Pemerintah dan militer Korut tidak menginginkan insiden itu terulang di masa mendatang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
PYONGYANG, JUMAT — Penembakan seorang pria warga Korea Selatan oleh militer Korea Utara pada September lalu adalah untuk membela diri. Insiden yang menewaskan pejabat perikanan Korsel itu juga dinilai sebagai kecerobohan Seoul karena tidak mengawasi warganya di titik panas perbatasan kedua negara.
Pada saat yang sama, Korut menuduh anggota parlemen oposisi Korsel telah memicu kontroversi atas insiden tersebut.
”Militer kami tidak bisa mengambil tindakan lain selain membela diri saat warga Korsel memasuki wilayah perairan Korut. Dia mencoba melarikan diri ketika kami mencoba mencegahnya,” demikian pernyataan militer Korut seperti dirilis kantor berita resmi KCNA, Jumat (30/10/2020).
KCNA menyatakan, sejak kejadian tersebut, militer Korut telah berupaya untuk mencari dan membawa jenazah yang mengapung di perairan agar bisa dikembalikan pada pihak keluarga. Namun, upaya itu, menurut KCNA, tidak berhasil. ”Kami sungguh menyesal,” tulis KCNA.
KCNA menyatakan bahwa pemerintah dan militer Korut tidak menginginkan insiden itu terulang di masa mendatang. Insiden itu dinilai menjadi bencana lanjutan dari hubungan kedua negara yang sudah retak.
”Kami tidak ingin melihat terulangnya preseden yang tidak menyenangkan, insiden yang tidak disengaja menyebabkan hubungan utara-selatan menjadi bencana. Ini adalah pendirian kami,” kata pesan KCNA.
Lembaga itu juga bersedia melakukan tindakan yang diperlukan untuk membangun hubungan keberlanjutan di masa yang akan datang. Namun, KCNA juga menuding Seoul telah melakukan tindakan tidak menyenangkan yang membuat rasa saling tidak percaya di antara kedua pihak kembali terbangun.
Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong Un sendiri sudah menyampaikan permintaan maafnya kepada pemerintah dan rakyat Korsel. Dalam permintaan maafnya yang jarang dilakukan, Jong Un menggambarkan insiden itu sebagai pembunuhan tak terduga dan memalukan.
Para pengamat menilai permintaan maaf itu sangat tidak biasa dan datang ketika hubungan kedua negara membeku. Selain itu, terjadi kebuntuan dalam negosiasi nuklir antara Pyongyang dan Washington.
Zona demiliterisasi
Menteri Unifikasi Korea Lee In-young, dalam sebuah forum di kota Cherwon, Korsel, menyerukan Korut untuk mengubah sikapnya dan mulai bekerja sama untuk mengubah zona demiliterisasi (DMZ) sebagai ruang eksperimen bagi keduanya untuk hidup berdampingan secara damai.
”Selatan dan Utara adalah komunitas tunggal kehidupan dan keamanan. Sekarang saatnya kita memperhatikan kemungkinan wilayah DMZ itu sebagai wadah kerja sama dalam mengatasi masalah, seperti kesehatan masyarakat hingga perubahan iklim,” kata Lee, dikutip dari kantor berita Yonhap.
DMZ, dengan panjang sekitar 250 kilometer dan lebar 4 kilometer, merupakan salah satu perbatasan yang paling dijaga ketat di dunia. Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut Kim Jong Un setuju dalam pertemuan puncak mereka pada 2018 untuk mengubah DMZ menjadi ”zona perdamaian” dan mengambil langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikan kesepakatan.
Lee mengatakan, segala sesuatu bisa dicoba dari lingkungan paling kecil, dalam hal ini DMZ, sebelum diuji coba ke wilayah yang lebih luas dan melibatkan komunitas yang lebih besar juga.
”Saya percaya bahwa setelah Selatan dan Utara bergandengan tangan, DMZ dapat diubah menjadi ruang eksperimental untuk hidup berdampingan. Di sana, perdamaian dan kemakmuran di Semenanjung Korea dapat diuji terlebih dahulu,” katanya.
Insiden pembunuhan warga Korsel oleh militer Korut September lalu, menurut In-young, menjadi pengingat bahwa wilayah perbatasan, termasuk di dalamnya NLL, harus menjadi titik awal dalam upaya hidup berdampingan secara damai, antara Korut dan Korsel. (AFP/REUTERS)