Dengan kemakmuran yang diraih, wajar jika Korea Selatan menjadi tujuan para pencari suaka. Akan tetapi, negara makmur itu belum ramah terhadap mereka.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Daya tarik Korsel bagi pencari suaka itu terlihat dari data Badan Imigrasi Korsel. Seperti dilansir kantor berita Yonhap, Senin (2/11/2020), mengutip data badan itu, sejak 2013, saat Korsel menjadi negara pertama di Asia yang memberlakukan Undang-Undang Pengungsi, jumlah pencari suka terus meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari 1.574 pemohon tahun 2013, lalu 9.942 pemohon tahun 2017, melonjak menjadi 16.173 pada 2018, dan pada tahun lalu sebanyak 15.452 pemohon. Sejak pencatatan data pencari suaka mulai dilakukan pada 1994, saat ini total tercatat 70.254 pencari suaka di Korsel.
Tak sulit memahami, mengapa jumlah pencari suaka terus meningkat dan Korsel menjadi pilihan mereka. Pengungsi tak lepas dengan krisis yang terus-menerus terjadi di belahan bumi lain, akibat konflik, penindasan, kemiskinan, atau bencana alam. Korsel menjadi tujuan pilihan para pencari suaka karena kemakmuran yang dicapai. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, menempatkan Korsel masuk 10 negara kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Bangkit dari kubangan kemiskinan dan perang tahun 1950-an, negara itu pernah dijuluki salah satu ”Macan Asia” berkat keperkasaan perusahaan manufaktur otomotif, telekomunikasi, perkapalan, dan lainnya. Pada 2017, pendapatan yang diraup 10 raksasa bisnis, termasuk Hyundai dan Samsung, menyumbang 44 persen produk domestik bruto Korsel. Wajar jika negara itu memiliki daya tarik bagi pencari suaka.
Korsel menerima Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pengungsi Tahun 1951 pada 3 Desember 1992. Dengan mengikatkan diri pada konvensi itu, Korsel terikat pada hak dan tanggung jawab terkait masalah pengungsi, yang diatur dalam konvensi itu. Seperti diberitakan, dari sedikitnya 5.896 pemohon status pengungsi pada Januari hingga Agustus tahun ini, hanya 164 pemohon yang diterima. Dari jumlah itu, hanya 41 pemohon ditetapkan sebagai pengungsi, sedangkan 123 orang lainnya diberi izin tinggal sementara. Jelas, itu jumlah yang sangat kecil (Kompas.id, 2/11/2020).
Banyak faktor mengapa Pemerintah Korsel terkesan ”keras” dan ”kurang ramah” pada pencari suaka. Selain ada penilaian tentang klaim palsu sebagai pengungsi dan pengetatan kriteria pengungsi, juga ada sentimen xenofobia atau kebencia—karena takut atau waswas—di sebagian warga Korsel terhadap warga asing. Masih banyak juga warga negara berpenduduk 51 juta jiwa yang makin menua itu menekankan pentingnya etnis yang homogen.
Langkah ketat Seoul terhadap para pencari suaka, di mata oposisi, dianggap sebagai pembiaran sentimen xenofobia tetap subur di Korsel. Perlu kiranya semua elemen di negara itu mengenang kembali saat warga mereka menjadi pengungsi pada masa perang tahun 1950-an. Jika pengalaman sejarah ini menjadi kesadaran, pandangan negatif dan langkah terhadap para pencari suaka di negara itu akan berubah semakin baik.