Pemberlakuan status darurat di Bangkok oleh Pemerintah Thailand dinilai hanya alasan untuk bertindak represif.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BANGKOK, JUMAT — Human Rights Watch, Jumat (16/10/2020), menyatakan bahwa status darurat di Bangkok yang dikeluarkan oleh Pemerintah Thailand hanya ”dalih untuk melakukan kekerasan terhadap demonstrasi damai”.
Mengetahui bahwa polisi telah menangkap setidaknya 22 aktivis karena berunjuk rasa, Direktur Human Rights Watch Asia Brad Adams mengatakan, keadaan darurat memungkinkan Pemerintah Thailand menggunakan kekuasaan sewenang-wenang untuk menindak kebebasan berpendapat dan memastikan tidak adanya akuntabilitas atas tindakan pemerintah.
”Otoritas Thailand seharusnya tidak boleh menekan protes damai dengan hukum keras yang melanggar kebebasan berpendapat dan kebebasan sipil lain,” kata Adams, seperti dikutip Nikkei Asia, Jumat.
”Pemerintah Thailand telah menciptakan krisis hak asasi manusianya sendiri. Kriminalisasi protes damai dan seruan reformasi politik adalah pertanda aturan yang otoriter.”
Pada Jumat (16/10/2020), otoritas Thailand telah mengajukan dakwaan yang berat terkait demonstrasi prodemokrasi di Thailand kepada dua orang atas kekerasan terhadap ratu.
Ekachai Hongkangwan dan Paothong Bunkueanum ditangkap pada Jumat. Mereka terancam hukuman penjara 16 tahun hingga penjara seumur hidup. Penangkapan keduanya terjadi ketika gerakan protes para pelajar yang menuntut pemilu ulang, amendemen konstitusi, dan reformasi monarki menjadi demokrasi terus berlangsung.
Protes di Bangkok mencapai puncaknya pada Kamis malam ketika sekitar 10.000 pengunjuk rasa turun ke jalan di pusat kota Bangkok menentang larangan protes di bawah status darurat yang diberlakukan pada hari yang sama. Sehari sebelumnya, demonstrasi juga digelar dan dibubarkan polisi.
Polisi menumumkan akan menutup jalan-jalan menuju persimpangan Rajprasong di Bangkok yang menjadi lokasi demonstrasi pada Kamis. Ketika itu, personel polisi kalah jumlah dari pengunjuk rasa sehingga demonstrasi pun berjalan hingga tengah malam.
Kelompok Thai Lawyers for Humans Rights mengatakan, setidaknya 51 orang telah ditangkap sejak protes berlangsung pertama kali Selasa pekan lalu.
Ekachai merupakan seorang aktivis lama yang telah diserang secara fisik beberapa kali karena kritiknya terhadap militer. Sementara Paothong, seorang mahasiswa yang dikenal juga sebagai Francis Bunkueanum, terlibat dalam pengorganisasian protes kali ini.
Insiden penangkapan keduanya pada Rabu lalu tergolong mencengangkan bagi mayoritas warga Thailand yang secara tradisi dah hukum sangat menghormati anggota keluarga kerajaan.
Video yang beredar luas di media sosial memperlihatkan kerumunan kecil orang mengolok-olok iring-iringan kendaraan yang membawa Ratu Suthida dan Pangeran Dipangkorn yang lewat perlahan. Aparat keamanan berada di antara iring-iringan dan kerumunan, tetapi tidak terlihat ada tindak kekerasan.
Insiden itu terjadi ketika unjuk rasa besar terjadi di Bangkok. Unjuk rasa itu dimulai dari Monumen Demokrasi dan setelahnya ada beberapa ribu pengunjuk rasa mengarah ke Gedung Pemerintah di mana Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha berkantor.
Pada saat yang sama, Raja Maha Vajiralongkorn dan anggota keluarga kerajaan yang lain sedang dalam perjalanan menuju upacara keagamanaan kerajaan di Grand Palace.
Iring-iringan Ratu Suthida berpapasan dengan kerumunan kecil yang berunjuk rasa di Gedung Pemerintah.
”Kami tidak diberi tahu polisi bahwa akan ada iring-iringan keluarga kerajaan sehingga kami tidak tahu,” kata Paothong kepada wartawan.
”Andai saja kami tahu ada iring-iringan ratu dan pangeran, saya bakal memisahkan diri dari kerumunan dan menggunakan pengeras suara untuk meminta semua orang menjauh dari polisi sehingga iring-iringan itu bisa lewat dengan mudah,” tutur Paothong. (AP)