Konflik Armenia-Azerbaijan Memaksa Separuh Populasi Karabakh Mengungsi
Stepanakert, ibu kota Republik Nagorno-Karabakh yang diproklamasikan sepihak, kini bagaikan kota hantu. Kota ini penuh dengan amunisi yang belum meledak di mana-mana. Separuh populasi Nagorno-Karabakh terpaksa mengungsi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
STEPANAKERT, KAMIS — Pertempuran sengit antara pasukan Armenia dan Azerbaijan masih terus berlangsung hingga menyebabkan separuh populasi wilayah Nagorno-Karabakh mengungsi. Sedikitnya 50.000 warga ibu kota Stepanakert telah mengungsi.
Namun, masih banyak warga yang memilih berlindung di ruang bawah tanah rumah masing-masing. Situasi Stepanakert bagaikan kota hantu penuh dengan amunisi yang belum meledak di mana-mana.
Artak Beglaryan dari Ombudsman Hak Karabakh, Rabu (7/10/2020), memperkirakan bahwa 50 persen populasi Karabakh atau 70.000-75.000 warga wilayah itu mengungsi. Sebanyak 90 persen di antara mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Armenia Artsrun Hovhannisyan membenarkan adanya pertempuran yang terus terjadi sepanjang hari dan situasi yang paling parah berada di selatan Karabakh. Azerbaijan menuding pasukan Armenia sengaja menembaki warga sipil di daerah perkotaan termasuk kota terbesar kedua, Ganja.
Puluhan warga sipil tewas akibat peperangan ini. Armenia mengaku sekitar 300 tentaranya tewas, sementara Azerbaijan belum mengumumkan korban tewas. Meskipun demikian, 427 permukiman yang dihuni oleh 1.200 orang hancur.
Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian kepada parlemen Perancis menuding Azerbaijan sebagai pihak yang memicu konflik ini dan mengorbankan penduduk sipil. Adapun Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak agar konflik ini segera dihentikan. Jika konflik terhadap wilayah separatis etnik Armenia ini tidak bisa diselesaikan, kata Putin, setidaknya harus ada gencatan senjata yang disepakati secepatnya.
Pertemuan di Geneva
Untuk mencari solusi atas konflik ini, Menlu Azerbaijan Jeyhun Bayramov akan bertolak ke Geneva, Swiss, Kamis ini, dan bertemu dengan para pemimpin kelompok Minsk OSCE yang dipimpin bersama oleh para diplomat dari Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat. Kelompok Minsk ini sudah mengupayakan solusi dalam konflik ini sejak 1990-an.
Namun, Menlu Armenia Zohrab Mnatsakanyan tidak mau bertemu dengan Bayramov di Geneva. Alasannya, di satu sisi, tidak mungkin mengadakan negosiasi, sementara di sisi lain kedua pihak masih melanjutkan operasi militer. Diplomat Armenia itu akan bertemu Menlu Rusia Sergey Lavrov di Moskwa, Senin. Rusia mengumumkan Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu telah bertemu dengan pejabat Armenia dan Azerbaijan.
Konflik Armenia dan Azerbaijan membuat banyak negara ikut campur, terutama negara-negara regional. Menlu Perancis Jean-Yves Le Drian memperingatkan Turki untuk tidak ikut campur. Jika Turki yang mendukung Azerbaijan ikut campur dalam konflik tersebut, dikhawatirkan hal itu akan memicu konflik internasional atau regional dalam skala lebih besar.
Sengketa
Konflik Armenia dan Azerbaijan merupakan salah satu konflik terlama di dunia yang mudah tersulut setelah Uni Soviet bubar. Wilayah Nagorno-Karabakh memisahkan diri dari Azerbaijan pada perang tahun 1990-an yang menewaskan 30.000 orang. Kelompok separatis Armenia lalu menyatakan kemerdekaan.
Wilayah yang dihuni 140.000 orang itu kini hampir seluruhnya didiami oleh warga Armenia. Warga Azerbaijan satu per satu meninggalkan daerah itu gara-gara perang.
Meski demikian, komunitas internasional menganggap wilayah itu sebagai bagian dari Azerbaijan. Tidak ada satu pun negara anggota PBB, termasuk Armenia sendiri, yang mengakui kemerdekaannya. Sejak gencatan senjata, Mei 1994, pertempuran sporadis sering terjadi. Salah satu pertempuran paling parah terjadi tahun 2016.
Para pengamat menilai konflik kali ini berbeda karena ada keterlibatan Turki yang mengirimkan para milisi Suriah pro-Turki untuk memperkuat pasukan Azerbaijan. Turki juga mengirimkan pesawat-pesawat tanpa awak buatan dalam negeri ke Azerbaijan setelah berhasil digunakan di Libya dan Suriah.
Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) di Inggris menyebutkan ada 1.200 milisi Suriah yang dikirim dan sedikitnya 64 orang di antaranya tewas. ”Aspek yang baru dalam konflik ini adalah adanya keterlibatan militer Turki yang berisiko memicu konflik internasional,” kata Le Drian.
Peran Rusia
Menlu Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan, seharusnya dunia mendukung Azerbaijan karena justru Armenia yang menjajah. Sikap Rusia sendiri tidak jelas berpihak yang mana karena Rusia menjual persenjataan ke kedua belah pihak. Rusia juga memiliki pangkalan militer di Armenia. Rusia dan Armenia juga terikat pakta pertahanan. Sesuai dengan pakta tersebut, jika wilayah Armenia diserang, Rusia akan membantu negara itu.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan yakin Rusia akan membantu karena Rusia dan Armenia sama-sama anggota dari aliansi militer Organisasi Pakta Keamanan Kolektif (CSTO).
Putin menegaskan, Rusia akan memenuhi kewajibannya di CSTO. Namun, ia menegaskan pertempuran sengit yang berlanjut sampai sekarang dan sangat disesali itu tidak terjadi di wilayah Armenia. Juru bicara Pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, juga memperingatkan kehadiran milisi Suriah yang bisa mengancam keamanan Rusia.
Senada dengan itu, Presiden Iran Hassan Rouhani juga menegaskan tidak akan menoleransi teroris dari Suriah atau tempat-tempat lain yang mendekat ke perbatasan Iran dan Azerbaijan. Sampai sekarang Iran masih mempertahankan hubungan baik dengan Armenia dan tidak memercayai militer Azerbaijan yang bekerja sama dengan Israel. (AFP)