Beijing tidak suka kepada presiden AS yang bisa menggalang sekutu-sekutunya. Itu karena hal tersebut akan menyulitkan China sebab harus menghadapi pesaing yang bersatu.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Hampir empat tahun terakhir, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka menyatakan China sebagai musuh. Akan tetapi, anehnya, Beijing lebih suka Gedung Putih tetap didiami Trump selepas pemilu, November 2020.
”Jika Biden menang, China menang. Jika kami menang, Ohio dan lebih penting lagi Amerika menang,” ujar Trump dalam kampanye di Dayton, Ohio, pada 21 September 2020.
Kepada penyiar konservatif Hugh Hewitt, Agustus 2020, Trump membuat pernyataan lebih serius. ”Jika saya tidak memenangi pemilu, China akan memiliki AS. Anda harus belajar bahasa China. China akan melakukan apa pun agar saya kalah,” ujarnya.
Memang, Joe Biden tidak menyangkal sejarahnya dengan China. Saat masih menjadi senator, calon presiden AS dari Partai Demokrat itu termasuk tokoh AS pertama yang mengunjungi China selepas Beijing-Washington memulihkan hubungan diplomatik. Kala itu, Biden bersua Deng Xiaoping. ”Saya menghabiskan waktu pribadi lebih banyak dengan Xi Jinping dibandingkan dengan pemimpin dunia lain,” ujarnya dalam suatu acara diplomatik pada 2018.
Di sisi lain, Biden juga pernah menyatakan keinginan membentuk koalisi internasional untuk mengisolasi China. ”Kalau bersatu sesama (negara) demokrasi, kekuatan akan meningkat. China tidak akan bisa mengabaikan lebih dari separuh (kekuatan) ekonomi global,” tulisnya pada Januari 2020.
Sebaliknya, meski terus berusaha menggalang dukungan internasional untuk mengucilkan China, Trump dinilai merusak keharmonisan di antara sekutu-sekutu AS. Ia memicu ketegangan dengan sekutu AS di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bahkan, mitra tradisional AS di Eropa jadi sasaran sanksi Washington.
Di sisi lain, apa yang terjadi antara Trump dan mitranya di Eropa ”menguntungkan” China. Beijing tidak suka kepada presiden AS yang bisa menggalang sekutu-sekutunya, seperti diinginkan Biden. Itu karena hal tersebut akan menyulitkan China sebab harus menghadapi pesaing yang bersatu.
Peluang China
”Banyak orang China ingin Trump menang karena mereka pikir Trump merusak sistem Amerika dan sekutunya. Jika Trump terus melakukan itu, akan ada peluang bagi China,” kata Wang Yiwei, Direktur Institute of International Affairs pada Renmin University.
Bahkan, sebagian pihak di China yakin, Trump akan melunak kepada Beijing jika memenangi pemilu dua pekan lagi. ”Kalau tidak ada beban harus terpilih lagi, mungkin dia akan berunding lebih pragmatis dengan China dan pada akhirnya kami akan bersepakat,” ujar Wang.
Editor Global Times, Hu Xijin, secara terbuka mengajak pemilih AS memberi suara untuk Trump. Padahal, Global Times terkenal keras pada kebijakan-kebijakan AS terhadap China.
”Saya sangat mendesak warga AS memilih lagi Trump karena timnya punya banyak orang gila seperti Pompeo. Mereka membantu China memperkuat solidaritas dan kerapatan dengan cara khusus. Hal itu sangat penting bagi kebangkitan China. Sebagai anggota partai komunis, saya berterima kasih kepada mereka,” tulis Hu di Twitter.
Kemenangan Trump memang bisa memberi Xi peluang untuk menampilkan citra China yang lebih baik. ”Pemimpin China bisa mendapat kesempatan untuk mendongkrak posisi global sebagai penyokong globalisasi, multilateralisme, dan kerja sama internasional,” kata pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Bucknell University, Zhu Zhiqun.
Di bawah Trump, AS mundur dari berbagai platform multilateral. Sebaliknya, China terus maju. Di mana pun AS mundur, China maju. Xi membuat China terlihat lebih menyokong perdagangan bebas dan perang melawan perubahan iklim.
Berbeda dengan China, Trump membuat AS terlihat menghindari kedua hal itu. ”Periode kedua Trump bisa memberi China lebih banyak waktu untuk bangkit sebagai kekuatan besar dunia,” kata Zhu.
Selain itu, China juga lebih cenderung menyukai presiden dari Republikan. Mao Zedong menyebut sebagian dari mereka sebagai orang kanan. Sebutan itu diberikan Mao kepada Richard Nixon. ”Saya senang kalau orang-orang ini berkuasa,” kata Mao kepada Nixon.
Bagi Beijing, presiden Republikan lebih mudah diajak berunding dibandingkan dengan presiden Demokrat. Itu karena presiden Republikan lebih pragmatis dan lebih simpatik pada keinginan banyak perusahaan untuk memanfaatkan potensi pasar dan tenaga kerja China yang besar. (AFP/REUTERS)