Eropa Perkuat Pasukan Elite di Afrika, Perancis Tidak Memerangi Islam
Satuan Tugas Takuba, pasukan elite militer negara-negara Eropa, memulai tugas aktifnya untuk membantu menstabilkan situasi keamanan di wilayah Sahel, Afrika.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
AL-ANDALUS / AFP
Dokumentasi: Foto tanpa tanggal yang dirilis Al-Andalus pada 23 Mei 2012 ini memperlihatkan Abdelmalek Droukdel alias Abu Musab Abdul Wadud, Pemimpin Al Qaeda di Maghribi (AQIM), bersama anggota pasukannya di Azawad, negara bagian yang tak diakui, di Mali bagian utara.
BAMAKO, KAMIS —Negara-negara Eropa mengerahkan personel militer terbaiknya untuk memperkuat Satgas Takuba, pasukan elite gabungan untuk memerangi kelompok teror di wilayah Sahel, Afrika.
Mereka akan mendampingi militer lima negara di wilayah itu, yaitu Chad, Burkina Faso, Mali, Niger, dan Mauritania, untuk meningkatkan kemampuan dalam memerangi kelompok teror di sana.
Semula, mayoritas anggota Satgas Takuba diisi oleh Perancis. Namun, sekarang pangkalan di Mali bagian utara yang menjadi markas utama Satgas Takuba dihiasi bendera Perancis, Estonia, dan Swedia.
”Bagi unit kami, ini untuk pertama kalinya bekerja sama dengan militer Perancis. Sejauh ini tidak ada kendala,” kata seorang anggota pasukan Estonia.
Penguatan terjadi setelah serangan teror di Perancis dan Swedia belum lama ini. Pada Maret lalu, negara-negara Eropa, seperti Belgia, Ceko, Denmark, Estonia, Jerman, Belanda, Norwegia, Portugal, Swedia, dan Inggris, membuat komitmen politik untuk mengirim pasukan ke Mali.
Pasukan khusus Perancis saat itu juga menyatakan akan berpartisipasi meski sebenarnya sudah cukup lama berada di kawasan bergolak tersebut.
Perancis sudah menempatkan 5.100 personel militernya di Sahel sebagai bagian Operasi Barkhane sejak 2013. Sementara PBB telah menempatkan sekitar 13.000 personel pasukan penjaga perdamaiannya.
AFP/MARCO LONGARI
Safira, seorang Fulani yang nomaden, duduk di atas tikar jerami di luar gubuk keluarganya di sebuah kamp Fulani, Dosso, Niger, pada 22 Juni 2019.
Menurut Al Jazeera, tugas mengamankan wilayah Mali dan Sahel adalah misi paling berbahaya.
Krisis keamanan di wilayah itu dimulai ketika kelompok separatis dan bersenjata mengambil alih Mali utara yang mendorong adanya intervensi militer Perancis untuk mencegah keruntuhan Mali.
Namun, sejak itu, situasi memburuk dan kelompok bersenjata memperluas jangkauan mereka, mengeksploitasi kemiskinan serta segregasi umat beragama dan suku untuk merekrut anggota baru.
Dua aktor utama kekerasan bersenjata terus-menerus di wilayah itu adalah Jama’at Nasr al-Islam wal Muslimin (JNIM) dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang terkait dengan Al Qaeda (ISGS). Milisi garis keras lainnya adalah Al Mourabitoun, Ansarul Islam, Plateforme, dan Boko Haram.
Menurut data PBB, serangan telah meningkat lima kali lipat di Burkina Faso, Mali, dan Niger sejak 2016. Tahun lalu, konflik di wilayah ini telah mengakibatkan lebih dari 4.000 warga tewas.
Di Burkina Faso, dalam 12 bulan terakhir, lebih dari 700.000 orang mengungsi. Begitu juga dengan daerah konflik Mali dan Niger.
REUTERS/REUTERS TV
Dokumentasi: Beberapa kendaraan terbakar di luar Splendid Hotel di Ouagadougou, Burkina Faso, saat terjadi pengepungan oleh kelompok militan pada foto yang diambil dari tayangan video, 15 Januari 2016.
Bukan melawan Islam
Dalam suratnya kepada Financial Times, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan, ada kesalahan pengutipan oleh media Inggris itu. Dia mengatakan, Perancis memerangi kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam, bukan memerangi agama Islam.
Macron menyebutkan, surat kabar Inggris itu menuduhnya telah menstigmatisasi Muslim Perancis untuk tujuan pemilihan serta menumbuhkan iklim ketakutan dan kecurigaan terhadap mereka.
”Saya tak akan mengizinkan siapa pun mengklaim bahwa Perancis atau pemerintahnya mendorong rasisme atas Muslim,” ujarnya.
Macron mengatakan, Perancis tak pernah melawan Islam. Rakyat Perancis memerangi kebencian dan ancaman terhadap generasi berikutnya. (AFP)