Sudan, Mesir, Etiopia Kembali Rundingkan Konflik soal Bendungan Sungai Nil
Tiga negara, yaitu Etiopia, Mesir, dan Sudan, sepakat melanjutkan perundingan soal pemanfaatan air Sungai Nil Biru untuk Bendungan Renaisance Agung di Etiopia. Aliran Sungai Nil berpengaruh besar bagi Mesir dan Etiopia.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
KAIRO, SENIN — Tiga negara, yaitu Sudan, Mesir, dan Etiopia, memulai putaran terakhir perundingan pembangunan Bendungan Renaisans Agung Etiopia dan Sungai Nil Biru, Minggu (1/11/2020). Selama sepekan ini, diharapkan ketiga negara, dengan difasilitasi Organisasi Uni Afrika, Uni Eropa, dan Bank Dunia, bisa mencapai kesepakatan. Beberapa kali perundingan sebelumnya di antara mereka gagal menghasilkan kesepakatan.
”Dimulainya kembali perundingan trilateral GERD (Grand Ethiopian Renaissance Dam) merupakan penegasan kembali para pihak dalam perundingan yang dipimpin Afrika,” kata Cyril Ramaphosa, Ketua Uni Afrika, dalam sebuah pernyataan, Minggu.
Perundingan di antara ketiga negara sempat terhenti dua bulan terakhir setelah Mesir memilih keluar karena secara sepihak Etiopia pada Juli lalu melakukan pengisian air ke waduk tersebut. Mesir menilai, sebelumnya para pihak sepakat untuk tidak melakukan tindakan apa pun sebelum kesepakatan tercapai, termasuk soal pengisian air bendungan. Pembangunan bendungan tersebut menelan biaya hingga 4,6 miliar dollar AS.
Dalam pandangan Mesir, pemanfaatan air Sungai Nil Biru untuk bendungan di Etiopia akan memengaruhi rakyatnya secara keseluruhan. Mesir sangat bergantung pada Sungai Nil karena 97 persen irigasi dan air baku untuk air minumnya berasal dari sungai tersebut. Bagi Mesir, pembangunan bendungan itu sebagai ancaman nyata bagi rakyatnya.
Sudan di satu sisi berharap bendungan itu akan membantu mereka mengatasi banjir. Tetapi, pada saat yang sama, Pemerintah Sudan juga mengingatkan bahwa jutaan nyawa akan berada di dalam risiko besar jika Etiopia secara sepihak mengisi bendungan itu tanpa kesepakatan.
Selasa pekan lalu, pemimpin pemerintahan transisi Sudan Abdel Fattah al-Burhan dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi bertemu dan sepakat mendesak agar setiap kesepakatan adalah mengikat dan harus ditaati oleh semua pihak, termasuk Etiopia. Etiopia menolak usulan tersebut.
Sementara itu, Etiopia memandang proyek itu penting untuk pembangkit tenaga lisrik dan pengembangannya. Mereka bersikeras bahwa aliran air di hilir tidak akan terpengaruh meski lokasi dam tersebut hanya sekitar 15 kilometer dari perbatasan dengan Sudan di Sungai Nil Biru.
Selain digunakan sebagai pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 6.450 megawatt, bendungan ini digadang-gadang akan membawa keluar jutaan rakyat Etiopia dari kemiskinan.
Kementerian Irigasi Sudan dalam pernyataanya menyebutkan pembicaraan tiga negara akan membahas model baru perundingan agar para ahli dan pengamat memiliki peran yang besar untuk memaparkan pro-kontra penggunaan air Sungai Nil Biru tersebut.
”Kemudian, metode negosiasi baru akan diajukan kepada kepala negara untuk memutuskan mereka dan melanjutkan negosiasi berdasarkan jadwal yang tepat,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Dalam pernyataannya, Kementerian Irigasi Sudan juga mengatakan bahwa tim perunding dari setiap negara beranggotakan enam orang, termasuk dua perwakilan dari setiap negara. Tim tersebut akan meletakkan kerangka acuan, termasuk di dalamnya peran para ahli untuk memfasilitas pembicaraan. Mereka diharapkan sudah bisa memberikan laporan kepada para menteri yang menangani masalah pengairan ketiga negara terkait pada Rabu (4/11/2020) mendatang.
Pada Juli lalu, Addis Ababa mengumumkan telah mencapai target tahun pertama untuk mengisi waduk mega-bendungan, yang dapat menampung 74 miliar meter kubik (2.600 miliar kaki kubik) air.
Mesir dan Sudan telah lama menyerukan solusi politik untuk sengketa tersebut. Dua negara itu menyuarakan penolakan terhadap tindakan sepihak oleh Etiopia.
Blue Nile, yang naik di dataran tinggi Etiopia, bertemu dengan White Nile yang mengalir dari Afrika Timur di ibu kota Sudan, Khartoum, membentuk Sungai Nil, yang secara tradisional dianggap sebagai sungai terpanjang di dunia.
Anggota parlemen Etiopia mengatakan pada hari Senin bahwa ”tidak ada kekuatan di bumi” yang akan menghentikan penyelesaian bendungan dan bahwa mereka siap untuk mempertahankannya dari serangan internal maupun eksternal.
”Kami akan mempertahankan setiap kemungkinan serangan internal dan eksternal serta konspirasi, dan kami akan menyelesaikan bendungan itu,” kata anggota parlemen dari Majelis Rendah dalam sebuah pernyataan. (AFP/REUTERS)