Kemenlu RI Pastikan Konferensi Rohingya Sesuai Koridor
Kementerian Luar Negeri RI mendukung upaya repatriasi warga Rohingya untuk kembali ke daerah asal di Rakhine, Myanmar.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia telah mendengar rencana konferensi virtual yang akan dilaksanakan sejumlah pihak terkait warga etnis Rohingya.
Pemerintah RI ingin memastikan konferensi itu semata bertujuan membantu masyarakat pengungsi dan berlandaskan rasa kemanusiaan atas warga etnis Rohingya.
Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemenlu RI Febrian Alphyanto Ruddyard menyatakan, kehadiran perwakilan RI dalam sebuah forum internasional ditentukan, antara lain, oleh tujuan dan prinsip terkait penyelenggaraan sebuah kegiatan. Jika sekiranya kegiatan itu tidak inklusif, Kemenlu RI akan memilih menghindari ambil bagian dalam kegiatan itu.
”Kita ingin jadi bagian dari upaya mencari solusi. Jika kita lihat konferensi itu hanya akan menambah perbedaan internasional terkait Rohingya, hal itu akan menjadi catatan kita,” kata Febrian ketika diminta tanggapan atas rencana konferensi itu, Jumat (16/10/2020), dalam kegiatan temu media secara virtual.
Baca juga: Susul Myanmar, PBB Ikut Hapus Peta Desa-desa Rohingya
Kantor berita Reuters mewartakan bahwa sebuah konferensi donor internasional virtual global terkait Rohingya akan diadakan pada 22 Oktober mendatang. Kegiatan itu diklaim untuk mengumpulkan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya. Kegiatan itu diselenggarakan bersama oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris Raya, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Febrian menyatakan, perspektif Kemenlu RI terkait Rohingya jelas, yaitu mendukung upaya repatriasi orang yang keluar dari wilayah asal warga Rohingya, yakni Rakhine State, untuk kembali lagi ke tempat asal mereka. Selama proses dan setelahnya pun mereka wajib mendapat garansi keamanan.
Terkait rencana konferensi internasional itu, akan dilihat siapa saja peserta dalam forum itu. ”Tak akan produktif jika pihak-pihak yang melakukan repatriasi tidak diajak. Posisi RI harus memastikan memberi nilai tambah pada upaya penyelesaian damai,” kata Febrian.
Tak akan produktif jika pihak-pihak yang melakukan repatriasi tidak diajak. Posisi RI harus memastikan memberi nilai tambah pada upaya penyelesaian damai.
Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemenlu RI Achsanul Habib menambahkan, Kemenlu wajib memastikan kegiatan itu tidak menyimpang dari penggalangan bantuan dan respons kemanusiaan terkait warga etnis Rohingya.
Kemenlu masih menunggu konfirmasi soal perwakilan negara-negara mana saja dan dalam tingkat apa keikutsertaan mereka. Dilihat juga kontribusi pengumpulan dana terkait hal itu akan bagi siapa dan mekanismenya seperti apa.
Dalam sebuah pernyataan bersama pada Kamis (15/10/2020) tuan rumah bersama konferensi itu mengatakan kurang dari setengah dari 1 miliar dollar AS bantuan yang berhasil digalang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2020 telah dikumpulkan untuk Rohingya.
Diungkapkan bahwa krisis yang dihadapi orang-orang Rohingya diperburuk oleh pandemi Covid-19. Konferensi tersebut, yang akan diselenggarakan dari Washington, Geneva, dan Bangkok, bertujuan untuk meningkatkan bantuan bagi pengungsi Rohingya yang tinggal di dalam ataupun di luar negara asalnya, Myanmar.
”Orang-orang Rohingya menghadapi kebrutalan yang mengerikan dan dipaksa meninggalkan rumah mereka dalam keadaan terburuk yang tidak dapat dibayangkan,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab dalam pernyataan itu.
”Kami telah menindak perancang kekerasan sistemik ini, termasuk melalui sanksi, dan kami akan terus meminta pertanggungjawaban mereka,” katanya.
Ia menyebutkan bahwa Inggris juga telah menjadi donor utama sejak 2017 untuk meringankan penderitaan kemanusiaan bagi Rohingya. ”Dunia harus sadar akan keparahan penderitaan mereka dan saat ini bersatu untuk menyelamatkan nyawa mereka,” kata Raab.
Baca juga: Reformasi Demokrasi di Myanmar Terancam Kandas
Lebih dari satu juta orang Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar, sebagian besar menyusul tindakan keras militer di Myanmar pada 2017.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan langkah itu dilakukan dengan niat genosida. Adapun pihak berwenang Myanmar membantah genosida, dengan mengatakan itu sebagai respons yang sah atas serangan militan Rohingya.
Lebih dari satu juta warga etnis Rohingya tinggal di kamp-kamp yang luas di Cox’s Bazar, bagian selatan Bangladesh. Dalam pelarian dan pengungsian mereka dari Myanmar, mereka harus bertahan dalam kondisi yang memprihatinkan.
Belasan orang harus berbagi ruang di tiap-tiap tempat perlindungan ala kadarnya, dengan akses terbatas atas air bersih dan sabun.
Cox’s Bazar menjadi permukiman pengungsi terbesar di dunia. Permukiman itu menampung 860.000 warga etnis Rohingya di kamp-kamp, sementara negara-negara lain di Asia Tenggara menampung hingga 150.000 Rohingya tambahan, termasuk Indonesia. Diperkirakan, 600.000 warga Rohingya lainnya tinggal di Negara Bagian Rakhine Myanmar.
Pandemi Covid-19 dilaporkan telah memperburuk kondisi kehidupan pengungsi. Sejumlah akses dan fasilitas layanan bagi mereka dirasakan rawan terganggu.
Pandemi sekaligus dapat meningkatkan risiko kekerasan seksual dan berbasis gender bagi para pengungsi. Risiko penularan penyakit menular lainnya pun membesar.