Negara-negara mencoba untuk melonggarkan pembatasan dengan membentuk gelembung perjalanan. Namun, perjalanan tetap tak mudah karena ada banyak syarat dan tes berkali-kali.
Oleh
Luki Aulia/Kris Mada
·5 menit baca
Akibat pandemi Covid-19, setiap negara membatasi pergerakan warganya ataupun kunjungan orang asing. Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan jumlah wisatawan bisa anjlok 80 persen tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.
Lalu muncul ide ”gelembung perjalanan” (travel bubble) sebagai alternatif cara membuka pintu sekaligus mencegah penyebaran Covid-19. Gelembung perjalanan dibentuk berdasarkan kesepakatan dua negara untuk saling membuka pintu. Penduduk kedua negara sama-sama boleh masuk tanpa perlu karantina 14 hari.
Gelembung perjalanan memungkinkan orang bergerak hanya dalam lingkup dua negara itu saja. Penerapannya membutuhkan keyakinan dan kepercayaan satu sama lain. Kedua negara yang terlibat harus sudah terbukti berhasil mengendalikan Covid-19.
”Idealnya, kedua negara sudah sama-sama tak mengalami kasus Covid-19. Walau masih ada, jumlahnya sedikit dan keduanya memiliki cara penanganan serupa dengan tingkat keberhasilan sama,” ucap Per Block, peneliti mobilitas sosial dan metodologi di Oxford University, seperti dikutip situs smithsonianmag.com, 28 Mei 2020.
Sejak April, Australia dan Selandia Baru menggodok kesepakatan gelembung perjalanan. Keduanya sama-sama berhasil mengendalikan Covid-19. Australia kini hanya mengalami 15 kasus baru, sementara Selandia Baru tidak memiliki kasus baru. ”Negara pertama yang bisa berhubungan lagi dengan Australia jelas Selandia Baru,” kata Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison.
Jika bisa mewujudkan gelembung perjalanan dengan Australia, Selandia Baru hendak memperluas gelembung ke negara atau teritorial lain yang dianggap sukses mengendalikan wabah, seperti Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan.
Jika jumlah kasus bisa tetap rendah, Finlandia dan Polandia pun mau membuat gelembung perjalanan negara-negara Baltik. The Financial Times menyebutkan, Perancis juga memperbolehkan warga Uni Eropa masuk negara itu tanpa karantina 14 hari. Jerman mau pula membuka perbatasan dengan Perancis, Austria, dan Swiss.
Singapura-Indonesia
Indonesia dan Singapura juga sepakat membuka perbatasan. Singapura membuka perbatasan bagi Indonesia mulai November 2020, tetapi hanya untuk urusan kerja dan diplomatik. Perjalanan wisata dan keperluan pribadi belum bisa dilakukan (Kompas, 12/10/2020).
Permohonan bisa diurus mulai 26 Oktober. Prosesnya beberapa hari. Artinya, perjalanan Indonesia-Singapura bisa dilaksanakan paling cepat akhir Oktober atau awal November. Perjalanan dari Indonesia ke Singapura dibatasi hanya lewat Pelabuhan Batam Center dan Bandara Soekarno-Hatta.
Selandia Baru hendak memperluas gelembung ke negara atau teritorial lain yang dianggap sukses mengendalikan wabah, seperti Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan.
Di Singapura, gerbangnya ialah Pelabuhan Tanah Merah dan Bandara Changi. Pelabuhan Tanah Merah terletak dekat Changi dan nyaris tidak ada feri dari Batam Center ke lokasi itu pada masa sebelum pandemi.
Untuk bisa bepergian ke Indonesia, warga atau penghuni tetap Singapura harus menunjukkan berkas sponsor dari Pemerintah Singapura atau perusahaan di Indonesia saat mengurus visa.
Pemohon juga harus mengunduh dan mengisi data diri di aplikasi PeduliLindungi dan e-HAC di ponsel. PeduliLindungi merupakan aplikasi pelaporan untuk memantau pergerakan orang yang masuk Indonesia. Adapun e-HAC merupakan kartu kendali pelaporan kondisi kesehatan.
Calon pelawat harus mengikuti tes PCR dua kali, 72 jam sebelum berangkat dan saat di bandara atau pelabuhan. Penyelenggara tes harus diakreditasi oleh kedua negara.
Syarat bagi pelawat dari RI ke Singapura sama. Pemohon harus menyerahkan berkas sponsor dari pemerintah atau perusahaan. Setelah permohonan dikabulkan, calon pelawat mengunduh, mengisi data diri, serta rencana perjalanan di aplikasi TraceTogether dan SafeEntry. Singapura juga membuka pintu bagi Hong Kong, China, Korea Selatan, Brunei Darussalam, Jepang, dan Malaysia.
Menteri Transportasi Singapura Ong Ye Kung, kepada Channel News Asia, 13 Oktober, menjelaskan, meski pintu dibuka, warga Singapura diimbau untuk mempertimbangkan matang-matang rencana liburan ke luar negeri. ”Kita bersusah payah mencegah Covid-19 dan sejauh ini berhasil. Jangan sampai kita lengah lagi,” ujarnya.
Rumit
Perundingan gelembung perjalanan tak mudah dilakukan. Urusannya tidak hanya memperbandingkan tingkat penularan Covid-19, tetapi juga membahas rincian pelik, seperti syarat karantina 14 hari, standar tes, dan laboratorium yang bisa mengeluarkan sertifikat izin bepergian.
The Wallstreet Journal, 14 Oktober 2020, menyebutkan, gelembung perjalanan tetap tak membuat perjalanan menjadi mudah. Pelawat harus melewati beragam tes sebelum keberangkatan dan saat kedatangan, serta berbagai proses administrasi lainnya. Perjalanan jangka pendek pelancong dari Korea Selatan ke Jepang memang tak harus karantina 14 hari, tetapi wajib menjalani 4 kali tes, yakni 72 jam sebelum keberangkatan, saat tiba di negara tujuan, dan negara asal. Pelawat juga tak boleh menggunakan transportasi umum selama dua pekan. Aplikasi pelacak di ponsel wajib diaktifkan sepanjang hari.
Karena rumitnya proses ini, tidak mudah mencari rekanan yang bisa digandeng. Singapura, misalnya, ingin menggandeng negara-negara dengan jumlah kasus Covid-19 rendah, seperti Vietnam, Selandia Baru, dan Australia. Namun, tiga negara itu belum siap membuka pintu bagi Singapura yang masih ada kasus baru meski hanya 4,6 kasus rata-rata per hari pada dua pekan terakhir. Di Selandia Baru dan Vietnam, tak ada kasus baru.
Guru besar dan pakar penyakit menular di the Australian National University, Peter Collignon, kepada The Sydney Morning Herald, 13 Oktober 2020, memperkirakan, Australia bisa menjalin gelembung perjalanan tanpa karantina dengan Jepang, Singapura, dan Korsel mulai tahun 2021. Taiwan, Selandia Baru, dan negara lain di Pasifik akan menyusul. ”Kondisi kita akan begini paling tidak 2-3 tahun lagi sampai ada vaksin yang 90 persen efektif,” ujarnya.
Karena belum ada jaminan terbebas dari ancaman Covid-19, mau tak mau penduduk dunia masih harus bersabar menjalani segala macam prosedur protokol saat hendak bepergian. Jika pun sudah diperbolehkan bepergian, bisa jadi rasanya berbeda. Persiapan dan perencanaan jauh lebih kompleks dan banyak yang harus dipertimbangkan.