Hampir 6.000 Pencari Suaka Mendaftar, Korsel Hanya Menerima 164 Orang
Selama masa Perang Korea 1950-1953, Korsel menjadi penerima bantuan militer dan kemanusiaan dari komunitas internasional. Namun, Korsel hanya memberikan status pengungsi kepada sebagian kecil pencari suaka sejak 1994.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
SEOUL, SENIN — Pemerintah Korea Selatan hanya bersedia menerima 164 pencari suaka pada tahun ini dari sedikitnya 5.896 pemohon. Isu imigrasi ini termasuk isu yang sering diperdebatkan di Korsel karena banyak warga Korsel masih menekankan pentingnya etnis yang homogen. Padahal, populasi Korsel yang berjumlah 51 juta jiwa itu kian menua dan penduduk usia produktif juga menurun.
Data Kementerian Kehakiman Korsel pada pekan lalu menunjukkan, ada 5.896 pemohon status pengungsi kurun waktu Januari hingga Agustus tahun ini. Jumlah itu turun sekitar 36 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pemohon terbanyak atau sekitar 18 persen berasal dari Rusia. Menyusul urutan terbanyak berikutnya adalah Mesir, Kazakhstan, Malaysia, dan India.
Dari 4.019 orang yang sudah menjalani seluruh proses seleksi, hanya sekitar 4 persen yang diterima atau diberikan tempat tinggal karena alasan kemanusiaan. Namun, mereka tidak mendapat status sebagai pengungsi. Jumlah ini turun 6 persen dibandingkan dengan tahun 2019 dan turun 16 persen dibandingkan dengan tahun 2018.
Korsel mulai menerima permohonan pengungsi sejak 1994 sesuai dengan hasil konvensi pengungsi PBB. Jumlah pencari suaka lalu melonjak sejak Korsel menjadi negara pertama di Asia yang mengadopsi Undang-Undang Pengungsi buatan Korsel tahun 2013. Jumlah pencari suaka pun melonjak menjadi 16.173 pemohon pada tahun 2018.
Namun, Korsel kemudian menutup pintunya setelah tiba-tiba negara itu kebanjiran warga Yaman yang masuk ke Pulau Jeju pada tahun 2018. Lalu, muncul kekhawatiran bahwa kejahatan dan penyakit sosial lainnya akan meningkat.
Berbeda dengan pengungsi dari negara lain, warga Korea Utara yang melarikan diri ke Korsel tidak dianggap sebagai pengungsi. Mereka akan otomatis menerima status kewarganegaraan.
Di Eropa, pemohon suaka turun tahun ini karena banyak negara yang menutup perbatasannya gara-gara pandemi Covid-19. Meski demikian, masih banyak negara yang menampung ratusan ribu pengungsi yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan. Namun, hanya sedikit negara di Asia, termasuk Jepang, yang mau menerima lebih banyak pengungsi.
Lembaga Human Rights Watch yang bermarkas di New York mengkritik kebijakan ketat Korsel terhadap pengungsi tahun ini. Lembaga itu mendesak agar Korsel menerima lebih banyak pengungsi dan bersikap transparan saat menyeleksi formulir permohonan suaka.
Xenofobia
Penolakan Pemerintah Korsel terhadap permohonan status pengungsi oleh ratusan pencari suaka dari Yaman di Pulau Jeju dikecam kelompok progresif Korsel yang menilai pemerintah membiarkan sentimen xenofobia. Juru bicara Partai Keadilan, Choi Seok, menuding Korsel mengabaikan tanggung jawabnya sebagai anggota PBB dan membiarkan sentimen publik itu memengaruhi keputusan kritis tentang hak asasi manusia.
”Pengungsi Yaman sudah berani menempuh bahaya apa pun dengan datang ke negara kita. Hanya untuk bertahan hidup. Sama saja dengan warga kita dulu yang datang ke negara-negara lain sebagai pengungsi perang. Jangan abaikan mereka yang berjuang untuk hidup,” kata Choi.
Kementerian Kehakiman Korsel, Rabu pekan lalu, menyatakan tidak akan memberikan status pengungsi kepada 400 warga Yaman. Sebanyak 339 orang di antaranya hanya akan mendapatkan izin tinggal dengan alasan kemanusiaan selama satu tahun. Permohonan izin tinggal oleh 34 pencari suaka ditolak. Sementara 85 pemohon lainnya masih ditunda dengan alasan masih perlu wawancara lebih lanjut.
Sebelumnya, Korsel sudah memberikan izin tinggal sementara kepada 23 warga Yaman. Para pengungsi Yaman bisa mendarat di Jeju dengan menggunakan kebijakan turis dan mereka mendapat bebas visa selama 30 hari. Mereka tidak diperbolehkan meninggalkan pulau itu.
Kedatangan para pengungsi Yaman tersebut diprotes warga Jeju dan warga ibu kota Seoul. Mereka menuntut para pengungsi segera dideportasi. Para pengungsi itu dituduh hanya pura-pura menjadi pengungsi serta memiliki tujuan utama mencuri pekerjaan dan mengancam keamanan warga setempat.
Selama masa Perang Korea 1950-1953, Korsel menjadi penerima bantuan militer dan kemanusiaan dari komunitas internasional. Namun, Korsel hanya memberikan status pengungsi kepada sebagian kecil pencari suaka sejak 1994. Salah satu penyebabnya karena budaya Korsel yang sangat menghargai homogenitas etnis dengan menjaga ketat Korsel dari orang luar.
Warga Yaman yang sudah menerima izin tinggal harus kembali mengajukan permohonan perpanjangan setelah masa satu tahun mereka berakhir. Jika situasi di Yaman membaik dan aman bagi para pencari suaka untuk kembali ke negaranya, Korsel akan menolak perpanjangan itu. Mereka yang mendapat izin tinggal sementara boleh meninggalkan Jeju, tetapi harus rutin melaporkan keberadaannya kepada pihak imigrasi. (REUTERS/AP)