Kelompok G-7 Ingatkan Serangan Keuangan di Tengah Pandemi
Negara G-7 mengatakan, pembayaran digital diakui dapat meningkatkan akses ke layanan keuangan serta memotong inefisiensi dan biaya. Namun, pembayaran semacam itu harus ”diawasi dan diatur dengan tepat”.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
WASHINGTON DC, SELASA — Pemerintah dari kelompok tujuh negara dengan perekonomian terbesar dunia atau G-7, Selasa (13/10/2020), bertekad memerangi serangan ransomware yang meningkat di tengah pandemi Covid-19.
Disebutkan, sistem mata uang kripto tidak akan diberlakukan sampai sistem mata uang digital itu telah diatur dengan benar bersama-sama.
Dalam pernyataan bersama, pejabat keuangan Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, dan Inggris mengatakan, pembayaran digital diakui dapat meningkatkan akses ke layanan keuangan serta memotong inefisiensi dan biaya. Namun, pembayaran seperti itu harus ”diawasi dan diatur dengan tepat”.
Pernyataan tersebut, yang drafnya pertama kali dilaporkan oleh Reuters pada hari Senin, tidak menyebutkan nama proyek stablecoin Libra Facebook, tetapi jelas ditargetkan pada inisiatif tersebut.
”G-7 terus mempertahankan, tidak ada proyek stablecoin global yang harus mulai beroperasi sampai memenuhi persyaratan hukum, peraturan, dan pengawasan yang relevan melalui desain yang tepat dan dengan mematuhi standar yang berlaku,” kata pernyataan itu.
Stablecoin terikat pada mata uang tradisional atau sekeranjang aset. Sistem itu juga digunakan untuk pembayaran atau untuk menyimpan nilai.
Pada April lalu, Dewan Stabilitas Keuangan (FSB) G-20 menetapkan 10 rekomendasi untuk pendekatan umum dan internasional untuk mengatur stablecoin. Rekomendasi itu didorong oleh munculnya usulan penggunaan stablecoin Libra oleh perusahaan raksasa media sosial Facebook.
Pernyataan itu juga menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya ancaman serangan ransomware terhadap sektor jasa keuangan dalam beberapa bulan terakhir. Disebutkan bahwa ’pelaku secara jahat menargetkan sektor-sektor penting di tengah pandemi Covid-19’.
Dalam pertemuan virtualnya, pemerintah kelompok G-7 mencatat bahwa sejumlah otoritas G-7 sedang menjajaki peluang dan risiko yang terkait dengan bank sentral mata uang digital bank sentral (CBDC).
Pernyataan itu juga menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya ancaman serangan ransomware terhadap sektor jasa keuangan dalam beberapa bulan terakhir. Disebutkan bahwa ”pelaku secara jahat menargetkan sektor-sektor penting di tengah pandemi Covid-19”.
Dalam lampiran terpisah tentang ransomware, para pejabat itu mengatakan beberapa jenis ransomware yang menonjol. Hal-hal itu telah dikaitkan dengan kelompok yang ”rentan terhadap pengaruh aktor negara”.
Namun, tidak disebutkan nama negara tertentu yang terlibat. ”Serangan ini, yang sering melibatkan pembayaran dalam aset kripto, membahayakan fungsi penting bersama dengan keamanan dan kemakmuran kolektif kami. Kami menegaskan tekad kami untuk memerangi ancaman ini secara kolektif ataupun individual,” katanya.
Pejabat G-7 meminta semua negara untuk menerapkan standar Satuan Tugas Tindakan Keuangan. Hal itu semata untuk mengurangi akses penjahat dan eksploitasi layanan keuangan.
Mereka menyatakan akan bekerja untuk meningkatkan respons yang terkoordinasi, termasuk melalui berbagi informasi dan tindakan-tindakan ekonomi yang diperlukan.
Dari Tokyo dilaporkan, Gubernur Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) Haruhiko Kuroda mengatakan, para pemimpin keuangan G-7 memang berbagi pandangan yang sama tentang pembayaran digital. Pemerintah Jepang mengaku tidak memiliki rencana segera untuk menerbitkan CBDC.
”BOJ tidak memiliki rencana segera untuk menerbitkan CBDC,” kata Kuroda kepada wartawan. VNamun, BOJ telah mengubah satu langkah demi satu langkah dalam melanjutkan dengan pertimbangan sehingga dapat merespons perubahan lingkungan pada masa depan secara memadai.
Kuroda mengatakan, para pemimpin keuangan G-7 menggarisbawahi perlunya menjaga transparansi, supremasi hukum, dan tata kelola ekonomi yang baik. Hal-hal itu penting menjaga sistem keuangan global, tambah Kuroda. Pernyataan itu dibaca sebagai peringatan diam-diam terhadap wacana China untuk mengeluarkan yuan digital.
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Jepang Taro Aso juga menyuarakan pentingnya menjaga transparansi. Pernyataan itu disampaikan ketika ia ditanya apakah yuan digital akan memenuhi kondisi seperti itu.
”Ada berbagai pandangan terkait hal itu. Kami tidak hanya mengatakan kepada China, tetapi juga negara lain yang berniat menerbitkan mata uang digital bahwa mereka tidak boleh melakukannya, kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi,” kata Aso.
Bank Sentral Eropa sedang mempertimbangkan mengeluarkan euro digital untuk melengkapi uang kertas. Bank of England juga telah meluncurkan konsultasi tentang poundsterling digital. Namun, Bank of Japan dan bank sentral AS, The Federal Reserve, sejauh ini menilai bahwa hal itu tidak penting untuk dibicarakan. (AFP/REUTERS)