Kehidupan Masyarakat Tradisional Tao Tergerus Pariwisata
Masyarakat Tao di Taiwan meminta pemerintah setempat agar membatasi jumlah wisatawan yang datang.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sejak pandemi Covid-19 merajalela ke banyak negara, masyarakat dunia akan mengenang tahun 2020 sebagai tahun larangan bepergian dan liburan yang batal. Namun, bagi penduduk asli Tao di Pulau Anggrek, Taiwan, tahun ini merupakan tahun wisatawan yang membeludak, belum pernah terjadi sebelumnya.
Pulau kecil yang berada 90 kilometer di lepas pantai tenggara Taiwan itu merupakan tempat tinggal bagi 4.700 warga etnis Austronesia Tao atau suku Yami. Beberapa tahun terakhir, pulau itu menjadi tujuan liburan paling populer bagi wisatawan domestik dan mancanegara.
Sejak pemerintah memberlakukan larangan penerbangan internasional akibat Covid-19, Pulau Anggrek atau Pongso No Tao tiba-tiba kebanjiran wisatawan domestik menjadi 220.000 orang. Pengunjung yang mendadak banyak itu membebani sumber daya alam dan penduduknya.
Masyarakat Tao sehari-hari mencari nafkah dengan mencari ikan. Mereka bermigrasi dari Pulau Batan, Filipina utara, sekitar 800 tahun lalu. Mereka mempunyai bahasa, sistem kepercayaan, dan budaya sendiri, seperti bangunan tatala berbentuk kapal, rumah bawah tanah, dan sistem pertanian. Sayangnya, Pulau Anggrek juga menjadi tempat pembuangan limbah nuklir sejak 1982 dan diprotes warga.
Akibat pandemi Covid-19, otoritas Taiwan mendorong 24 juta penduduknya untuk menghabiskan liburan musim panasnya di dalam negeri saja. Ditawarkan subsidi dan diskon biaya perjalanan. Hasilnya, selama musim panas, banyak feri yang ke Pulau Anggrek dan akomodasi di sana terisi penuh.
Dengan sekitar 82.000 pengunjung pada Juli dan Agustus saja, kehidupan tradisional masyarakat di sana kini terancam. ”Dulu, tempat ini bersih dan indah. Sejak banyak orang datang, semua tempat dipenuhi sampah dan limbah,” kata Lu Mai dari Aliansi Aksi Pemuda Pulau Anggrek.
Untuk mengatasi sampah, para pemilik hotel meluncurkan program ”setiap orang bawa pulang 1 kilogram” khusus untuk wisatawan. Kantor pemerintah kota juga menginisiasi skema donasi 7 dollar AS per pengunjung untuk membantu pembiayaan transportasi sampah ke Taiwan daratan. Namun, sampah yang terdampar di pulau itu banyak juga yang datang dari China, Vietnam, dan Hong Kong.
Selama tujuh tahun terakhir, masyarakat Tao membersihkan laut setiap tahun dengan bantuan dana dari Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Taiwan (EPA). Selain sampah dan polusi, banyaknya kapal pukat nelayan Taiwan juga membuat frustrasi nelayan biasa.
”Tengok saja ke pasar. Ikan yang ditangkap semakin kecil dan sedikit. Nelayan Tao biasanya hanya menangkap ikan yang dibutuhkan untuk makan saja lalu berbagi dengan sesama warga. Sekarang orang menjual ikan-ikan kecil,” kata pemandu wisata, Sima Papo.
Perubahan iklim juga menjadi faktor yang merusak lingkungan laut yang menjadi sumber kehidupan Tao. Pada tahun ini, untuk pertama kali sejak 1964, Taiwan tidak mengalami satu pun topan badai. Topan memiliki peran penting untuk mencegah kenaikan suhu laut yang bisa merusak.
Greenpeace Taiwan menyebutkan musim panas ini menyebabkan pemutihan karang yang terburuk sepanjang 22 tahun terakhir. ”Suhu laut di kedalaman 30 meter belum pernah setinggi ini,” kata Ya Ken, instruktur selam dan relawan pembersih laut.
Pemutihan karang ini memengaruhi pariwisata dan cadangan ikan. Masyarakat Tao khawatir jika tekanan pariwisata dan perubahan iklim semakin parah, kehidupan warga Tao akan terpengaruh.
Untuk mencari penghidupan yang lebih baik, hampir separuh masyarakat Tao di Pulau Anggrek yang terkadang harus tinggal dan bekerja di kota-kota di Taiwan. Ini menyebabkan terjadinya eksodus anak-anak muda dari Pulau Anggrek sehingga terjadi kekurangan SDM.
”Anak-anak muda biasanya membantu membangun rumah-rumah bawah tanah dan rumah tatala. Perempuan yang harus bertani dan memproduksi makanan. Tidak ada yang mau bertani karena tidak menghasilkan uang,” kata warga Tao, Ah Shan.
Kepala Suku Ivalini Sheng An juga mengeluhkan kini orang hampir tidak bisa melihat laut karena banyaknya bangunan. Pembangunan pariwisata telah mengikis budaya tradisional masyarakat Tao.
Masyarakat Tao meminta pemerintah agar membatasi jumlah wisatawan yang datang. Liu Shu-hao dari departemen pariwisata pemerintah daerah Taitung berjanji sudah membicarakan ini tetapi belum bisa berjanji akan bisa membatasi jumlah wisatawan dalam waktu dekat.
Pemandu wisata, Papo, menilai pemerintah terlalu idealis dan rakyatlah yang menderita. ”Tidak ada yang menangani sampah karena banyak warga yang sibuk berbisnis pariwisata dan melayani wisatawan,” ujarnya.
Liu menambahkan, sulit menjelaskan persoalan yang dihadapi masyarakat Tao kepada publik. ”Budaya Tao ini berbeda. Jadi, kita biarkan saja masyarakat Tao mengelola pariwisata di Orchid Island dengan cara mereka sendiri,” ujarnya. (REUTERS)