah mencabut beberapa peraturan perundangan era junta militer yang menindas. Mereka berencana melakukan reformasi lebih lanjut.
Pemerintah melarang pelaksanaan pemungutan suara di 50 kota di seantero Myanmar dengan alasan keamanan. Hal ini menyebabkan banyak rakyat Myanmar, di luar warga Rohingnya di pengungsian dan Rakhine, tidak bisa memilih.
Richard Horsey, seorang analis dari International Crisis Group yang berbasis di Yangon, mengatakan, pada 2015 banyak etnis minoritas melihat partai Suu Kyi sebagai sekutu alami. ”Tapi, kini mereka sekarang melihat NLD sebagai musuh, memerintah untuk kepentingan mayoritas,” katanya. Skenario terburuk, kondisi ini bisa memicu lebih banyak konflik bersenjata. (REUTERS)