Tuntutan Tidak Didengar, Massa Pengunjuk Rasa Ejek Lukashenko
Pemerintah Belarus berusaha membuat massa takut dengan menahan 500 pengunjuk rasa.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
KIEV, SENIN — Belarus masih terus dilanda unjuk rasa besar. Massa belum bergeser dari isu utama, yakni Presiden Alexander Lukashenko mengundurkan diri. Merasa tuntutan tidak pernah didengar sejak demo dimulai pada 9 Agustus lalu, massa mengejek-ejek Lukashenko yang dinilai memimpin secara otoriter dan diduga menang pemilu pada Agustus dengan cara-cara yang curang.
Sedikitnya 50.000 warga Belarus masih berunjuk rasa, Minggu (18/10/2020). Otoritas negara itu bahkan mengancam akan menggunakan senjata tajam untuk membubarkan massa.
Ujuk rasa yang telah dimulai sejak 9 Agustus bersamaan dengan penguman hasil pemilu yang dimenangkan Lukashenko, yang telah berkuasa selama 26 tahun dan kini memasuki tiga dekade kekuasaannya.
”Pergi! Pergi!” teriak para pengunjuk rasa di ibu kota Belarus, Minsk, sambil membawa spanduk mengejek Lukashenko, Minggu kemarin.
Hasil pemilu 9 Agustus lalu menunjukkan Lukashenko memperoleh 80 persen suara. Sementara rivalnya, Sviatlana Tsikhanouskaya, hanya memperoleh 10 persen. Baik Tsikhanouskaya maupun pendukungnya tidak mau mengakui hasil pemilu itu karena pemungutan suara diduga dimanipulasi.
Pemerintah berusaha membuat massa takut dengan menahan 500 pengunjuk rasa dan polisi antihuru-hara membubarkan massa dengan tongkat, gas air mata, dan meriam air.
Bahkan, Kementerian Dalam Negeri Belarus mengancam akan menggunakan senjata api untuk membubarkan pengunjuk rasa ”jika diperlukan”.
Alasannya, unjuk rasa itu sudah semakin terorganisasi dan radikal. Namun, ancaman itu diabaikan dan massa tetap turun ke jalan.
”Ini unjuk rasa pertama sejak otoritas mengancam memakai senjata api, Senin lalu, tetapi itu tetap tidak bisa menghentikan protes,” kata pemimpin kelompok hak asasi manusia Viasna, Ales Bialiatski.
Tsikhanouskaya yang saat ini tengah mengasingkan diri di Lituania karena mengkhawatirkan akan keselamatannya mengancam akan mengajak mogok nasional, kecuali Lukashenko mengundurkan diri, menahan tahanan politik, dan menghentikan tindak kekerasan terhadap para pengunjuk rasa.
”Jika tuntutan kami tidak dipenuhi sampai 25 Oktober, seluruh rakyat Belarus akan turun ke jalan. Pada 26 Oktober akan ada mogok nasional, semua jalan ditutup, dan penjualan di toko-toko milik pemerintah akan hancur,” tulis Tsikhanouskaya dalam pernyataan tertulisnya.
Ajakan mogok ini juga sudah berkumandang sejak Minggu di kawasan pabrik. ”Mogok!” ”Buruh berada di sisi rakyat!” teriak para buruh yang ikut berunjuk rasa.
Aparat kepolisian sudah menutup jalanan dengan meriam air dan kendaraan bersenjata serta puluhan truk militer terlihat berpatroli keliling kota. Sejumlah stasiun kereta sudah ditutup dan jaringan internet dimatikan di lokasi-lokasi protes.
”Lukashenko tahu kalau tidak pakai cara begini, seluruh rakyat Minsk pasti akan turun ke jalan,” kata pengamat politik di Minsk, Valery Karbalevich.
Namun, Karbalevich mengingatkan, krisis politik di Belarus sudah kian parah dan ini ditunjukkan dengan massa yang sudah tidak peduli lagi dengan ancaman penggunaan senjata api. ”Massa tetap turun ke jalan dan akan semakin parah,” ujarnya.
Tsikhanouskaya juga dari jarak jauh masih mendorong rakyat Belarus melanjutkan unjuk rasa yang damai.
Otoritas sudah membebaskan pengacara Tsikhanouskaya, Maria Kolesnikova dan Ilya Salei, yang sempat ditahan bulan lalu atas tuduhan mengancam keamanan nasional. Jika terbukti bersalah, keduanya terancam hukuman penjara selama lima tahun.
Selain unjuk rasa di Minsk, aksi unjuk rasa juga berlangsung di sejumlah kota besar lainnya, termasuk Brest, Grodno, Gomel, dan Vitebsk. Puluhan pengunjuk rasa ditahan dan dari pusat data Viasna terdapat 150 orang yang ditahan.
Tak mau mundur
Lukashenko tidak mau mengundurkan diri dan mendapat dukungan dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Seperti halnya rakyat Belarus, Uni Eropa juga tidak mau mengakui hasil pemilu Belarus.
Pada pekan lalu, para menteri luar negeri Uni Eropa sepakat menjatuhkan sanksi terhadap Lukashenko agar tindakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa dihentikan.
Bahkan, ada anggota parlemen Norwegia, Geir Toskedal dari Partai Demokrat Kristian, yang menominasikan Tsikhanouskaya dan dua rekan dari partai oposisi, yakni Maria Kolesnikova dan Veronika Tsepkalo, untuk menerima penghargaan Nobel Perdamaian 2021 karena telah mengorganisasi aksi unjuk rasa yang damai.
Tsepkalo kini juga sudah meninggalkan Belarus seperti halnya Tsikhanouskaya. (REUTERS/AFP/AP)