Makanan tak sekadar bahan pokok yang bisa mengenyangkan perut. Makanan juga menjadi alat diplomasi negara untuk mempererat hubungan bilateral dengan negara lain.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Makanan tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam tiga siklus hidup manusia, yaitu lahir, menikah, dan meninggal, makanan selalu hadir. Ia menjadi bagian ekspresi kegembiraan sekaligus penghibur kesedihan.
Namun, makanan bukan cuma kebutuhan pokok untuk hidup. Makanan pun bisa menjadi sebuah alat atau soft power dalam diplomasi yang dari situ terbukalah peluang untuk mempererat hubungan bilateral.
Sebaliknya, banyak perang dan konflik di dunia yang terjadi berhubungan dengan perebutan sumber-sumber makanan, karena faktor keamanan pangan, bagaimana perut bisa diisi.
Hillary Clinton, mantan ibu negara Amerika Serikat yang pernah bertugas menjadi Menteri Luar Negeri AS, pernah mengatakan, ”Makanan adalah bentuk paling tua dari diplomasi.” Perdana Menteri Inggris Lord Palmerston (1859-1865) juga pernah menuturkan, ”Jamuan makan adalah jiwa diplomasi.”
Dalam acara virtual yang membahas diplomasi gastronomi bersama Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta, Senin (19/10/2020), Duta Besar RI untuk Argentina merangkap Paraguay dan Uruguay tahun 2010-2014 Nurmala Kartini Sjahrir mengatakan, kuliner merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diplomasi.
Akan tetapi, menurut Duta Besar RI untuk Ekuador tahun 2016-2020 Diennaryati Tjokrosuprihatono, sejarah, makna, dan ide filosofis setiap makanan yang disajikan dalam jamuan makan harus dinarasikan dengan baik sehingga bisa menghidupkan ”jiwa diplomasi” dan membangun citra yang baik terhadap Indonesia.
Kartini bercerita bagaimana memanfaatkan salah satu makanan yang banyak dikonsumsi di Paraguay dan Uruguay, yakni singkong, dalam diplomasi. Umumnya singkong di sana dimasak dengan digoreng atau direbus. Akhirnya, Kartini mengenalkan berbagai penganan Tanah Air berbahan singkong. Orang-orang di sana pun tertarik.
”Karena sama-sama makan singkong, saya jadi bisa bilang kita bersaudara. Pembahasan soal singkong bisa berkembang pada percakapan yang lebih luas. Dari sini hubungan kedua negara bisa dipererat,” katanya.
Ketika masih bertugas, Kartini bersama 14 duta besar perempuan dari negara lain di Argentina berkumpul setiap minggu untuk sekadar menonton film atau menggelar jamuan makan informal. Ketika menjadi tuan rumah, Kartini selalu menyajikan menu masakan Nusantara.
Sama halnya ketika ia diundang makan siang bersama Presiden Paraguay. Ia membawa rendang, dendeng balado, kolak singkong dan pisang, serta sayur lodeh. ”Saya sampai masuk ke dapur istana untuk memastikan mereka menghangatkan masakan yang saya bawa dengan benar,” ujarnya.
Kegemaran orang Ekuador makan di luar dan mencoba masakan baru menjadi pintu masuk Diennaryati untuk mempererat hubungan bilateral. Dengan hanya ada empat negara Asia yang memiliki kedutaan di Ekuador semakin memperluas peluang Diennaryati mengenalkan masakan Indonesia.
Untuk memastikan agar Kedutaan Besar RI di Ekuador senantiasa menyajikan menu Indonesia yang nikmat, Diennaryati membawa chef sendiri dari Tanah Air.
Sebagai bagian dari diplomasi gastronomi, KBRI di Ekuador juga sering mengundang para pejabat setempat, termasuk duta besar negara lain, untuk hadir dalam jamuan makan saat Idul Fitri. Itu untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan kulinernya, tetapi juga negara yang menghargai toleransi dan keberagaman.
Duta Besar RI untuk Bulgaria merangkap Albania dan Macedonia Utara tahun 2016-2020 Sri Astari Rasjid menambahkan, Indonesia perlu mencontoh Jepang dalam diplomasi gastronomi di Bulgaria. Restoran sushi ada di mana-mana di kota Sofia, ibu kota Bulgaria. Saking digemarinya sushi oleh warga Bulgaria, bisa-bisa mengalahkan popularitas makanan setempat.
Dibandingkan dengan masakan China dan Thailand, masakan Indonesia lebih mendapat tempat di lidah penduduk Bulgaria. Sering kali banyak orang datang ke acara KBRI Sofia karena terpikat daya tarik kuliner yang disajikan. ”Makanan Indonesia yang jadi favorit di sana dadar gulung, martabak telur dan martabak manis, gado-gado, serta asinan sayur,” kata Sri Astari.
Popularitas kuliner Indonesia sekarang terus menguat seiring dibukanya Restoran Raja Bali dan Yati’s Cooking di sana. Terkadang kedua restoran ini membantu memasak makanan untuk jamuan makan di KBRI.
Produknya tidak hanya disukai oleh sesama diaspora Indonesia, tetapi juga warga setempat. Sri Astari bercerita, makanan bisa menyatukan para duta besar negara yang berseteru, di meja makan.