Dituntut Mundur, PM Prayut Ajukan Syarat Cabut Kondisi Darurat
Puluhan ribu orang berbaris di sekitar kantor PM Thailand hingga Rabu malam. Mereka mengultimatum PM Prayut Chan-o-cha mundur dari jabatannya dalam tiga hari ke depan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Para pengunjuk rasa di Thailand memberikan ultimatum tiga hari bagi Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha untuk mundur dari jabatannya terhitung sejak Rabu (21/10/2020). Prayut merespons dengan siap mencabut keadaan darurat dengan syarat pemrotes mengurangi ujaran kebencian kepada pemerintah.
”Saya akan mengambil langkah pertama untuk meredakan situasi ini. Saya saat ini bersiap mencabut keadaan darurat parah di Bangkok dan akan segera melakukannya jika tidak ada insiden kekerasan,” katanya dalam siaran TV yang disiarkan pada Rabu malam, sebagaimana dikutip media Bangkok Post. ”Saya meminta pengunjuk rasa untuk membalas dengan tulus, untuk mengecilkan tensi suara yang penuh kebencian dan memecah belah.”
Prayut mengacu pada keputusan kabinet untuk mendukung proposal diadakannya sidang parlemen khusus guna membahas cara meredakan tensi konflik politik di negara itu. Ia mengatakan bahwa sebagai pemimpin pemerintahan dia bertanggung jawab untuk mendamaikan pandangan yang berlawanan, terutama yang ekstrem, sehingga orang bisa hidup damai bersama di negara yang dimiliki semua orang.
”Mari kita hormati hukum dan demokrasi parlementer, dan biarkan pandangan kita disampaikan melalui perwakilan kita di parlemen,” kata Prayut. Ia menandaskan, solusi ideal untuk konflik saat ini akan menjadi solusi yang adil tidak hanya bagi mereka yang turun ke jalan, tetapi juga bagi jutaan orang lainnya yang memilih untuk tidak bergabung dalam aksi protes.
Namun, tampaknya para pengunjuk rasa bergeming dengan sikapnya. Mereka memberi tenggat tiga hari kepada Prayuth untuk mundur atau menghadapi lebih banyak aksi demonstrasi.
Namun, tampaknya para pengunjuk rasa bergeming dengan sikapnya. Mereka memberi tenggat tiga hari kepada Prayuth untuk mundur atau menghadapi lebih banyak aksi demonstrasi. Pemimpin protes yang membuat pernyataan itu pengumuman itu ditangkap dalam 2 jam setelah mengeluarkan pernyataan.
Puluhan ribu orang berbaris di sekitar kantor PM Thailand hingga Rabu malam. Para pengunjuk rasa telah berdemonstrasi selama berbulan-bulan menentang Prayuth dan menuntut pembatasan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn. Mereka mengaku sukses setelah menyerahkan tiruan surat pengunduran diri Prayuth kepada pejabat di luar kompleks kantor PM.
”Perjuangan kami tidak akan berakhir selama dia tidak mengundurkan diri. Jika dalam tiga hari dia tidak mengundurkan diri, dia akan menghadapi warga kembali,” kata pemimpin aksi protes itu, Patsaravalee Tanakitvibulpon. Aktivis berusia 25 tahun itu kemudian ditangkap atas tuduhan yang menurut polisi terkait dengan protes pada 15 Oktober lalu.
Patsaravalee bergabung dengan daftar lusinan aktivis yang ditangkap aparat Thailand dalam dua minggu terakhir. Pengacaranya mengatakan dia didakwa karena melanggar kondisi darurat yang diberlakukan pemerintah. Saat Patsaravalee dibawa pergi, dia berkata, ”Saya tidak khawatir. Ini adalah permainan pemerintah.”
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Prayuth mengatakan siap untuk mencabut langkah-langkah yang melarang pertemuan politik lima orang atau lebih dan publikasi informasi yang dianggap mengancam keamanan. ”Saya akan mengambil langkah pertama untuk meredakan situasi ini,” kata Prayuth. ”Kita sekarang harus mundur dari tepi lereng licin yang dapat dengan mudah meluncur ke kekacauan,” ujarnya menambahkan, seraya mengatakan pembicaraan harus dilakukan di parlemen. Pendukung pemerintah sendiri menguasai suara mayoritas di parlemen.
Aksi protes telah menjadi tantangan terbesar bagi Thailand selama bertahun-tahun. Dinamika politik terbaru di negara itu telah menarik sikap tentangan paling terbuka terhadap monarki dalam beberapa dekade terakhir. Undang-undang lese majeste menetapkan hukuman penjara hingga 15 tahun bagi siapa pun yang menghina keluarga kerajaan.
Sebagian besar demonstrasi sejauh ini berlangsung damai. Namun, di lapangan, aparat kepolisian setempat menggunakan meriam air untuk menghentikan aksi massa. Kondisi itu semakin memicu kemarahan para kritikus pemerintah. Polisi antihuru-hara sempat menahan pawai para pengunjuk rasa pada Rabu di satu titik, sebelum kemudian membiarkan kerumunan itu lewat.
Para pengunjuk rasa mengatakan, Prayuth telah curang dalam pemilihan umum tahun lalu. Hal itu semata dilakukannya untuk mempertahankan kekuasaan yang direbutnya melalui kudeta tahun 2014. Sebaliknya, Prayuth mengklaim pemilu itu berlangsung dengan adil. Para pengunjuk rasa menuduh monarki memungkinkan terjadinya dominasi militer selama bertahun-tahun. (AFP/REUTERS/BEN)