Massa Prodemokrasi di Bangkok Terus Menekan Prayuth
Tindakan polisi Thailand tidak membuat takut gerakan protes yang menuntut pengunduran diri Prayuth dan reformasi monarki.
Oleh
Luki Aulia/Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
BANGKOK, SABTU — Unjuk rasa kelompok massa di Thailand untuk memperjuangkan demokrasi, menggugat kekuasaan monarki, dan menuntut pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha lengser belum surut.
Ribuan orang kembali ke jalan-jalan di Bangkok, Sabtu (17/10/2020), meski pemerintah telah mengeluarkan dekrit keadaan darurat.
Massa pengunjuk rasa terus menekan Prayuth agar mundur. Tekanan meningkat lagi setelah ia mengeluarkan dekrit yang melarang pertemuan atau perkumpulan lebih dari empat orang selama satu bulan sejak Jumat (16/10).
Polisi membubarkan ribuan pengunjuk rasa, Jumat malam, dengan meriam air untuk pertama kalinya dicampur cairan warna biru dan bahan kimia guna menandai orang-orang yang dapat diproses hukum. Namun, hal itu tidak menyurutkan massa.
Peningkatan taktik polisi itu tidak membuat takut gerakan protes yang menuntut pengunduran diri Prayuth dan reformasi monarki. Di seberang Sungai Chao Phraya, Sabtu sore, hampir 1.000 orang berpawai di Distrik Wongwian Yai dan berteriak, ”Hidup rakyat, tumbangkan diktator.”
Di tenggara Udomsuk, aksi ribuan orang membuat lalu lintas macet parah. Di Distrik Lat Phrao, ratusan orang berkumpul di tengah jalan dengan helm dan masker gas siap pakai. Mereka memberi salam tiga jari yang diadopsi dari film Hunger Games sebagai simbol gerakan prodemokrasi.
Selama satu pekan terakhir, sedikitnya 50 orang sudah ditahan, termasuk para pemimpin pengunjuk rasa. ”Kami mengecam kekerasan yang dilakukan polisi terhadap rakyat. Kami akan terus protes dan harap semua bersiap karena polisi pasti akan pakai taktik menindas,” sebut Gerakan Rakyat dalam pernyataan tertulisnya.
Untuk mencegah pengunjuk rasa berkumpul, pemerintah menghentikan pengoperasian angkutan umum kereta dan menutup jalan-jalan dengan pembatas jalan.
Tanpa memedulikan larangan pemerintah, pengunjuk rasa mengajak massa berkumpul melalui media sosial. Pemerintah berencana menuntut akun-akun di Twitter dan Facebook yang menggelorakan orang untuk berunjuk rasa.
Namun, tetap saja ajakan unjuk rasa bertebaran dan orang-orang bertemu di stasiun-stasiun yang ditutup. Karena stasiun kereta di kota ditutup, tempat pertemuan dipindah ke tiga stasiun di pinggiran kota yang aksesnya lebih mudah, terutama bagi warga di perdesaan.
Bahkan, salah satu kelompok utama gerakan prodemokrasi meminta pendukungnya kembali ke jalan, Sabtu sore. ”Bersiaplah secara fisik dan mental untuk demonstrasi dan untuk mengatasi tindakan keras aparat jika itu terjadi”, tulis unggahan daring yang dibuat Free Youth.
Juru bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri, mengatakan, tidak ada pihak yang menang atau kalah karena semua merusak bangsa itu. ”Pemerintah mengimbau pengunjuk rasa agar tidak berkumpul dan tetap menjaga kondisi damai,” ujarnya.
Kekerasan
Tindakan polisi terhadap pengunjuk rasa dinilai berlebihan dan menggunakan kekerasan. Namun, polisi menyatakan, penanganan unjuk rasa sudah sesuai prosedur dan dengan norma internasional. Tiga pengunjuk rasa dan empat polisi terluka, Jumat lalu.
Kelompok-kelompok HAM mengecam perlakuan aparat. ”Pemerintah negara-negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa harus ikut menuntut agar represi politik pemerintahan Prayuth dihentikan,” kata Direktur Human Rights Watch Asia Brad Adams.
Prayuth, yang mulai berkuasa setelah mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada 2014, membantah tuduhan para pengunjuk rasa bahwa ia sengaja mengakali pemilu tahun lalu agar bisa tetap berkuasa.
Prayuth juga menegaskan tidak akan mengundurkan diri karena tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia mengatakan akan mencabut dekrit keadaan darurat jika kondisi keamanan negara pulih.
Belum ada pernyataan resmi dari raja. Disebutkan, raja meminta rakyat mencintai negeri dan kerajaannya. (REUTERS/AFP/AP)