Covax adalah pilar percepatan sekaligus sarana pendistribusian hal-hal terkait penanganan pandemi Covid-19.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Pemerintah China menyatakan diri bergabung dengan skema global untuk distribusi vaksin Covid-19 yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni Covax, Jumat (9/10/2020). Ini menjadi dukungan besar pada inisiatif global melawan pandemi Covid-19 di tengah penolakan Pemerintah Amerika Serikat atas skema itu.
Covax adalah pilar percepatan sekaligus sarana pendistribusian hal-hal terkait penanganan pandemi hingga penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19 secara global. Skema itu dinilai sebagai terobosan kolaborasi global untuk mempercepat pengembangan, produksi, dan akses yang adil atas tes, perawatan, dan vaksin Covid-19.
Covax dipimpin bersama oleh Gavi, Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) dan WHO. Tujuannya adalah untuk mempercepat pengembangan dan pembuatan vaksin Covid-19, serta menjamin akses yang adil dan merata bagi setiap negara di dunia.
Beijing mendapatkan aneka kritik terkait penanganan Covid-19 di awal-awal pandemi. Kritikan tertuju pada penilaian bahwa Beijing gagal membendung Covid-19 di tempat ditemukannya penyakit itu, yakni di Wuhan, China.
Akibatnya kini Covid-19 telah menyebar ke sebagian besar wilayah di dunia. Kritik itu mengakibatkan pandangan yang tidak menguntungkan tentang China di negara-negara maju.
"Kami mengambil langkah konkret ini untuk memastikan distribusi yang adil dari vaksin, terutama ke negara berkembang, dan berharap negara yang lebih mampu juga akan bergabung dan mendukung Covax," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, dalam sebuah pernyataan.
Namun pernyataan itu tidak merinci dukungan yang akan diberikan Beijing kepada program Covax, yang menargetkan untuk mendistribusikan setidaknya 2 miliar dosis vaksin Covid-19 pada akhir tahun 2021.
Pada bulan Mei lalu, Presiden China Xi Jinping menjanjikan 2 miliar dollar AS selama dua tahun ke depan. Dana itu dialokasikan untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang sejauh telah menewaskan lebih dari 1 juta orang itu.
China juga sedang dalam pembicaraan dengan WHO agar vaksin buatan dalam negerinya diteliti dengan harapan dapat digunakan secara internasional.
Sebanyak 171 negara telah bergabung dengan Covax. Peserta termasuk 76 orang yang secara pribadi bergabung dalam skema itu. Namun dalam daftar itu tidak ada negara maupun pihak-pihak yang berasal dari AS dan Rusia. Asas keadilan memang dijunjung tinggi dalam skema itu.
Covax sengaja dirancang untuk mencegah pemerintah di tingkat nasional menimbun vaksin Covid-19. Fokus skema itu juga pertama-tama adalah menggelar vaksinasi pertama terhadap orang-orang yang paling berisiko tinggi di setiap negara.
Sebanyak 171 negara telah bergabung dalam Covax. Peserta termasuk 76 orang yang secara pribadi bergabung dalam skema itu.
Namun prospek keberhasilan skema itu sejauh ini masih terlihat suram. Sejumlah negara kaya, termasuk AS, memilih untuk menandatangani kesepakatan terkait pasokan bagi mereka sendiri.
“Kesepakatan vaksin sedang berlangsung dan kami dengan cepat mendekati target penggalangan dana awal kami untuk memulai dukungan bagi negara-negara berpenghasilan rendah," kata Kepala Eksekutif Gavi, Dr Seth Berkley, dalam sebuah pernyataan.
"Apa yang tampak seperti tantangan yang mustahil beberapa bulan lalu – yakni memastikan setiap negara, kaya atau miskin, mendapatkan akses yang adil dan cepat ke vaksin Covid-19- sekarang menjadi kenyataan."
Juru bica Gavi menyatakan keterlibatan China dalam Covax berarti juga bahwa Beijing akan mendapatkan vaksin melalui fasilitas itu untuk sebagian dari populasi mereka sendiri.
Posisi maupun prosedur itu sama dengan halnya yang berlaku bagi negara-negara lain melalui skema itu. Kemlu China menyatakan China memiliki kemampuan yang cukup untuk membuat vaksin Covid-19.
Beijing mengklaim siap memprioritaskan pasokan ke negara-negara berkembang jika sudah siap. China memiliki setidaknya empat vaksin eksperimental dalam tahap akhir uji klinis.
Dua calon vaksin sedang dikembangkan oleh China National Biotec Group (CNBG) yang didukung negara dan dua lainnya oleh Sinovac Biotech dan CanSino Biologics.
Kewaspadaan Eropa
Terkait perkembangan pandemi Covid-19 secara global, sejumlah negara di Eropa terus meningkatkan kewaspadaan atas kemungkinan terjadinya gelombang kedua Covid-19.
Empat kota di Perancis -Lille, Lyon, Grenoble, dan Saint-Etienne- berada dalam kondisi siaga satu. Adapun Pemerintah Jerman mengakui tengah berada dalam tingkat lonjakan jumlah kasus Covid-19 yang mengkhawatirkan.
Penerapan status siaga satu empat kota di Perancis itu mengikuti langkah serupa atas kota Paris dan sejumlah kota lain di negara itu. Otoritas kesehatan di wilayah Paris memperingatkan "gelombang besar kasus" yang akan datang.
Pusat-pusat layanan kesehatan masyarakat pun diminta bersiap dan memobilisasi dokter dan tenaga Kesehatan tambahan. "Kami harus mengerahkan semua pasukan kami ke dalam pertempuran," kata kepala badan otoritas kesehatan ARS Aurelien Rousseau.
Hingga Kamis pekan ini sebanyak 36,2 juta kasus Covid-19 telah secara resmi didiagnosis sejak pertama kali muncul di China akhir tahun lalu. Dari jumlah total kasus itu, sebanyak 1,06 juta orang meninggal dunia karena penyakit itu.
Amerika Serikat memiliki jumlah kematian tertinggi, dengan 211.844 kasus, diikuti oleh Brasil dengan 148.228 kasus, India 105.526 kasus, Meksiko 82.726 kasus dan Inggris 42.515 kasus.
Sementara itu dari Jerman dilaporkan Menteri Kesehatan Jerman, Jens Spahn, menyatakan negaranya mengalami "lonjakan mengkhawatirkan" kasus Covid-19. Saat ini jumlah infeksi harian baru penyakit itu melewati 4.000 kasus. Ini adalah kali pertama sejak kondisi serupa pernah terjadi pada awal April lalu.
Ekonomi terbesar di Eropa memiliki angka kematian yang relatif rendah dibandingkan dengan negara Eropa lainnya. (AFP/REUTERS)