Armenia mengatakan bahwa kota utama Nagorno-Karabakh, Stepanakert, dihujani tembakan sejak Jumat (2/10/2020). Kota itu dihujani serangan kembali pada hari Minggu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BAKU, MINGGU — Belum ada tanda-tanda konflik bersenjata di Nagorno-Karabakh mereda hingga awal pekan ini. Pada Minggu (4/10/2020), pasukan Armenia dan Azerbaijan terlibat pertempuran darat melalui saling adu tembakan, roket, dan artileri.
Pemerintah Armenia mengatakan bahwa kota utama Nagorno-Karabakh, yakni Stepanakert, dihujani tembakan sejak Jumat (2/10/2020). Kota itu dihujani serangan kembali pada hari Minggu. Laporan AFP menyebutkan, ledakan secara reguler menghantam sejumlah wilayah di kota itu. Asap hitam tampak mengepul di sejumlah bagian kota.
Adapun dari pihak Azerbaijan, Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengatakan bahwa pasukan Armenia telah menembaki wilayah Ganja. Itu adalah sebuah kota berpenduduk lebih dari 330.000 jiwa yang berada di Azerbaijan barat. Rekaman video menunjukkan aneka reruntuhan mewarnai bangunan-bangunan.
Pada Minggu malam, Hikmet Hajiyev, penasihat Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, menulis di Twitter bahwa orang-orang Armenia melancarkan ”serangan rudal terhadap warga sipil Azerbaijan dan infrastruktur sipil” di kota industri Mingechavir dan Distrik Absheron.
Mingechavir terletak sekitar 80 kilometer dari ibu kota Baku. Di tengah kondisi itu, tensi konflik bukannya menurun. Pihak Armenia justru menyatakan siap memperluas tindakan militer berikutnya ke seluruh wilayah Azerbaijan.
Setiap pihak menuduh pihak lain menargetkan wilayah sipil. Hal ini setelah konflik melebar sepekan terakhir setelah pertempuran sengit meletus dalam perselisihan yang telah berlangsung selama puluhan tahun atas wilayah etnis Armenia.
Armenia dan Azerbaijan menolak seruan internasional untuk melakukan gencatan senjata. Peningkatan bentrokan meningkat dalam beberapa hari terakhir. Kedua belah pihak mengklaim meraih kemenangan di garis depan dan menimbulkan kerugian besar bagi pihak lawan.
Armenia dan Azerbaijan menolak seruan internasional untuk melakukan gencatan senjata. Peningkatan bentrokan meningkat dalam beberapa hari terakhir.
Dalam pidatonya yang berapi-api, Presiden Azerbaijan Aliyev menetapkan persyaratan untuk menghentikan pertempuran yang hampir tidak mungkin diterima Armenia. Dia mengatakan bahwa pasukan Armenia ”harus meninggalkan wilayahnya, bukan dengan kata-kata, melainkan dalam perbuatan”. Ia juga menuntut pihak lawan memberikan jadwal penarikan kekuatan secara penuh, dan mengakui keutuhan wilayah Azerbaijan.
Yerevan menolak tuntutan Aliyev itu. Armenia bergeming dengan sikapnya di sisi lain. ”Persyaratan itu tidak dapat diterima, (Aliyev) harus meninggalkan penggunaan kekerasan dan terlibat secara konstruktif dalam negosiasi tanpa memaksakan posisi maksimalis,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Armenia, Anna Nagdalyan.
Sirene berbunyi dan ledakan terdengar secara berkala di Stepanakert. Warga berlindung di tempat-tempat yang dirasa aman. Mereka umumnya berlindung di ruang bawah tanah, termasuk di ruang bawah tanah Katedral Bunda Suci Tuhan di kota itu.
Kementerian Luar Negeri Armenia mengatakan, Stepanakert dan kota-kota lain telah diserang dan menuduh pasukan Azerbaijan ”sengaja menargetkan penduduk sipil”. Dilaporkan adanya korban tewas dari warga sipil Stepanakert dan kota bersejarah Shusha.
Adapun Azerbaijan mengatakan, Ganja berada dalam kondisi ditembaki, termasuk di antaranya ialah daerah di luar Karabakh di wilayah Armenia. Satu warga sipil dilaporkan tewas.
Turki sebagai sekutu Azerbaijan menuduh Armenia ”menargetkan warga sipil” di Ganja dan menegaskan kembali dukungan untuk sesama Turki dan negara Muslim sebagai ”satu bangsa, dua negara”. Pemimpin Karabakh Arayik Harutyunyan memperingatkan bahwa mereka sekarang akan mempertimbangkan ”fasilitas militer di kota-kota besar Azerbaijan” sebagai sasaran yang sah.
”Saya mengimbau penduduk kota-kota ini untuk segera pergi,” kata Harutyunyan dalam sebuah unggahan di Facebook.
Komite Palang Merah Internasional pada hari Minggu mengecam laporan ”penembakan tanpa pandang bulu dan dugaan serangan melanggar hukum lainnya yang menggunakan senjata peledak di kota-kota besar, kota kecil, dan daerah berpenduduk lainnya”.
Azerbaijan mengklaim telah mengambil kendali atas serangkaian permukiman dalam beberapa hari terakhir serta dataran tinggi yang penting secara strategis. Aliyev mengatakan, pasukannya telah merebut kembali kota Jabrayil, bagian dari daerah di luar Karabakh yang direbut oleh separatis pada 1990-an sebagai zona penyangga, menyebutnya sebagai kemenangan penting. Namun, Armenia membantah klaim tersebut.
Pihak berwenang di kedua negara melaporkan lebih dari 250 orang tewas sejak pertempuran dimulai, termasuk 42 warga sipil. Adapun pasukan Armenia telah melaporkan lebih dari 200 orang tewas, termasuk 51 orang pada Sabtu (3/10/2020), sementara Azerbaijan belum merilis angka mengenai korban militernya. Azerbaijan mengatakan, dua warga sipil tewas dalam penembakan di kota selatan Beylagan.
”Saya sedang memanggang roti ketika saya mendengar ledakan. Saya lalu membuka pintu dan melihat bahwa bom jatuh tepat di halaman,” kata seorang warga. Ia menunjukkan kepada wartawan jendela yang pecah dan sebagian atap rumahnya runtuh. Di ibu kota Armenia yang mayoritas beragama Kristen, Yerevan, penduduknya berkumpul di gereja-gereja untuk menggelar kebaktian hari Minggu. ”Saya datang untuk meminta perdamaian kepada Tuhan, untuk negara kami dan tentara kami,” kata Aytsemik Melikyan kepada AFP di luar Gereja Saint Sarkis.
Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis—yang bersama-sama memimpin kelompok mediasi yang gagal menemukan resolusi politik untuk konflik tersebut—telah menyerukan penghentian segera pertempuran tersebut. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyatakan keprihatinan atas ”meningkatnya korban” di antara warga sipil dalam panggilan telepon dengan mitranya dari Armenia.
Deklarasi kemerdekaan Karabakh dari Azerbaijan selama runtuhnya Uni Soviet memicu perang di awal 1990-an yang merenggut 30.000 nyawa. Pembicaraan untuk menyelesaikan konflik hanya membuat sedikit kemajuan sejak kesepakatan gencatan senjata dilakukan pada 1994. Kondisi teraktual dikhawatirkan semakin berlarut-larut. (AFP/REUTERS)