Tuntutan Reformasi Politik di Thailand Terus Disuarakan
Gerakan protes di Thailand ini menjadi kontroversial ketika mulai ada tuntutan mereformasi monarki.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
BANGKOK, SENIN — Ribuan pengunjuk rasa prodemokrasi, mayoritas anak muda, Thailand kembali turun ke jalanan dan tidak hanya di Bangkok saja, tetapi meluas ke kota-kota lain. Aksi menuntut perubahan politik di Thailand sudah berlangsung selama lima hari berturut-turut sejak dimulai tiga bulan lalu.
Para pengunjuk rasa tidak memedulikan dekrit keadaan darurat yang diberlakukan pemerintah sejak pekan lalu, yang bermaksud mencegah unjuk rasa.
Pemerintah Thailand, Minggu (18/10/2020), mengeluarkan peringatan baru yang menyebutkan para pengunjuk rasa sudah melanggar hukum. Pada saat unjuk rasa, Sabtu lalu, polisi antihuru-hara sudah menahan beberapa orang, padahal unjuk rasa dilakukan dengan damai.
Pernyataan tertulis Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha menyebutkan, pemerintah mengakui hak kebebasan berbicara dan berkumpul rakyat, tetapi ia bersikeras menyatakan rakyat harus mematuhi aturan hukum.
Prayuth menyatakan bersedia mendengarkan aspirasi rakyat Thailand. Namun, di saat yang sama, ia juga memerintahkan otoritas keamanan untuk mewaspadai kelompok-kelompok tidak bermoral yang hendak memicu kekerasan demi kepentingan politik mereka sendiri.
Gelombang unjuk rasa Thailand yang menuntut pengunduran diri Prayuth, menyusun ulang konstitusi yang lebih demokratis, dan mereformasi monarki itu dimulai Maret lalu di kampus-kampus seluruh Thailand. Namun, unjuk rasa sempat terhenti karena pandemi Covid-19 dan baru dimulai lagi akhir Juli lalu sampai sekarang.
Kini, unjuk rasa terjadi di belasan provinsi, termasuk daerah wisata terkenal, Chiang Mai. Ajakan untuk berunjuk rasa disebarkan melalui media sosial. Pemerintah mengancam akan menindak hukum siapa saja yang mengunggah ajakan dan rincian rencana unjuk rasa.
Unjuk rasa di Bangkok saja kembali menarik setidaknya 10.000 orang meski sudah ada larangan pemerintah dan hujan deras. ”Kalau kita tetap bersatu, kita bisa menang. Tetapi, kalau kita tidak ikut, tidak akan menang. Kita di sini menyuarakan aspirasi rakyat, apa yang kita inginkan dan harap untuk masa depan,” kata Pear (24), salah seorang pengunjuk rasa.
Massa juga menuntut para pengunjuk rasa yang ditahan segera dibebaskan. Mereka ditahan karena dianggap menghina PM dan raja. Massa juga menyanyikan mars lagu yang juga pernah dinyanyikan ketika unjuk rasa mahasiswa tahun 1973 yang kemudian menggulingkan pemerintahan militer yang diktator.
Status darurat
Pemerintah berusaha keras mencegah orang berkumpul dengan menutup stasiun-stasiun kereta di Bangkok. Penyelenggara unjuk rasa kemudian mengajak massa untuk bertemu di stasiun-stasiun yang tidak ditutup. Bentrokan pengunjuk rasa dengan aparat kepolisian terjadi, Kamis lalu, di depan kantor PM.
Setelah itu, Prayuth kemudian mengeluarkan status darurat selama 30 hari untuk Bangkok saja. Dengan status darurat itu disebutkan lebih dari lima orang tidak boleh berkumpul dan pemerintah diberikan kekuasaan lebih luas untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Para pengunjuk rasa mengabaikan status darurat itu dan tetap berkumpul, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak. Bentrokan tidak terhindarkan, apalagi setelah aparat kepolisian menggunakan meriam-meriam air untuk membubarkan massa. Cara aparat kepolisian menindak para pengunjuk rasa ini dikecam berbagai organisasi hak asasi manusia.
”Situasi keamanan saat ini sangat dinamis. Tidak ada formula yang pasti apa yang harus kita lakukan dan tidak kita lakukan. Jika warga tidak mematuhi aturan, kami terpaksa bertindak,” kata juru bicara Wakil Kepala Kepolisian Thailand, Kissana Phatanacharoen, Minggu.
Para pengunjuk rasa menuding Prayuth kembali terpilih sebagai PM karena ada kecurangan dalam pemilu tahun lalu. Hasil pemilu dicurigai sengaja diubah untuk memenangkan partai promiliter.
Prayuth yang merupakan komandan militer yang memimpin kudeta dan menggulingkan pemerintahan tahun 2014 itu membantah tuduhan tersebut.
Persoalan utamanya ada pada konstitusi yang disusun rezim militer dan disahkan dalam referendum yang tidak adil. Proses referendum dianggap tidak sah karena tidak demokratis.
Gerakan protes kemudian menjadi kontroversial ketika mulai ada tuntutan mereformasi monarki. Ini baru pertama kali terjadi mengingat menyinggung apa pun tentang monarki dianggap tabu di Thailand.
Bagi siapa saja yang menyinggung monarki akan bisa dihukum penjara 3-15 tahun. Ini yang kemudian membuat kelompok konservatif Thailand, terutama militer, marah karena mereka menganggap tugas utama mereka adalah melindungi monarki. (REUTERS/AFP/AP)