Pembukaan Kembali Umrah Tiupkan Napas Baru bagi Visi 2030 Arab Saudi
Keputusan Arab Saudi membuka umrah di tengah pandemi Covid-19 membawa kegembiraan di dalam dan luar negeri. Namun, ujung pandemi yang belum jelas menimbulkan tanda tanya mengenai kemampuan umrah menopang Visi 2030.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Tepat pukul 00.00 menjelang Sabtu (3/10/2020) waktu Mekkah, rombongan pertama jemaah umrah pada masa pandemi Covid-19 memasuki kota suci bagi umat Islam itu. Ini merupakan gelombang pertama jemaah umrah yang menjejakkan kaki di Mekkah setelah hampir tujuh bulan lamanya Pemerintah Arab Saudi memutuskan menghentikan sementara kedatangan umat Islam untuk beribadah umrah di Masjidil Haram karena pandemi.
Pemerintah Arab Saudi membuka pintu bagi 6.000 anggota jemaah umrah untuk gelombang pertama. Secara bertahap, pada 18 Oktober mendatang, jumlah jemaah yang diberi izin beribadah di masjid tersuci itu akan ditambah menjadi 15.000 orang. Dua gelombang pertama ini hanya dikhususkan bagi warga Arab Saudi dan ekspatriat yang tinggal di negara itu.
Pemerintah Arab Saudi baru akan membuka pintu bagi jemaah umrah dari luar negeri pada tahap ketiga, yang akan dimulai pada November mendatang. Pada tahap ini, secara bertahap, jumlah kapasitas jemaah di kompleks Masjidil Haram akan dinaikkan menjadi 20.000 orang. Otoritas keamanan dan kesehatan Arab Saudi membolehkan maksimal 60.000 orang berada di kompleks ini dalam satu waktu bersamaan, khususnya untuk melaksanakan shalat.
Berita pembukaan kembali Arab Saudi bagi jemaah umrah disambut gembira oleh banyak kalangan, termasuk pelaku industri perjalanan haji dan umrah di Indonesia. Namun, mereka masih menunggu kepastian detail pelaksanaan dari Pemerintah Arab Saudi serta Kementerian Haji dan Umrah negara tersebut.
Nurul Zakiyah, Direktur PT Chandra Citra Utama, salah satu agen perjalanan haji dan umrah di Provinsi Banten, mengatakan bahwa mereka masih bersikap menunggu terkait pembukaan umrah itu. Yang ditunggu adalah kuota dan masalah teknis perjalanan serta ibadah jemaah di lokasi. ”Kami mungkin baru akan memberangkatkan jemaah pada awal tahun depan. Saat ini kami bersiap-siap dengan segala hal teknisnya,” kata Nurul.
Walau saat ini Mekkah baru menerima jemaah lokal dan ekspatriat di Arab Saudi, bagi Yasser al-Zahrani, hal itu adalah berkah luar biasa baginya dan mungkin bagi warga kota tersebut. ”Seluruh Mekkah berbahagia hari ini. Ini seperti berakhirnya masa penjara. Kami telah merindukan perasaan spiritual para peziarah yang berkeliaran di kota ini,” kata Zahrani, seorang pengemudi taksi daring Uber.
Akibat pandemi, Zahrani terpaksa banting setir menjadi pengemudi taksi daring. Perusahaan jasa konstruksi tempatnya dulu bekerja kini tak bisa lagi menggajinya. Banyak proyek konstruksi mandek. Dia salah satu pekerja dari ribuan pekerja yang dirumahkan. ”Itu adalah mimpi buruk. Hampir tidak ada pekerjaan untuk menutupi tagihan saya,” tutur Zahrani.
Tulang punggung Visi 2030
Pandemi Covid-19, yang awalnya terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei, China, tidak hanya mimpi buruk bagi Zahrani, tetapi juga bagi Arab Saudi secara keseluruhan. Sebelum pandemi, lebih dari 1.300 hotel dan ratusan toko serta usaha lainnya di sekitar kompleks Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah menggantungkan hidupnya dari para jemaah yang datang tanpa henti. Tak jarang, toko-toko di dua kota suci itu selama 24 jam beroperasi, melayani kebutuhan para jemaah dari seluruh dunia.
Kini, karena pandemi, sebagian besar pemilik toko memilih tutup. Jendela dan pintu di depan toko-toko itu kini dipenuhi debu.
”Umrah dan haji adalah subsektor yang menjadi pundi penghasil uang bagi Arab Saudi. Negara ini kehilangan banyak pemasukan akibat pandemi,” kata Theodore Karasik, analis pada lembaga Gulf State Analytic, dikutip dari laman Middleeasteye.net.
Sejak tahun 2016, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman—atau lebih sering disebut MBS—mencanangkan Visi Arab Saudi 2030. MBS kini secara de facto adalah penguasa Arab Saudi meski Raja Arab Saudi masih tetap dijabat ayahnya, Salman bin Abdulaziz al-Saud. MBS memiliki keinginan visioner untuk mengembangkan Arab Saudi menjadi negara terkemuka tanpa menggantungkan diri pendapatan dari minyak, seperti yang selama bertahun-tahun dilakukan generasi pemimpin kerajaan sebelumnya.
Peran minyak bumi, meski masih menjadi penopang perekonomian Arab Saudi saat ini dan masih menjadi sumber pendapatan terbesar negara ini, mulai dikurangi. Proyeksi anggaran pemerintah, berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2020, pendapatan dari minyak akan mencapai 516,46 miliar dollar AS atau 62 persen dari total pendapatan negara.
Namun, selain perang harga minyak di antara negara-negara produsen minyak, pandemi merusak permintaan pasar. Harga minyak dunia sempat anjlok hingga minus—atau tidak berharga di pasaran—kini berada di kisaran 44 dollar AS per barel. Namun, hal itu masih belum menolong.
Pendapatan Arab Saudi dari minyak pada tahun ini dipastikan akan minus. Data Badan Statistik Arab Saudi per Juni 2020 menunjukkan ekspor minyak turun hingga nyaris menyentuh 60 persen di tahun 2020 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Peran utama minyak sebagai sumber pendapatan, dalam Visi Arab Saudi 2030, digantikan dengan sumber pendapatan dari sektor lainnya, khususnya turisme dan jasa. Jemaah haji dan umrah, bersama sektor pariwisata lainnya, diproyeksikan menjadi sumber pendapatan utama bagi Arab Saudi dalam satu dekade mendatang.
Dalam Visi 2030, MBS memasang target mendatangkan lebih dari 1,2 juta wisatawan nonreligius setiap tahunnya ke Arab Saudi dan 30 juta anggota jemaah haji dan umrah. Data Badan Statistik Arab Saudi menyebutkan, sektor pariwisata menyumbang 3,5 persen pendapatan nasional atau sekitar 22,8 miliar dollar AS per tahun. Dengan target tinggi, setidaknya pendapatan Arab Saudi dari sektor pariwisata, khususnya haji dan umrah, bisa naik dua hingga tiga kali lipat.
Namun, pandemi Covid-19 membuat kegiatan ibadah terhenti sementara waktu. Hal ini menyebabkan Arab Saudi kehilangan setidaknya 40 persen pendapatan dari sektor ini. Ini adalah persentase paling moderat mengingat perkiraan kehilangan pendapatan sektor pariwisata di tingkat global mencapai 60-78 persen.
”Meski Pemerintah Arab Saudi tidak mengeluarkan dana untuk persiapan musim haji, Mekkah dan Madinah kehilangan banyak pendapatan dari jutaan jemaah haji dan umrah. Dan itu berdampak pada Arab Saudi secara keseluruhan,” kata Mazen Al Sudairi, Kepala Riset lembaga keuangan Al-Rajhi Capital yang berbasis di Riyadh.
Goyah
Kehilangan dua sumber pemasukan utama, dari haji dan umrah, membuat Arab Saudi limbung. Rencana mewujudkan Visi Arab Saudi 2020 dinilai terlalu berisiko dengan kondisi keuangan yang tidak memungkinkan.
Bahkan, menurut Michael Stephens, analis Timur Tengah pada lembaga Royal United Services Institute yang bermarkas di London, Visi Arab Saudi 2030 telah terhenti. ”Arab Saudi tengah berhadapan dengan masa tersulit di bawah kendali MBS,” kata Stephens.
Namun, pandangan berbeda disampaikan analis Bayly Winder dari Universitas Harvard. Menurut dia, Pemerintah Arab Saudi bisa melakukan kalkulasi ulang dan menunda sementara waktu berbagai proyek yang membutuhkan dana besar, tetapi tidak penting untuk masa sekarang.
”Ini adalah peluang bagi Arab Saudi untuk berhitung ulang tentang Visi Arab Saudi 2030 yang ambisius menjadi rencana aksi yang lebih realistis dan lebih simpel, ringkas,” kata Winder, yang dikutip dari laman Carnegie Endowment for International Peace.
Pilihan itu diambil oleh Pemerintah Arab Saudi. Mereka memilih menunda dan memangkas banyak program pembangunan kawasan di Arab Saudi, termasuk pengembangan kawasan baru Neom yang memakan anggaran hingga 500 miliar dollar AS dan mengalihkannya ke sektor penting penyangga negara di tengah pandemi, seperti sektor kesehatan dan keuangan negara.
Tidak hanya itu, untuk menjaga kestabilan keuangan negara, pemerintah memangkas sejumlah subsidi dan mengalihkannya bagi warga yang benar-benar membutuhkan. Pada saat yang sama, pemerintah juga menaikkan pajak beberapa komoditas.
Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed Al Jadaan, dikutip dari Bloomberg, mengatakan, pemerintah terpaksa melakukan manuver di berbagai sektor agar kondisi negara tetap stabil. ”Kita menghadapi krisis yang tidak pernah dialami dalam kehidupan manusia modern,” kata Jadaan. (REUTERS)