Tiga bulan lebih unjuk rasa anak- anak muda mengguncang ibu kota Thailand. PM Prayuth Chan-ocha coba melunak. Namun, mereka tak ingin menegosiasikan tuntutan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Banyak pihak menyamakan unjuk rasa anak-anak muda dan aktivis prodemokrasi di Thailand seperti demonstrasi anak-anak muda sebaya mereka di Hong Kong. Tidak ada pemimpin tunggal, mereka digerakkan semangat mendobrak kemapanan para elite, memperjuangkan demokrasi lebih luas, mengangkat isu sensitif, dan menjalankan unjuk rasa dengan taktik hampir serupa, termasuk mengambil risiko cara konfrontatif, serta memiliki daya tahan berunjuk rasa dalam waktu lama.
Jika di Hong Kong anak-anak mudanya menghadang represi rezim komunis di Beijing saat memberlakukan UU Keamanan Nasional, anak-anak muda di Thailand menggugat legitimasi rezim junta militer dan, bahkan, menuntut reformasi monarki. Isu monarki merupakan isu sensitif di negara itu. Monarki menjadi bagian dari identitas nasional di Thailand. Dengan UU Lese Majeste, pengkritik kerajaan diancam hukuman penjara hingga 15 tahun. Namun, bagi anak-anak muda itu, isu sensitif tersebut tak lagi tabu, bahkan digugat secara terbuka.
Seperti diberitakan harian ini, Kamis (22/10/2020), PM Thailand Prayuth Chan-ocha mencabut status keadaan darurat lebih cepat dari jadwal. Status itu ditetapkan pada 15 Oktober dan awalnya berlaku hingga 13 November. Melalui pidato, PM Prayuth mengajak seluruh kalangan, termasuk pengunjuk rasa, menyelesaikan persoalan melalui jalur parlemen. Senin hingga Rabu (26-28/10) depan, parlemen menggelar sidang khusus membahas krisis politik saat ini. Namun, anak-anak muda dan aktivis prodemokrasi bergeming dengan tiga tuntutan awal: pengunduran diri PM Prayuth, amandemen konstitusi, dan reformasi monarki.
Sudah sepatutnya suara mereka didengar dan dipertimbangkan jika ingin krisis politik di Thailand berakhir. Anak-anak muda itu tidak buta politik. Mereka menyaksikan sendiri sepak terjang PM Prayuth: dari memimpin kudeta tahun 2014 hingga bercokol di pucuk kekuasaan setelah Pemilu 2019, dimuluskan konstitusi yang menetapkan penunjukan 250 anggota Senat oleh Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) pimpinan Prayuth. Dengan jabatan lima tahun, Senat—yang berperan mengantarkan Prayuth ke kursi PM—bisa kembali memilih Prayuth setelah Prayuth menyelesaikan empat tahun periode pertamanya.
Gugatan mereformasi, bukan membubarkan, monarki didorong oleh kecenderungan Raja Maha Vajiralongkorn, yang naik takhta sejak 2016, untuk mengubah monarki konstitusional di Thailand menjadi monarki absolut seperti era sebelum revolusi 1932. Di bawah Raja Vajiralongkorn, monarki berupaya mencengkeram kekuasaan lebih besar di bidang politik, keuangan, dan militer, yang tak pernah terjadi di era ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej, yang karismatis dan dicintai rakyatnya. Di mata anak-anak muda dan aktivis prodemokrasi, Raja mestinya berdiri di atas semua golongan dan, yang terpenting, tetap berada di bawah konstitusi.