Israel Kirim Gandum ke Sudan di Tengah Pro-Kontra Normalisasi Hubungan
Israel berencana mengirimkan gandum, bahan dasar roti, ke Sudan, sebagai pembuka hubungan dagang kedua negara. Normalisasi hubungan Sudan-Israel membuat suhu politik di Sudan meningkat.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TEL AVIV, SENIN — Pemerintah Israel berencana mengirim gandum senilai 5 juta dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 70 miliar ke Sudan untuk membantu terbatasnya persediaan bahan pangan di negara itu. Di satu sisi, pengiriman gandum tersebut akan membantu penyediaan bahan pangan rakyat Sudan, tapi di sisi lain kondisi ini menimbulkan dinamika politik yang cepat di negara tersebut.
”Kami menantikan hubungan dan perdamaian yang hangat dengan Sudan. Kami segera mengirimkan gandum senilai 5 juta dollar AS kepada teman-teman baru kami di Sudan,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melalui pernyataan yang disampaikan melalui akun media sosial kantor perdana menteri, Minggu (25/10/2020).
Sejak pemerintahan Omar al-Bashir di Sudan terguling pada April 2019, perekonomian negara itu tak kunjung membaik. Depresiasi ekonomi yang tajam terjadi dan harga bahan pangan terus meroket. Bahkan, salah satu penyebab tergulingnya Bashir dari kursi kekuasaan terjadi karena harga roti yang naik tiga kali lipat sejak akhir 2018.
Setiap tahun, Sudan mengonsumsi sekitar 2 juta ton gandum sebagai bahan dasar pembuatan roti. Sudan tidak memproduksi sendiri, tetapi mengimpor bahan dasar roti itu dari beberapa negara dan membuat ketergantungan yang masif.
Dengan normalisasi hubungan Israel-Sudan, Netanyahu berjanji akan membantu negara itu. ”Israel akan bekerja erat dengan AS untuk membantu transisi Sudan,” kata Netanyahu tanpa menjelaskan detail transisi yang dimaksud.
Sudan adalah negara ketiga setelah Uni Emirat Arab dan Bahrain yang menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan di bawah Perjanjian Abraham. Sebelumnya, Jordania dan Mesir telah menormalisasi hubungan mereka dengan Israel.
Kesepakatan normalisasi hubungan Sudan-Israel tidak sebatas membuka pintu bagi bantuan pangan, tapi juga kerja sama lain, termasuk masalah migrasi. Menurut Netanyahu, tidak lama lagi delegasi Israel akan berkunjung ke Sudan dan membahas kerja sama di berbagai bidang, termasuk bidang migrasi. Dia berharap negara-negara lain tertarik untuk menormalisasi hubungannya dengan Israel menyusul langkah UEA, Bahrain, dan Sudan.
Pro-kontra Normalisasi
Langkah Pemerintah Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak menilai normalisasi hubungan sebagai salah satu cara untuk menyelamatkan kondisi ekonomi dan mengakhiri isolasi internasional.
Namun, yang lain melihatnya sebagai langkah yang terlalu jauh, sebuah ”pengkhianatan” atas perjuangan Palestina dan di luar mandat pemerintah transisi yang mengambil alih kekuasaan beberapa bulan setelah penggulingan Bashir.
Analis Sudan Othman Mirghani mengatakan, prioritas pemerintah adalah menyelamatkan ekonomi karena inflasi telah melonjak hingga lebih dari 200 persen.
”Pemerintah telah memperkirakan penghapusan Sudan dari daftar teror AS akan dikaitkan dengan normalisasi dengan Israel. Pemerintah bersikeras penghapusan dari daftar, bahkan jika itu melalui Tel Aviv, karena kesepakatan tersebut akan membuka pintu bagi ekonomi Sudan dengan masyarakat internasional,” kata Mirghani yang juga Pemimpin Redaksi harian Al Tayyar di Sudan.
Mostafa Solieman, seorang pedagang, mendukung kesepakatan normalisasi hubungan Sudan-Israel karena hal itu memungkinkan ekonomi berkembang.
Pandangan berbeda disampaikan pihak yang kontra normalisasi, seperti mantan Perdana Menteri Sudan Sadiq al-Mahdi.
”Normalisasi bertentangan dengan hukum nasional Sudan dan komitmen nasional Arab,” kata Sadiq. Dia menyatakan pemboikotan terhadap Israel tetap berlaku di bawah hukum Sudan.
Dalam jajak pendapat awal bulan ini oleh Pusat Penelitian dan Studi Kebijakan Arab, hanya 13 persen dari mereka yang ditanyai di Sudan mendukung hubungan dengan Israel—dibandingkan dengan 79 persen yang menentang. Lembaga Islam terkemuka Sudan mengatakan telah mengeluarkan fatwa yang melarang normalisasi dengan Israel.
Eid Abdelmoneim, yang mengelola perusahaan transaksi keuangan, mengatakan, penghapusan dari daftar hitam AS dan normalisasi dengan Israel seharusnya tidak ada kaitannya.
”Tidak ada otoritas yang memiliki hak untuk membuat kesepakatan seperti itu dengan Israel tanpa berkonsultasi dengan rakyat. Kami tidak membutuhkan Israel, negara kami kaya dengan sumber dayanya,” kata Abdelmoneim.
Sebelumnya, pada Agustus lalu, PM Abdalla Hamdok mengatakan, pemerintahan transisi yang dipimpinnya tidak memiliki mandat untuk memutuskan normalisasi hubungan dengan Israel. Namun, pada saat yang sama, pemerintahan Hamdok telah berusaha keras untuk dihapus dari daftar hitam Washington, yang dimulai pada 1993 ketika pemerintahan Al-Bashir menampung militan yang dicari, termasuk mantan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, pada 1990-an. Pemerintahan transisi juga telah setuju untuk membayar ratusan juta dollar sebagai kompensasi kepada keluarga Amerika dari korban serangan di masa lalu, termasuk ketika Sudan menjadi basis Al-Qaeda.
Menteri Luar Negeri Omar Qamareddin mengatakan, kesepakatan normalisasi hubungan itu hanya akan berlaku setelah persetujuan dari badan legislatif yang belum dibentuk. Hingga saat ini belum jelas kapan parlemen Sudan akan dibentuk.
Namun, analis yakin normalisasi itu akan memicu kemarahan terhadap Pemerintah Sudan.
”Normalisasi akan menambah bahan bakar baru bagi oposisi yang didukung pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini juga tumpang tindih dengan kepentingan besar kelompok-kelompok Islam di negara itu,” kata Jonas Horner, analis International Crisis Group (ICG).
Horner menilai risiko utama stabilitas di Sudan tetap pada ekonomi. Keberhasilan pemerintahan transisi, menurut dia, jika pemerintahan transisi berhasil mengurangi jurang ekonomi yang semakin dalam. (AFP)