Rasialisme Menguat Setelah Pembunuhan Petani Kulit Putih
Presiden Afrika Selatan berupaya meredam gejolak munculnya kembali isu rasialisme di negaranya setelah kematian seorang petani kulit putih.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
CAPETOWN, SELASA — Isu rasialisme di Afrika Selatan kembali menguat pasca-pembunuhan seorang petani muda, Brendin Horner, beberapa waktu lalu. Pecahnya kerusuhan di kota Senekal menjadi sinyal tentang kemunculan rasialisme di negara yang pernah terpasung oleh politik apartheid itu.
Presiden Cyril Ramaphosa terus berupaya keras untuk meredam kemunculan politik apartheid. Ia tidak mau Afrika Selatan jatuh lagi ke pelukan politik apartheid dan meminta rakyat tetap tenang. Kasus pembunuhan seorang petani itu murni merupakan tindakan kriminal.
Dalam pernyataannya, Senin (12/10/2020) waktu Capetown, dia mendesak rakyatnya untuk tidak menggunakan pembunuhan Horner, petani berkulit putih, demi mengobarkan kembali ketegangan rasial dengan cara yang salah. Rakyat diimbau tidak menyamakan kejadian itu sebagai pembersihan etnis.
Kantor polisi di Senekal, tempat dua tersangka pembunuh Horner ditahan, diserbu warga kulit putih. Beberapa kelengkapan kerja polisi hangus terbakar, termasuk sebuah mobil.
Polisi harus mengeluarkan tembakan peringatan untuk menenangkan dan membubarkan massa. Inisiator gerakan warga kulit putih, Andre Pienaar (52), menurut Al Jazeera, telah ditangkap dan dikenai pasal UU Terorisme.
”Apa yang terjadi di Senekal menunjukkan betapa mudahnya memicu kebencian ras. Kita harus menolak setiap upaya untuk menggunakan kejahatan di pertanian untuk memobilisasi massa karena masalah rasial seperti ini,” kata Ramaphosa.
Presiden Afsel itu menyatakan, pembunuhan di pertanian (merujuk pada pembunuhan Horner) bukan merupakan pembersihan etnis ataupun genosida. Kasus pembunuhan itu merupakan tindakan kriminalitas.
Kematian Horner, pekerja pertanian berusia 21 tahun, dan telah memicu kekerasan yang berbau rasial adalah masalah besar di Afrika Selatan. Pembunuhan di wilayah pertanian yang sebagian besar dimiliki oleh petani kulit putih adalah masalah serius di negara ini.
Sejumlah aktivis kulit putih, kelompok minoritas di negara ini, telah mengembangkan wacana bahwa mereka adalah menjadi target dan korban genosida kulit putih.
Tujuan dari serangan-serangan terhadap kelompok petani kulit putih, menurut aktivis kulit putih, adalah memaksa pemilik tanah dan lahan pertanian untuk hengkang dari lahan mereka.
Pembunuhan terhadap petani kulit putih merupakan sebagian kecil dari total pembunuhan di Afrika Selatan, yang memiliki tingkat pembunuhan tertinggi kelima di dunia.
Menurut data kepolisian, pada 2019-2020, terjadi 21.325 kasus pembunuhan di Afsel. Sejumlah 49 kasus pembunuhan di antaranya menyasar petani kulit putih.
Polisi membandingkan angka pembunuhan terhadap petani kulit putih dengan jumlah operator atau manajer peternakan kulit putih di tahun 2017, yaitu 37.000 orang. Dengan perbandingan itu, otoritas keamanan menyebut bahwa kasus pembunuhan petani kulit putih bukanlah genosida atau pembersihan etnis.
Afriforum, kelompok yang mewakili warga Afrika, keturunan dari sebagian besar pemukim Belanda yang memiliki sebagian besar tanah pertanian pribadi, mengatakan, pernyataan Ramaphosa gagal menyelesaikan krisis ini. Pernyataan itu disampaikan untuk menjawab pertanyaan Reuters yang dikirim melalui surat elektronik.
”Bagian krisis pembunuhan di pertanian adalah bahwa politisi senior, yang memiliki kedudukan di partai yang berkuasa, dengan mudah meromantisasi kekerasan terhadap petani dalam ucapan mereka,” kata Ernst Roets, Ketua Afriforum.
Pembunuhan Horner menyeruak di tengah upaya pemerintah untuk mengambil alih tanah milik para petani kulit putih tanpa pemberian kompensasi apa pun pada pemilik lahan yang lama. Sekitar 70 persen lahan pertanian milik pribadi di Afrika Selatan dimiliki orang kulit putih, yang populasinya kurang dari 9 persen. Populasi negara itu berjumlah total 58 juta.
Pengambilalihan ini adalah bagian dari upaya pemerintahan Ramaphosa untuk memperbaiki ketimpangan pendapatan dan ekonomi yang masih sangat mencolok meski politik apartheid telah berakhir seperempat abad silam.
”Mayoritas korban kejahatan dengan kekerasan adalah orang kulit hitam dan miskin. Laki-laki dan perempuan berkulit hitam yang masih muda di negara ini memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk dibunuh,” kata Ramaphosa.
Klaim ”genosida kulit putih” di Afrika Selatan telah mendapatkan daya tarik di antara kelompok supremasi kulit putih di seluruh dunia. Tahun 2018, kelompok ini juga sempat menarik perhatian Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Dalam cuitannya pada Agustus 2018, Trump berjanji untuk menyelidiki pembunuhan di pertanian di Afrika Selatan. Tindakan ini mendapat penolakan dari Pemerintah Afrika Selatan. (REUTERS)