Perang antara Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh, Asia Tengah, sejak 27 September 2020 telah menimbulkan krisis kemanusiaan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YEREVAN, RABU — Pertempuran yang terus meningkat dan meluas antara Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh hingga kini telah menimbulkan krisis kemanusiaan. Selain menyebabkan terus jatuhnya korban jiwa, perang itu membuat puluhan ribu orang mengungsi atau melarikan diri dari rumahnya.
Korban tewas dan cedera akibat konflik antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah separatis Nagorno-Karabakh meningkat, Selasa (13/10/2020), seiring terus berkecamuknya konflik bersenjata kedua belah pihak. Washington mendesak kedua belah pihak untuk mematuhi gencatan senjata yang ditengahi Rusia, pekan lalu.
Pejabat militer Nagorno-Karabakh mengatakan, sebanyak 16 prajurit tewas. Hal itu menjadikan jumlah total yang tewas di antara pasukan Armenia menjadi 532 sejak 27 September lalu. Tanggal ini menandai dimulainya pertempuran besar berkobar dalam konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Azerbaijan belum mengungkapkan kerugian militernya. Adapun jumlah keseluruhan kemungkinan akan jauh lebih tinggi karena kedua belah pihak secara teratur mengklaim aksi-aksi mereka menimbulkan korban militer di pihak lain secara signifikan.
Pihak berwenang Azerbaijan mengatakan, sebanyak 42 warga sipil tewas di pihak mereka sejak dimulainya pertempuran. Ombudsman hak asasi manusia Nagorno-Karabakh, Artak Beglaryan, Senin (12/10/2020) malam, melaporkan, sedikitnya 31 warga sipil tewas di wilayah yang memisahkan diri itu dalam dua pekan terakhir.
Ratusan orang juga dilaporkan terluka. Ribuan keluarga melarikan diri dari rumah-rumah mereka untuk mencari tempat yang aman agar tidak terkena peluru nyasar, tembakan roket. Namun, banyak juga rumah warga yang hancur karena terkena roket dan warga luka-luka karena tembakan peluru tajam,
Bentrokan mematikan menandai eskalasi konflik terbesar di Nagorno-Karabakh. Wilayah itu terletak di Azerbaijan, tetapi di bawah kendali pasukan etnis Armenia. Pasukan etnis itu didukung oleh Pemerintah Armenia sejak berakhir perang separatis Armenia-Azerbaijan tahun 1994.
Setelah lebih dari 10 jam pembicaraan maraton di Moskwa, Rusia, menteri luar negeri dari Armenia dan Azerbaijan menandatangani kesepakatan gencatan senjata yang berlaku sejak Sabtu (10/10/2020).
Rusia memiliki pakta keamanan dengan Armenia, tetapi juga telah membina hubungan hangat dengan Azerbaijan. Kondisi itu memungkinkan Moskwa untuk berperan sebagai mediator.
Namun, segera setelah kesepakatan itu berlaku, baik Armenia maupun Azerbaijan justru saling menuduh melanggar kesepakatan itu dengan terus menggelar aksi-aksi serangan. Pada Selasa, pejabat Azerbaijan mengatakan, pasukan Armenia menembaki beberapa wilayahnya.
Seorang pejabat Nagorno-Karabakh juga mengatakan, Azerbaijan melancarkan ”operasi militer skala besar” di sepanjang garis depan. Setiap pihak biasanya menyangkal klaim pihak lain.
Namun, segera setelah kesepakatan itu berlaku, baik Armenia maupun Azerbaijan justru saling menuduh melanggar kesepakatan itu dengan terus menggelar aksi-aksi serangan.
Ali Rastgou, Wakil Gubernur Provinsi Azerbaijan Timur, mengatakan, sebuah rudal menghantam tanah pertanian di 70 kilometer (sekitar 43 mil) timur laut Tabriz. Tabriz adalah kota terbesar ketiga Iran. Hal itu dilaporkan kantor berita yang dikelola Pemerintah Iran, IRNA. Disebutkan bahwa rudal itu tidak mengakibatkan korban jiwa.
IRNA mengatakan bahwa sejak bentrokan dimulai, lebih dari 50 roket menghantam daerah perbatasan Azerbaijan timur itu. Pertempuran tersebut telah memakan korban jiwa yang parah di Nagorno-Karabakh.
Di Stepanakert, ibu kota wilayah separatis yang mengalami penembakan hebat pekan lalu, orang-orang berkerumun di ruang bawah tanah gedung apartemen atau tempat penampungan lainnya. Mereka menyatakan takut akan serangan baru.
Desakan Washington
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, kemarin, melalui media sosial Twitter meminta kedua negara ”melaksanakan komitmen mereka” atas kesepakatan gencatan senjata. Pompeo juga mendesak kedua belah pihak berhenti menargetkan wilayah sipil.
Pernyataan serupa datang dari apa yang disebut Minsk Group, yang bekerja di bawah naungan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa dan diketuai bersama oleh Rusia, Perancis, dan AS.
Ketua bersama kelompok itu mendesak para pihak di Armenia dan Azerbaijan menerapkan gencatan senjata kemanusiaan sesegera mungkin. Hal itu guna memungkinkan dilakukannya pengembalian jenazah, tawanan perang, dan tahanan sekaligus menyetujui persyaratan proses verifikasi gencatan senjata.
Turki telah mengkritik negara-negara lain karena gagal menuntut penarikan pasukan Armenia dari Nagorno-Karabakh. Ankara telah mengambil peran yang sangat terlihat selama konflik dengan mendukung Azerbaijan sebagai sekutunya.
”Kami telah mengatakan berkali-kali bahwa satu-satunya solusi untuk masalah ini adalah agar Armenia menarik diri dari wilayah Azerbaijan,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah pembicaraan Cavusoglu dengan mitranya dari Swedia, Ann Linde, yang juga mendesak gencatan senjata segera. (REUTERS/AP/CAL)