Sudan Baru, Negara Sekuler Menjadi Opsi Kompromi
Dalam kesepakatan ditegaskan, negara tidak menyebut agama tertentu sebagai agama resmi negara dan warga tidak boleh didiskriminasi hanya karena berbeda agama.
Sudan, negeri di Afrika Utara dengan jumlah penduduk sekitar 41 juta jiwa, semakin mantap meninggalkan era lama untuk menuju era baru. Memang tidak ada pilihan lain bagi Sudan kecuali harus menempuh jalan baru meski sesulit apa pun rintangannya.
Tantangan era baru itu, yang harus diciptakan setelah rezim Presiden Omar Hasan Bashir lengser pada Apil 2019, tentu sangat tidak mudah.
Pemerintah baru transisi Sudan kini harus berjuang ekstrakeras untuk mengubah haluan besar negara dari era rezim Presiden Bashir yang berkuasa selama 30 tahun (1989-2019) ke era baru saat ini.
Peninggalan Bashir sangatlah berat, misalnya Sudan sejak 1993 telah ditetapkan sebagai negara penyokong teroris karena saat itu menampung Pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden.
Akibatnya, negara itu pun tidak bisa mendapat bantuan ekonomi dari negara-negara Barat, khususnya AS, Bank Dunia, IMF, dan lembaga keuangan internasional lainnya.
Sudan pun, pada era Bashir, juga praktis terisolasi dari pergaulan dunia internasional karena cenderung anti-Barat. Negara Arab miskin dengan pendapatan per kapita 808 dollar AS itu meninggalkan tumpukan utang yang mencapai 60 miliar dollar AS.
Baca juga : Sudan dan Kompromi Geopolitik
Perundang-undangan Sudan juga sarat dengan karakter diktator karena Bashir memerintah dengan tangan besi. Karena itu, pemimpin baru Sudan harus berani mengambil langkah kompromi dengan mengakomodasi semua aspirasi kelompok oposisi politik dan militer dalam negeri serta kekuatan regional dan internasional.
Pemimpin baru Sudan melihat amendemen konstitusi secara mendasar menjadi pintu masuk menuju era Sudan baru yang bisa lebih diterima dalam pergaulan internasional ataupun oleh kubu-kubu oposisi di dalam negeri.
Fondasi amendemen konstitusi itu telah dibangun dengan menetapkan deklarasi konstitusi pada 4 Juli 2019 yang menegaskan Sudan menjadi negara sipil demokrasi.
Amanat revolusi
Deklarasi konstitusi itu adalah amanat revolusi rakyat Sudan yang turun jalan dan akhirnya berhasil menumbangkan rezim Bashir pada 11 April 2019. Deklarasi konstitusi itu menjadi legitimasi pemerintah baru Sudan untuk terus melakukan proses amendemen konstitusi dan perundang-undangan yang mengekang kebebasan, memberikan legitimasi atas perilaku diktator penguasa, dan bercorak konservatif atau penonjolan primordialisme agama.
Baca juga : Militer Tangkap Pimpinan Kelompok Sipil Sudan
Dengan kata lain, kini terjadi semacam proses sekularisasi di Sudan sebagai antitesis terhadap corak primordialisme pada era rezim Presiden Bashir dan bahkan era sebelumnya. Hukum Sudan yang berbau primordialisme agama atau hukum agama disebut terjadi sejak 1983 pada era Presiden Jaafar Nimeiry.
Bashir yang mengambil alih kekuasaan di Sudan pada 30 Juni 1989 justru memperkuat keberadaan sekaligus berlakunya hukum agama itu. Puncak proses amendemen konstitusi ke arah sekuler tersebut adalah kesepakatan antara Pemerintah Sudan dan kubu oposisi utama dari Gerakan Kebebasan Rakyat Utara (SPLM-N/The Sudan People’s Liberation Movement-North), awal September lalu, di Addis Ababa, Etiopia.
Kesepakatan tersebut menegaskan, Sudan adalah negara demokrasi yang menjamin semua hak warganya dan konstitusi berpijak pada prinsip pemisahan agama dan negara. Dalam kesepakatan itu ditegaskan, negara tidak menyebut agama tertentu sebagai agama resmi negara dan warga tidak boleh didiskriminasi hanya berdasarkan perbedaan agama.
Bagi Pemerintah Sudan baru, mencapai kesepakatan kompromi terkait dengan konstitusi negara dengan SPLM-N sangat penting karena SPLM-N kini merupakan salah satu kelompok oposisi bersenjata terkuat. SPLM-N selama ini beroperasi di wilayah Nil Biru dan Pegunungan Nubia.
Pada 1 September 2020, pemerintah baru transisi Sudan mencapai kesepakatan damai pula dengan Front Revolusi Sudan (SRF) di Juba, Sudan Selatan. SRF kini menghimpun empat kelompok oposisi bersenjata, di antaranya Pasukan Pembebasan Sudan (SLA) pimpinan Arko Minnawi, Gerakan Persamaan dan Keadilan (JEM) pimpinan Jibril Ibrahim, dan SPLM-N poros Malik Agar.
Baca juga : AS Berupaya Bangun Koalisi Abraham
Di mata pemerintah baru Sudan, mencapai kesepakatan damai dengan SRF dan SPLM-N merupakan pintu masuk terciptanya stabilitas dan perdamaian komprehensif di negara itu sehingga pemerintah kelak bisa lebih fokus membangun ekonomi yang morat-marit.
Amendemen konstitusi
Harga mencapai kesepakatan damai dengan SRF dan SPLM-N tentu tidak gratis. Pemerintah baru transisi Sudan harus memberikan konsesi dalam bentuk melakukan amendemen konstitusi ke arah lebih demokratis dan mengubur primordialisme dalam konstitusi.
Jika penerapan amendemen konstitusi di Sudan berjalan mulus, Sudan akan memiliki konstitusi yang paling sekuler di Dunia Arab. Jadi, Sudan berbalik arah sangat ekstrem dari negara konservatif yang diwarnai konstitusi sarat primordialisme menjadi negara sekuler.
Para pemimpin baru Sudan tampaknya belajar dari keberhasilan revolusi Tunisia yang mampu menciptakan demokrasi negara itu, lantaran semangat menerima opsi kompromi dari para pemimpin Tunisia ketika menyusun konstitusi negara.
Dalam perdebatan penyusunan konstitusi Tunisia, partai Islamis En Nahda menerima solusi kompromi dalam bentuk tidak menjadikan hukum Islam sebagai sumber utama hukum negara, seperti tuntutan kubu liberal di negara itu.
Kompromi kubu Islamis-Liberal di Tunisia menjadi salah faktor utama keberhasilan revolusi negara itu dalam membangun sistem dan kultur demokrasi.
Sebaliknya, salah satu faktor utama kegagalan revolusi Mesir tahun 2011 karena Ikhwanul Muslimin (IM) yang berkuasa di Mesir tahun 2012-2013 kurang bisa kompromi dengan kubu liberal terkait dengan konstitusi tahun 2012.
Di sinilah para pemimpin baru Sudan belajar dari keberhasilan Tunisia dan kegagalan Mesir. Arah menuju liberal negara Sudan baru itu juga terlihat dalam manuver negara tersebut di tingkat regional dan internasional.
Sudan baru tidak mengharamkan lagi melakukan komunikasi dengan Israel. Padahal, Sudan pada era rezim Presiden Bashir dikenal sangat anti-Israel dan mengizinkan Sudan sebagai tempat transit penyelundupan senjata dari Iran menuju kelompok Hamas di Jalur Gaza.
Baca juga : Pemimpin Israel-Sudan Bertemu di Uganda
Itu terlihat ketika Ketua Dewan Transisi Sudan Mayjen Abdel Fattah al-Burhan bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu di kota Entebbe, Uganda, 3 Februari 2020. Bahkan, Al-Burhan menggelar perundingan intensif tiga hari pada 21-23 September 2020 di Abu Dhabi dengan tim delegasi Amerika Serikat (AS) dan sejumlah pejabat Uni Emirat Arab (UEA), membahas kemungkinan membuka hubungan diplomatik Israel-Sudan secepat mungkin.
Pilihan strategis
Pembukaan hubungan diplomatik resmi Israel-Sudan kini hanya menunggu waktu saja, cepat atau lambat. Dalam pertarungan geopolitik di Timur Tengah, Sudan baru pun lebih memilih mendekat ke poros Arab Saudi-Mesir-UEA.
Bagi Sudan baru, lebih mendekat ke poros Arab Saudi-Mesir-UEA plus Israel merupakan pilihan strategis dalam upaya segera mendapat dukungan AS agar segera dicabut sebagai negara pendukung teroris. Para pemimpin baru Sudan kini meyakini hanya lewat Tel Aviv, Abu Dhabi, Riyadh, dan Kairo yang bisa mempercepat pencabutan Sudan dari status sebagai negara pendukung teroris.
Tidak kalah pentingnya pula, amendemen konstitusi Sudan ke arah lebih sekuler sebagai pembuka jalan lebih mulus menuju Sudan bisa dicabut sebagai negara pendukung teroris, di samping sebagai opsi kompromi dengan kelompok oposisi di dalam negeri.
Tanpa mencabut Sudan sebagai negara pendukung teroris, negara itu mustahil bisa membangun ekonomi dan menyelesaikan utang 60 miliar dollar AS. Para pemimpin baru bekerja keras agar Sudan bisa dicabut dari daftar negara pendukung teroris.
Baca juga : Sudan Merapat ke Israel
Bagi para pemimpin baru Sudan, itu pertaruhan karier politik mereka di masa depan. Mereka menyadari, semua visi dan misi baru Sudan ke depan akan gagal tanpa Sudan dicabut dari daftar negara pendukung teroris.
Karena itu, para pemimpin baru Sudan siap membayar harga mahal meskipun dengan harga harus membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel, asalkan Sudan dicabut dari daftar sebagai negara pendukung teroris, dan selanjutnya bisa dterima lagi dalam pergaulan internasional.
Wakil Ketua Dewan Transisi Sudan Hamidati dalam wawancara dengan stasiun televisi swasta Sudan, Jumat (2/10/2020), menegaskan, Israel adalah negara maju dan Sudan butuh Israel untuk mengambil manfaat dari kemajuan teknologi Israel.
Hamidati mengklaim Sudan telah mendapat janji dari pemerintah Presiden AS Donald Trump bahwa akan dicabut dari daftar negara pendukung teroris secepat mungkin.
Kebijakan para pemimpin baru Sudan dengan menerima konsep negara sekuler dalam perundingan dengan kelompok oposisi bersenjata adalah bagian pula dari pilihan kompromi agar Sudan lebih diterima masyarakat internasional dan selanjutnya segera dicabut dari daftar negara pendukung teroris.
Seperti diketahui program mendesak Sudan baru adalah reformasi ekonomi dengan segera melakukan penyelesaian utang negara yang mencapai 60 miliar dollar AS.