Hubungan yang memanas antara China dan Amerika Serikat membuat situasi geopolitik menjadi tidak mudah, termasuk bagi Indonesia. Dalam situasi yang diwarnai ketakpastian, pemerintah perlu meningkatkan ketahanan nasional,
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perkembangan situasi geopolitik membuat negara-negara menengah, seperti Indonesia, berada di tengah rivalitas China dan Amerika Serikat. Pada saat yang sama, pandemi Covid-19 mendegradasi multilateralisme. Indonesia harus membangun ketahanan nasional secara jangka panjang
“Untuk bisa beradaptasi dengan tatanan baru, Indonesia harus meningkatkan ketahanan. Ini kerja jangka panjang,” kata Wakil Presiden RI ke-11 Boediono, dalam Jakarta Geopolitical Forum 2020, “Geopolitical Landscape in the Covid19 Era”, yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional, Rabu (21/10).
Situasi pandemi menggarisbawahi pentingnya daya tahan ekonomi dan ketahanan nasional
Situasi pandemi menggarisbawahi pentingnya daya tahan ekonomi dan ketahanan nasional. Parameter ekonomi yang penting menjadi ketahanan pangan, ketahanan energi, dan industri yang terkait dengan global supply chain.
“Ini tugas jangka panjang dan melebihi jangka waktu siklus kepemimpinan sehingga butuh kerja dan komitmen jangka panjang,” kata Boediono.
Ia juga melihat pentingnya realokasi sumber ekonomi seperti penggunaan lahan, modal dan tenaga kerja. Kalangan bisnis dan masyarakat harus bisa bekerja sama. Pemerintah harus bisa membuat kebijakan yang bisa meminimalisir biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Ini semua dilakukan dalam situasi geopolitik yang saat ini sangat tidak pasti,” kata Boediono.
Kebijakan berbagai negara akan dipengaruhi dua faktor utama yaitu meningkatnya kompetisi antara China dan AS serta penyebaran Covid-19
Boediono mengatakan, kebijakan berbagai negara akan dipengaruhi dua faktor utama yaitu meningkatnya kompetisi antara China dan AS serta penyebaran Covid-19. AS dan negara-negara barat kaget melihat percepatan kemajuan China tidak saja dalam bidang ekonomi, tetapi juga teknologi dan finansial. Apalagi China tidak lalu mengikuti jejak demokrasi liberal sebagai mana ideologi barat.
Presiden Trump berupaya meningkatkan posisi tawar dan ke depan, apapun hasil pemilu AS, benturan akan kedua negara tetap tak terhindarkan di berbagai lini.
Faktor kedua, pandemi Covid-19 tidak saja membuat seluruh negara harus mengubah sistem kesehatannya secara mendasar. Akan tetapi, persepsi tentang ekonomi berubah tidak saja melihat besaran-besaran sementara seperti angka pertumbuhan, inflasi dan tingkat pengangguran, tetapi besaran-besaran yang lebih jangka panjang.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menggarisbawahi hal yang sama. Ia mengatakan, ada dua ketidakpastian global yang membayangi. Pertama, kompetisi antara AS dan China yang terus meningkat. Negara-negara menengah di Asia Pasifik terjebak di antara kompetisi ini dan seakan harus ikut salah satu pihak.
Yang kedua adalah ancaman terhadap multilateralisme. Selain PBB yang sudah lama dianggap tidak berdaya, penanganan Covid-19 membuat banyak negara menarik diri dari komitmen multilateral karena kehilangan kepercayaan pada PBB. PBB dianggap kurang responsif pada Covid-19. Hal ini juga berujung pada meningkatnya populisme dan xenophobia. Padahal tantangan ke depan membutuhkan kerja sama global terutama dalam akses vaksin dan kebangkitan ekonomi pasca pandemi.
“Negara-negara jadi menutup diri dan menjadi unilateralisme walau melanggar aturan internasional,” kata Retno.
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo yang membuka acara ini menggarisbawahi adanya perubahan drastis yang disebabkan oleh Covid-19 pada tatanan geopolitik. Sementara belum terlihat akhir dari pandemi ini, kompetisi China dan AS malah semakin menguat dalam memperebutkan pengaruh ekonomi, militer, dan politik.
“Situasi sangat rumit dan tak terduga,” kata Agus.