Sebagai Ekonomi Terbesar Ketiga, Mengapa di Jepang Minim ”Unicorn”?
Jepang tertinggal jauh dari Amerika Serikat dan China dalam urusan memproduksi ”unicorn”. Hanya ada empat perusahaan asal Negeri Sakura itu dalam daftar lebih dari 400 ”unicorn” global saat ini.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Mengapa Jepang hanya menghasilkan segelintir perusahaan rintisan besar? Kurang apa coba Jepang dengan statusnya sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia. Apakah ini ada hubungannya dengan budaya perusahaan yang kaku, investor yang berhati-hati, serta kondisi populasi yang menua di sana, mapan, sehingga cenderung lambat, bahkan pasrah, dengan perubahan-perubahan zaman?
Jepang tertinggal jauh dari Amerika Serikat dan China dalam ”memproduksi” unicorn. Merujuk pada daftar terbaru yang disusun platform analitik asal AS, CB Insights, dan dikutip pada Selasa (13/10/2020), dari 100 unicorn hanya ada empat perusahaan rintisan asal Jepang yang nilai kapitalisasinya lebih dari 1 miliar dollar AS. Total terdapat 490 perusahaan unicorn di dunia saat ini dengan total valuasi mencapai 1.550 miliar dollar AS.
Di barisan lima terbesar unicorn, dua terbesar adalah perusahaan asal China dan menyusul tiga di bawahnya asal AS. Mereka secara berturut adalah Bytedance, Didi Chuxing, SpaceX, Stripe, dan Airbnb. Bytedance sudah menyandang kategori perusahaan hectocorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi melampaui 100 miliar dollar AS. Valuasi perusahaan kecerdasan buatan induk perusahaan Tiktok itu mencapai 140 miliar dollar AS. Didi Chuxing, SpaceX, Stripe, dan Airbnb di barisan perusahaan decacorn, yakni perusahaan dengan kapitalisasi pasar di atas 10 miliar dollar AS.
Perusahaan rintisan Jepang yang masuk dalam daftar itu adalah Preferred Networks dengan kapitalisasi pasar 2 miliar dollar AS, lalu SmartNews (1,2 miliar dollar AS), dan dua lainnya adalah Liquid dan Playco dengan valuasi masing-masing 1 miliar dollar AS. Untuk perbandingan, ada lima perusahaan Indonesia masuk daftar itu, yakni Gojek, Tokopedia, Traveloka, Ovo, dan Bukalapak. Nilai valuasi unicorn-unicorn Indonesia juga di atas unicorn Jepang. Valuasi masing-masing dari lima unicorn asal Indonesia berada dalam rentang 2,5-10 miliar dollar AS.
”Jika dikaitkan dengan PDB (produk domestik bruto), Jepang harus punya setidaknya 50 hingga 60 unicorn,” kata Gen Isayama, Kepala World Inovation Lab, perusahaan yang berbasis di California yang memberi masukan hingga modal perusahaan rintisan dan fokus kepada Jepang.
”Di Jepang, upaya inovasi selalu dipimpin perusahaan besar. Bank, misalnya, lebih bersedia meminjamkan uang kepada perusahaan (jenis) ini daripada berinvestasi di perusahaan baru.”
Jika dikaitkan dengan PDB (produk domestik bruto), Jepang harus memiliki setidaknya 50 hingga 60 unicorn.
Nilai pasar modal ventura Jepang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan AS dan China. Sejumlah penelitian menunjukkan, besaran pasar modal ventura AS mencapai 137 miliar dollar AS. Adapun nilai pasar modal ventura China adalah 52 miliar dollar AS.
Namun, SoftBank Group yang asal Jepang malah cenderung memilih mendanai perusahaan rintisan luar negeri. SoftBank Group banyak berinvestasi di perusahaan teknologi, termasuk Uber dan Alibaba. SoftBank Group hampir tidak menyentuh perusahaan lokal yang lebih kecil.
Kurangnya modal swasta untuk ekspansi dapat memaksa perusahaan baru Jepang untuk go public lebih cepat daripada perusahaan-perusahaan sejenis di negara lain. ”Namun, jika go public (dengan ukuran) terlalu kecil, Anda tidak akan pernah bisa tumbuh,” kata Isayama.
Standar perusahaan tercatat juga menjadi sorotan. ”Di Jepang, standar pencatatan sangat rendah. Jadi, ada banyak perusahaan kecil dan banyak dari mereka puas dengan kondisi itu,” kata Takeshi Aida, pendiri dan CEO RevComm, perusahaan rintisan AI yang berbasis di Tokyo dan berharap dapat segera diluncurkan di Asia Tenggara.
Aida menganalisis, populasi yang menyusut dan ekonomi yang stagnan berdampak bagi masa depan Jepang. Kelindan kondisi itu berarti mengakibatkan banyak perusahaan internasional tidak terlalu tertarik dengan Jepang. Artinya, perusahaan rintisan Jepang merasa ”terlindungi” dari persaingan dunia di luar Jepang. Akibatnya, mereka kurang atau tidak memiliki dorongan untuk tumbuh dan berkembang.
Para pelaku industri juga merujuk pada faktor budaya di Negeri Sakura. Sistem pendidikan Jepang dinilai masih dirancang untuk menghasilkan calon pekerjaan yang stabil di perusahaan besar. ”Dibutuhkan banyak nyali untuk mematahkan kebiasaan dalam masyarakat yang terkenal akan konformitasnya,” kata Isayama.
Aida bahkan terkekeh saat mengenang masa-masa mahasiswanya, ”Saya merasa sangat aneh dibandingkan dengan orang lain. Saya berbicara terlalu banyak, padahal saya mengutarakan pikiran saya.”
Takafumi Kurahashi, direktur operasional di start-up digital SmartHR, mengatakan, dirinya menyadari perbedaan budaya yang tumbuh antara Jepang dan AS. ”Jika pamer, Anda akan didorong mundur,” katanya tentang pengalamannya di sekolah menengah Jepang. ”Jadi, saya belajar dengan susah payah, tetapi dengan akhir justru didorong untuk mundur.”
Namun, terlepas dari aneka kesulitan, para ahli melihat sejumlah alasan untuk tetap optimistis dengan Jepang. Investasi pada perusahaan rintisan tetap mendapatkan celahnya seiring inovasi dan investasi yang cenderung stagnan pada industri manufaktur. Investor korporat juga secara bertahap menyadari bahwa lebih baik memberi ruang bagi para pemula untuk menemukan masa depan mereka daripada mencoba mengendalikan mereka.
Pandemi Covid-19 dan agenda reformasi Perdana Menteri Yoshihide Suga juga mendorong bisnis Jepang dan departemen pemerintah untuk lebih lanjut mengembangkan dunia digital. Kondisi itu dapat menjadi peluang bagi para wirausaha teknologi lokal. Isayama mengatakan, dukungan pemerintah untuk perusahaan rintisan juga meningkat. Aparat pemerintah, antara lain, mencari nasihat dari investor berpengalaman yang dapat didukung oleh perusahaan. (AFP)