Kepemimpinan menjadi aspek penting dalam intervensi kesehatan masyarakat. Respons yang salah dari seorang pemimpin bisa menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat pandemi Covid-19.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Pemimpin yang hebat tidak lahir dari situasi yang biasa-biasa saja, sebagaimana pelaut sejati tak muncul hanya dengan mengarungi samudra yang tenang. Krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 saat ini menjadi ujian untuk memunculkan kualitas kepemimpinan terbaik dari setiap pemimpin di tempat yang vital, termasuk negara.
Namun, skala dan kecepatan penyebaran Covid-19 menghadirkan tantangan yang teramat besar sehingga banyak pemimpin kemudian bertindak lambat, tidak jujur dalam komunikasi, dan mengabaikan suara para ahli kesehatan. Akibatnya, kasus Covid-19 jadi tidak terkendali.
Andai saja Adam Silver, komisioner Asosiasi Bola Basket Nasional Amerika Serikat (NBA), tidak menangguhkan kompetisi bola basket nasional pada 11 Maret 2020 menyusul salah seorang pemain Utah Jazz diketahui positif Covid-19, pertandingan NBA bisa jadi kluster penularan. Padahal, tahun 2019 saja, kompetisi NBA menghasilkan pendapatan 8 miliar dollar AS.
Majalah Harvard Business Review menulis, tindakan Adam Silver itu—kebetulan bersamaan dengan deklarasi Covid-19 sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—merupakan salah satu keputusan tegas yang diambil oleh seorang pemimpin di luar China.
Penundaan NBA satu musim itu memiliki efek riak. Turnamen Asosiasi Atletik Perguruan Tinggi Nasional AS (NCAA), Liga Hoki Nasional (NHL), dan Liga Utama Bisbol (MLB) dihentikan. Boston Marathon pun dijadwalkan ulang.
Di level negara, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang baru memenangi pemilu, menjadi salah satu contoh global. Pada 21 Maret 2020, melalui pidato delapan menit di televisi, Ardern mengumumkan adopsi sistem risiko kebakaran yang sudah diketahui warganya untuk diterapkan sebagai respons Pemerintah Selandia Baru terhadap Covid-19.
Ardern juga menjelaskan empat level kewaspadaan dan apa yang harus dilakukan warga dan pemerintah sambil tetap mengingatkan bahwa pemerintah belum tahu kapan pandemi akan berakhir. Untuk itu, penting untuk tetap menerapkan protokol kesehatan sehari-hari.
Namun, hanya segelintir pemimpin negara, seperti Ardern. Mayoritas pemimpin negara lainnya gagal mengendalikan pandemi. Kini, kasus Covid-19 global mencapai 42,7 juta kasus dengan korban meninggal 1,15 juta jiwa.
Presiden AS Donald Trump, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson adalah beberapa kepala negara yang tidak memimpin dengan contoh. Sebelum didiagnosis positif Covid-19, mereka adalah pemimpin-pemimpin yang cenderung mengabaikan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19, baik secara personal maupun dalam kebijakannya.
Trump, misalnya, menolak mengenakan masker dan tetap menggelar acara yang mengumpulkan banyak orang di Gedung Putih. Bahkan, ketika menjadi pasien Covid-19 dan dirawat di rumah sakit militer pun ia masih saja berkeliling keluar rumah sakit menyapa pendukungnya.
Kepentingan politis jelang pemilu 3 November pun banyak memengaruhi kebijakan respons Trump terhadap pandemi. Misalnya ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS mengeluarkan otorisasi penggunaan darurat hidroksiklorokuin dan remdesivir yang tidak banyak membantu pasien Covid-19.
Di Brasil, Bolsonaro juga sering kali menemui pendukungnya tanpa memakai masker dan menentang kebijakan otoritas negara bagian yang menerapkan karantina wilayah dengan mengedepankan kepentingan ekonomi.
Boris Johnson, beberapa minggu sebelum didiagnosis positif Covid-19, mengungkapkan dirinya telah berjabat tangan dengan semua orang, termasuk pasien Covid-19. Ia akan terus melakukan itu meski para ahli kesehatan tidak menyarankannya.
Pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan global yang berimplikasi besar pada banyak aspek, termasuk ekonomi. Alih-alih memprioritaskan pengendalian pandemi, banyak kepala negara di dunia justru mengedepankan pemulihan ekonomi. Mereka lupa bahwa setiap kebijakan publik yang keliru bisa berdampak luas bagi rakyatnya.
Jika seorang dokter melakukan malapraktik dalam tugasnya, nyawa pasiennya bisa melayang. Begitu juga dengan kepala negara: salah dalam merespons pandemi, bisa-bisa kasus meninggal karena Covid-19 semakin banyak.
Namun, kalau dokter yang melakukan malapraktik dan mengakibatkan pasien terluka saja bisa terancam hukuman pidana, adakah ganjaran setimpal bagi kepala negara yang keliru menetapkan kebijakan publik? Apakah tidak dipilih lagi dalam pemilu cukup? Ini tentu tidak berlaku bagi kepala negara yang tidak bisa mencalonkan lagi.