Sharjah, Kota Budaya dalam Bayang-bayang Gemerlap UEA
Kota ini tidak memiliki mal megah seperti di ibu kota negara, Dubai, atau mega proyek di Abu Dhabi. Namun, kota yang berlokasi di teluk ini mengukir peranya sebagai ibu kota budaya di Uni Emirat Arab.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Sharjah, kota yang terletak sekitar 30 kilometer timur laut ibu kota Uni Emirat Arab, Dubai, mungkin sering diabaikan oleh tamu yang datang ke negara itu. Para tamu, khususnya wisatawan, mungkin lebih banyak memilih berdiam di Dubai (Abu Dhabi) yang lebih mewah dan menawarkan banyak hiburan dibandingkan dengan kota Sharjah.
Namun, di balik itu, Sharjah, sebuah kota emirat yang sederhana, menyimpan pesona yang tak bisa diabaikan, yaitu seni, budaya, dan sejarah negara-negara Arab.
Kalender budaya
Emirat yang diperintah oleh Sheikh Sultan bin Mohamed al-Qasimi adalah emirat yang konservatif. Namun, bila menyangkut seni, budaya, dan sejarah, emirat ini menjadi yang terdepan di antara kota-kota lainnya di Uni Emirat Arab (UEA).
Pengakuan Sharjah sebagai Kota Budaya diberikan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan, UNESCO. Organisasi ini menobatkan Sharjah sebagai ibu kota budaya dunia Arab pada tahun 1998. Tahun lalu, Sharjah juga dinyatakan sebagai ibu kota buku dunia.
Kalender kebudayaannya telah berkembang dan dipenuhi berbagai aktivitas, mulai dari pameran buku, pameran seni dan budaya pada lebih dari selusin meuseum, serta berbagai macam festival, mulai dari festival fotografi, teater, puisi, hingga kaligrafi.
Di Museum Sharjah, beragam karya seni dipamerkan, mulai dari karya yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat di kota Sanaa, kota tua yang menjadi ibu kota Yaman, hingga karya seni yang menggambarkan pembantaian pengungsi Palestina oleh milisi Kristen yang menjadi sekutu Israel selama perang saudara di Lebanon.
”Kami menyediakan layanan artistik untuk dunia Arab,” kata Sultan Sooud al-Qassemi, seorang akademisi emirat terkemuka dengan setengah juta pengikut di Twitter. AL-Qassemi juga merupakan pendiri Yayasan Seni Barjeel yang didirikan tahun 2010. Yayasan ini telah memamerkan 1.000 karya seniman Arab modern dan kontemporer.
Pria berusia 42 tahun itu mengakui kalau Sharjah bukanlah emirat terkaya di kawasan Teluk. ”Tapi, dalam budaya, Sharja adalah yang terkaya,” kata mantan pengajar seni kontemporer Arab di beberapa kampus di Amerika Serikat dan Perancis itu. Koleksi benda seni dan budaya Sharjah memang tidak bisa disandingkan dengan koleksi Museum Louvre di Abu Dhabi, yang menarik dua juta pengunjung dalam dua tahun pertama operasinya. Atau seperti Dubai yang menjadi tuan rumah galeri seni kontemporer di dunia Arab.
Akan tetapi, Sharjah, dalam pandangan majalah ARTNews, adalah lokasi yang subur dan memiliki sejarah yang belum tersentuh, baik di daratan maupun perairan di sekitarnya, termasuk di dalamnya sejarah yang tertindas.
Keemiratan Sharjah pada minggu ini meluncurkan Badan Sastra Internasional Sharjah yang pertama di Teluk, dengan tujuan mempromosikan penulis Emirat dan Arab.
”Sangat mudah untuk terus mendukung seniman dari Eropa, tetapi seniman kami di sini yang membutuhkan dukungan, sumber daya, dan kepercayaan diri kami,” kata Manal Ataya, Direktur Jenderal Otoritas Museum Sharjah. Ataya mengatakan, banyak seniman Arab yang kurang terwakili secara global.
Inspirasi Qassemi untuk mengangkat karya para seniman Arab, terutama UEA, terjadi ketika dia mengunjungi Musee d’Orsay di Paris, Perancis. Dia melihat banyak orang berkumpul, antre, hanya untuk melihat karya Van Gogh.
”Eureka!,” kata Qaseemi dalam hati. Saat itulah dia bertekad untuk mengangkat dan membawa karya seniman Arab ke level global. Dia memimpikan para penikmat seni dan masyarakat umum berkumpul, mengantre utuk melihat karya terbaik seniman asal tanah Arab.
Hal itu adalah tantangan bagi Qaseemi dan para pegiat budaya Arab. Meski dunia Arab kaya akan seni budaya, generasi muda Arab tidak banyak yang menyadarinya.
”Kita harus melawan dominasi Barat dan visi orientalis di dunia Arab. Kita harus tahu seni lokal dan seniman Arab sebelum kita belajar tentang Picasso dan Dali,” kata Qaseemi.
Moza Almatrooshi, seorang pematung muda berbakat, mendirikan studio dan galeri seni untuk memajang karya-karyanya. Pematung muda asal Ajman, Almatrooshi, mencari pengalaman dan menyerap berbagai ide untuk menghasilkan karyanya dari sejumlah kota yang sempat dikunjunginya, termasuk London di Inggris, dan tentu saja Sharjah, yang dia gambarkan sebagai kota yang paling layak huni di UEA.
Almatrooshi pernah bekerja di Dubai. Namun, dia tidak kerasan di sana. ”Saya merasa seni di sana lebih fokus pada komersial, sementara praktik seni saya tidak terlalu komersial,” katanya.
Baginya, kehidupan Sharjah yang sederhana jauh dari kesan gemerlap dengan hanya beberapa gedung pencakar langit, gang, serta bangunan tua bersejarah. Kota itu dan kehidupannya adalah inspirasi bagi Almatrooshi.
Di tengah kehidupan yang sederhana, tantangan yang dihadapi seniman-seniman Arab adalah konservatisme yang mengakar di dalam kehidupan masyarakat, perbedaan pendapat yang tidak ditoleransi, hingga masalah sensor dan pembalasan. Sebuah dinamika yang memiliki efek pada kebebasan berekspresi para seniman, termasuk Almatrooshi.
”Seniman Barat dapat dengan bebas menunjukkan ide-ide yang tidak bisa kami lakukan. Bukan karena kami menentangnya, tetapi karena kami sedikit takut,” aku Almatrooshi.
Akan tetapi, hal itu dipandangnya sebagai tantangan. ”Bagaimana cara menyampaikan pesan ketika kita tidak dapat mengatakan semua yang kita inginkan,” katanya. (AFP)