China Sangkal Memberikan “Jebakan Utang” pada Sri Lanka
Diplomasi "jebakan utang" China membuat negara-negara ekonomi lemah tidak berdaya karena terbebani utang untuk membangun infrastrukturnya.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
KOLOMBO, SENIN – Beijing, Minggu (11/10/2020), telah mengumumkan akan mengucurkan dana hibah 90 juta dollar AS kepada Sri Lanka. Dana hibah itu akan digunakan untuk perawatan medis, pendidikan, dan suplai air bersih di daerah-daerah pedesaan yang miskian dan minim akses di Sri Lanka.
Pemerintah China juga membantah persepsi yang menyatakan bahwa megaproyek China di Sri Lanka merupakan “perangkap utang.” Bantahan itu muncul setelah ada kekhawatiran pinjaman China yang terus mengucur ke Sri Lanka itu hanya sebagai jebakan utang.
Kedutaan Besar China di Kolombo menyebut bantuan keuangan itu sebagai hibah yang akan dipakai untuk keperluan kesehatan, pendidikan, dan suplai air bersih di kawasan pedesaan Sri Lanka. Hal itu akan “berkontribusi pada kesejahteraan (Sri Lanka) di masa pandemi Covid-19.”
Pernyataan Kedutaan Besar China di Kolombo itu disampaikan menyusul lawatan delegasi China yang dipimpin oleh Yang Jiechi, anggota Politbiro Partai Komunis China sekaligus mantan menteri luar negeri China.
Selama berbincang dengan Yang, Presiden Sri Lanka Gotabhaya Rajapaksa meminta bantuan China untuk membantah persepsi megaproyek yang didanai China sebagai “jebakan utang” yang bertujuan untuk mendapatkan pengaruh di dalam negeri.
China menganggap Sri Lanka sebagai penghubung penting dalam inisiatif pembangunan infrastruktur global “Sabuk dan Jalan” dan telah mengucurkan pinjaman miliaran dollar AS untuk proyek-proyek infrastruktur di Sri Lanka dalam satu dekade terakhir. Proyek itu termasuk pembangunan pelabuhan, bandar udara, kota-pelabuhan, jalan tol, dan pembangkit listrik.
Paar pengkritik mengatakan bahwa proyek yang didanai China tidak layak dan Srilanka akan menghadapi kesulitan mengembalikan pinjama itu.
Pada tahun 2017, Sri Lanka menyewakan pelabuhan yang dibangun China yang berada dekat rute pelayaran yang padat kepada perusahaan China selama 99 tahun untuk mengembalikan pinjaman yang membebani dari China yang mereka terima.
Infrastruktur itu merupakan bagian dari rencana Beijing untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan mulai dari perairan China hingga ke Teluk Persia. China juga telah menyepakati pinjaman 989 juta dollar AS untuk Sri Lanka untuk membangun jalan tol yang akan menghubungan wilayah tengah yang jadi sentra produksi teh ke pelabuhan yang dibangun China.
Tahun lalu, South China Morning Post melaporkan bahwa Sri Lanka bukan satu-satunya negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang mencoba menegosiasi ulang utang dari China dalam proyek “Inisiatif Sabuk dan Jalan.”
Sementara Malaysia berhasil merenegosiasi kontraknya dalam proyek pembangunan Jalur Kereta pesisir Timur, negara lain seperti Pakistan dan Myanmar kurang beruntung.
Para pengamat internasional mengatakan, ketergantungan Sri Lanka pada investasi internasional sejalan dengan pembangunan terus menerus yang dilakukan negara itu pascaberakhirnya perang saudara. Inilah yang kemudian membatasi ruang geraknya untuk melakukan negosiasi dengan China.
“Kemampuan sebuah negara menegosiasi ulang kesepakatannya akan bergantung pada kekuatan ekonominya, kinerja, dan pandangan strategisnya,” kata Amitendu Palit, ekonom kebijakan perdagangan dan investasi internasional dari National University of Singapore.
“Dalam hal ini, Malaysia unggul. Ia negara berpenghasilan menengah dengan ekonomi yang kuat dan merupakan bagian dari tatanan kawasan yang stabil. Sementara Sri Lanka tidak demikian.”
“Bahkan 10 tahun sejak berakhirnya konflik sipil, perekonomian Sri Lanka belum mampu mencapai pertumbuhan yang tinggi dan menarik investasi asing jangka panjang,” ujar Palit.
Mei lalu, Nikkei Asia melaporkan bahwa Gotabaya Rajapaksa telah dua kali berpaling kepada China karena cadangan devisa Sri Lanka yang menyusut menjadi 7,2 miliar dollar AS. Ini disebabkan oleh krisis keuangan dan beban utang yang besar. Sri Lanka pun terus menumpuk utangnya kepada China.
China melebarkan pengaruhnya di Sri Lanka selama kepemimpinan mantan Presiden Mahinda Rajapaksa, kakak tertua presiden Sri Lanka sekarang. Mahinda Rajapaksa yang kini jadi perdana menteri bertemu secara terpisah dengan Yang, Jumat lalu.
Pengaruh ekonomi China terhadap Sri Lanka membuat khawatir negara tetangganya, India, yang menganggap Samudera Hindia sebagai halaman belakangnya yang strategis.
Kedatangan Yang berlangsung beberapa hari setelah para diplomat senior dari empat negara Indo-Pasifik, yaitu Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia bertemu di Tokyo untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam inisiatif kawasan yang disebut “Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka” yang bertujuan menangkal terus tumbuhnya pengaruh China di kawasan tersebut.(AP)