Sultan Abdullah, Raja Penenang di Tengah Gejolak Politik Malaysia Saat Pandemi
Raja Malaysia Sultan Abdullah (61) sudah lama dikenal sosok yang memenangi hati warga dengan sikapnya yang rendah hati dan citranya yang membumi. Saat politik Malaysia bergejolak, ia turun gunung menjadi figur penenang.
Sejak awal pandemi, rakyat Malaysia disuguhi drama perebutan kekuasaan politik. Drama tahun ini dimulai dari berkurangnya dukungan anggota parlemen terhadap PM Mahathir Mohamad yang mengakibatkan pemimpin berusia hampir satu abad itu terdepak dari kekuasaannya. Mahathir kemudian digantikan oleh PM Muhyiddin Yassin, mantan anak didiknya.
Akan tetapi, baru beberapa bulan Muhyiddin menjabat, guncangan itu kembali melanda panggung politik negeri jiran itu. Anwar Ibrahim, pemimpin oposisi Malaysia, mengklaim mendapat dukungan lebih dari separuh anggota parlemen. Artinya, dukungan itu cukup baginya untuk mendepak PM Muhyiddin dari kursi PM.
Baca juga : Suhu Politik Malaysia Memanas Lagi, Anwar Coba Lengserkan PM Muhyiddin
Namun, upaya Anwar tidak berhasil. Awalnya, ia tidak bisa menemui Yang Dipertuan Agung XVI Sultan Abdullah yang dilaporkan tengah dirawat di rumah sakit. Belakangan, ia ditemui Sultan Abdullah. Anwar melaporkan bahwa dirinya mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Namun, Raja Malaysia itu—seperti disampaikan juru bicaranya—belum teryakinkan karena tiadanya bukti atas klaim dukungan yang disampaikan Anwar.
Belakangan, diketahui Anwar hanya mendapat dukungan kurang dari 100 anggota parlemen. Angka ini jauh lebih sedikit dari klaim semula yang menyatakan lebih dari separuh anggota parlemen mendukungnya.
Beberapa hari lalu PM Muhyiddin mengajukan permintaan kepada Raja agar menyetujui rencana pemerintahannya menetapkan status negara dalam keadaan darurat. Muhyiddin dan kabinetnya beralasan bahwa tindakan itu perlu karena dinamika politik membuat mereka tidak yakin bisa mendapatkan persetujuan penetapan anggaran untuk tahun 2021.
Penolakan persetujuan oleh anggota parlemen dapat juga diartikan bahwa parlemen tidak memercayai pemerintahan Muhyiddin beserta kabinetnya. Jika itu terjadi, Malaysia akan memasuki kekacauan politik berikutnya karena harus melaksanakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin yang baru.
Baca juga : Raja Malaysia Tolak Penetapan Keadaan Darurat Permintaan PM Muhyiddin
Jika status darurat diberlakukan, hal itu seperti lampu hijau bagi Muhyiddin untuk membubarkan parlemen dan menjalankan kekuasaan absolut. Raja, setelah berunding dengan para sultan Melayu, pemimpin kerajaan lainnya, pun menolak usulan Muhyiddin untuk memberlakukan status keadaan darurat. Raja meminta pemerintahan Muhyiddin fokus menangani pandemi dan memulihkan perekonomian.
Di sisi lain, dalam pernyataannya, Raja juga memberikan sedikit angin segar bagi PM Muhyiddin dan kabinetnya. Dia mengimbau para politisi dan anggota parlemen menghentikan permainan kekuasaan mereka.
Pujian untuk Raja
Keputusan Raja menolak permintaan pemerintahan Muhyiddin mendapat dukungan dan pujian dari rakyat. ”Dia menyelamatkan rakyat, negara, dan demokrasi kita,” kata pemilik akun Twitter @Kushfein. Tanggapan dari @Kushfein hanya satu dari banyak tanggapan positif atas keputusan Raja menolak usulan PM Muhyiddin.
Selama ini, Raja hanya berperan simbolis pada sistem ketatanegaraan Malaysia. Raja jarang disebut dalam pemberitaan arus utama karena perannya yang terbatas dalam politik Malaysia.
Baca juga : Raja Ingatkan Politisi Jangan Picu Ketidakpastian
Akan tetapi, dalam beberapa peristiwa terakhir, Yang Dipertuan Agung XVI Sultan Abdullah membuat beberapa keputusan besar yang sebelumnya jarang terjadi. Dia memainkan peran kunci jika ketidakstabilan politik terus berlanjut.
Selama ini monarki di Malaysia, secara tradisional, dianggap dekat dengan pemerintah. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, terutama ketika Mahathir mencoba meyakinkan Raja Abdullah dan hal yang sama dicoba oleh Muhyiddin, pandangan tentang monarki Malaysia berubah.
Dua peristiwa tersebut membuat kepercayaan atas peran konstitusional raja meningkat. Raja tidak hanya sekadar simbolis. ”Hal ini mengembalikan kepercayaan tertentu pada monarki konstitusional di negara ini bahwa mereka tidak hanya sangat pasif,” kata Kobkua Suwannathat-Pian, profesor sejarah pada Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim, Perak, Malaysia.
Perimbangan kekuasaan
Tak lama sebelum para raja negara bagian bertemu dan membahas pilihan kebijakan yang akan diambil, Putra Mahkota Kesultanan Johor Tunku Ismail Idris menulis pesan di laman Facebook miliknya. Dia mengatakan, kondisi politik Malaysia saat ini mengindikasikan riil politik, apa yang terjadi ketika kekuasaan pemerintahan semata-mata diserahkan sepenuhnya kepada politisi.
Dia menyatakan, monarki tradisional Malaysia tengah melaksanakan mekanisme perimbangan kekuasaan.
Baca juga : Tradisi Politisi ”Lompat Pagar”, Politik Dagang Sapi, dan Kegaduhan di Malaysia
Malaysia memiliki sistem ketatanegaraan yang unik, perpaduan antara monarki, kesultanan, bersanding dengan sistem parlementer dalam pengelolaan pemerintahan.
Sistem monarki di Malaysia unik. Sembilan sultan Melayu bergiliran menjadi penjabat raja Malaysia setiap lima tahun. Perannya lebih pada peran seremonial, termasuk bertindak sebagai penjaga Islam di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Peran mereka dalam sistem politik Malaysia dibatasi ketika pada awal 1990-an, perdana menteri saat itu, Mahathir, mengesahkan perubahan konstitusional untuk mengurangi beberapa ”kekuasaan politik” sultan. Salah satunya adalah menunda atau bahkan menghentikan pembahasan peraturan perundangan. Amandemen konstitusi pada era Mahathir juga mengakhiri kekebalan mereka dari penuntutan apabila terlibat dalam sebuah perkara.
Baca juga : Raja Malaysia-Ketua Parlemen Sepakat Tak Ada Sidang Pemilihan PM Baru
Akan tetapi, meski sekadar memiliki peran seremonial, posisi para sultan sangat dihormati di kalangan orang Melayu dan komunitas minoritas India, China, dan warga Malaysia non-Muslim.
Dicintai rakyat
Menjadi raja setelah ayahnya turun takhta pada tahun 2019, Sultan Abdullah (61) telah memenangi hati warga dengan sikapnya yang rendah hati dan citranya yang membumi. Dia tidak segan turun tangan membantu korban kecelakaan di jalan raya atau bahkan ikut mengantre di restoran makanan cepat saji.
Membandingkan dengan kondisi monarki di negara tetangga, Thailand, monarki di Malaysia saat ini berada dalam posisi yang sangat baik. Di Thailand, setiap hari terjadi demonstrasi menuntut reformasi pemerintahan dan monarki, termasuk pengurangan kekuasaan terhadap raja dan keluarganya.
Baca juga : Dinamika Kehidupan Monarki di Asia Tenggara
”Monarki tidak lagi memainkan peran seremonial, tetapi mengambil ’peran aktif’ untuk meredakan ketidakpastian,” kata Muhammad Takiyuddin Ismail, dosen ilmu politik di Universitas Nasional Malaysia. Penolakan atas penetapan status keadaan darurat itulah yang kini meningkatkan reputasi monarki di Malaysia.
Saran dari Raja
Raja Abdullah kembali memainkan perannya pada politik keseharian Malaysia. Pada Rabu (28/10/2020), dia mengeluarkan pernyataan yang mendesak anggota parlemen untuk mengesampingkan perselisihan politik guna lebih fokus pada pembahasan anggaran 2021 tanpa gangguan. Raja menyatakan, anggaran tahun depan sangat penting dalam membantu masyarakat mengelola dampak Covid-19 dan memulihkan ekonomi.
”Yang Mulia mengingatkan anggota parlemen bahwa pertarungan politik untuk kepentingan pribadi akan merugikan bangsa dan rakyat akan menjadi korban di saat negara masih berjuang menghadapi ancaman Covid-19,” kata Istana dalam pernyataannya.
Pemerintahan Muhyiddin dijadwalkan untuk menyampaikan APBN pada 6 November mendatang. Para pemimpin oposisi mengatakan, mereka dapat mendukung anggaran jika pemerintah memberikan akses yang sama bagi semua anggota parlemen terhadap sumber daya dan ruang untuk memberikan masukan serta melaksanakan reformasi demokratis.
Wong Chen, anggota parlemen dari Partai Keadilan Rakyat yang dipimpin Anwar Ibrahim, dalam pernyataannya di laman Facebook mengatakan, reformasi harus mencakup pembentukan ”hak yang tidak terkekang” untuk mengajukan mosi tidak percaya di parlemen.
Ketua Parlemen Malaysia Azhar Harun, dilaporkan harian Utusan Malaysia, menyatakan, hingga saat ini lebih dari 16 mosi tidak percaya pada kepemimpinan Muhyiddin telah diajukan untuk pertemuan yang akan datang. Meski telah diingatkan oleh Raja, politisi di Malaysia terlihat lebih menyukai melakukan manuver-manuver politik. Kita tunggu berikutnya, apakah Raja Malaysia akan kembali ”turun tangan” mendinginkan suhu politik yang panas itu. (REUTERS)