Pemerintah Thailand Berlakukan Kondisi Darurat untuk Padamkan Protes
Aksi protes telah meningkat selama tiga bulan terakhir di Bangkok, Thailand. Mereka, antara lain, menyeruk Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha untuk mundur.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Thailand memberlakukan keadaan darurat tingkat tinggi di Bangkok dengan melarang pertemuan yang melibatkan lima orang atau lebih, Kamis (15/10/2020) pagi. Selain larangan berkumpul, ada larangan publikasi berita atau pesan daring yang bisa membahayakan keamanan nasional.
Pemberlakukan keadaan darurat itu diumumkan untuk mengakhiri aksi gelombang protes di jalan-jalan kota Bangkok. Aksi protes massal telah meningkat selama tiga bulan terakhir di ibu kota Thailand.
Aksi terbaru, para pengunjuk rasa mendirikan kemah di luar kantor Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha untuk menuntut dia mundur, Rabu (14/10/2020) malam. Pemerintah mengatakan, pihaknya telah bertindak setelah demonstran menghalangi iring-iringan mobil kerajaan.
”Sangatlah penting memperkenalkan tindakan mendesak untuk mengakhiri situasi ini secara efektif dan segera demi menjaga perdamaian dan ketertiban,” demikian pernyataan televisi pemerintah.
Siaran itu, disertai dengan pengumuman tentang telah dikeluarkannya sebuah dokumen yang menetapkan langkah-langkah yang berlaku mulai Kamis pukul 04.00 waktu setempat.
Dokumen itu berisi larangan gelaran pertemuan besar dan memungkinkan pihak berwenang melarang orang memasuki area mana pun yang mereka tunjuk.
Pemerintah secara tegas juga melarang ”publikasi berita, media lain, dan informasi elektronik yang berisi pesan yang dapat menimbulkan ketakutan atau sengaja memutarbalikkan informasi, menciptakan kesalahpahaman yang akan memengaruhi keamanan atau perdamaian dan ketertiban nasional”.
Hingga tulisan ini diunggah, kelompok pengunjuk rasa bergeming. Puluhan ribu pengunjuk rasa menggelar aksi berbaris di Bangkok pada Rabu. Gerakan protes itu bertujuan menyingkirkan Prayut, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014 untuk mengakhiri kekerasan selama satu dekade antara pendukung dan penentang stabilitas Thailand.
Para pengunjuk rasa juga menginginkan konstitusi baru dan menyerukan pengurangan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn. Para pengunjuk rasa meneriaki iring-iringan mobil raja di Bangkok, Selasa lalu lalu.
Aksi itu dilakukan setelah pemerintah menangkap sedikitnya 21 demonstran. Keesokan harinya beberapa pengunjuk rasa memperlambat konvoi yang membawa Ratu Suthida. Mereka bahkan meneriakkan kata ”pergi” kepada polisi yang melindungi kendaraan itu.
Media Bangkok Post melaporkan, bakal ada satu referendum digelar di dewan perwakilan rakyat setempat. Referendum itu yang akan menentukan rencana amendemen konstitusi. Sempat beredar sebelumnya Thailand akan menggelar dua referendum.
Komite di parlemen Thailand telah memutuskan setelah meninjau piagam bahwa referendum akan diselenggarakan hanya setelah rancangan RUU amendemen telah melewati pembacaan ketiga dan sekaligus terakhir di parlemen. RUU itu akan dibawa oleh PM Prayut ke lingkungan kerajaan terlebih dulu dan meminta izin dukungan dari kerajaan.
Hal itu diungkapkan Wichian Chavalit, anggota parlemen Partai Palang Pracharath dan ketua sub-panel di bawah komite studi amendemen itu. Wichian mengatakan, referendum yang digelar sebelum penerimaan RUU itu tidak konstitusional.
Kekhawatiran industri
Secara terpisah dilaporkan Federasi Industri Thailand (FTI) mengkhawatirkan pukulan ekonomi lebih lanjut jika konflik politik terbaru meningkat di negara itu. Kalangan pelaku industri menilai, Thailand sudah tidak mampu menyerap lebih banyak risiko sebab ekonomi telah tertekan dalam akibat Covid-19.
Peringatan itu dikeluarkan pada Rabu ketika pengunjuk rasa antipemerintah menggelar unjuk rasa di jalanan. Pihak FTI mengatakan, konfrontasi di Thailand tidak dapat diprediksi. Namun, apa pun bentuk dan hasilnya, konfrontasi akan memengaruhi ekonomi, kecuali jika kondisi pelik itu segera berakhir.
Kriangkrai Tiannukul, Wakil Ketua FTI, mengatakan, jika demonstran tidak memperpanjang aksi, Thailand hanya akan mengalami dampak jangka pendek. Sebaliknya, jika protes berubah menjadi kekerasan, hal itu akan menjadi mimpi buruk setiap upaya pemulihan ekonomi.
”Thailand telah beberapa kali menghadapi ketidakstabilan politik, tetapi berhasil melewatinya sebagian karena tidak ada faktor eksternal. Hari ini kami sedang dilanda pandemi, yang telah menyebar ke seluruh dunia,” katanya.
Pandemi ini membuat negara, seperti Thailand, dinilai tidak dapat mengambil risiko tambahan. Aksi-aksi jalanan dinilai dapat menekan lebih banyak ekonomi Thailand. Kepercayaan investor asing diproyeksikan akan merosot. Investor itu baik yang sudah maupun yang akan berinvestasi di Negeri Gajah Putih itu. (REUTERS/AFP)