Putra Mahkota Kuwait Tentukan Perimbangan Kekuatan Arab Teluk
Dunia Arab menunggu putra mahkota baru Kuwait setelah Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah menjadi emir. Posisi putra mahkota di kawasan Arab Teluk saat ini sangat strategis karena notabene menjadi penguasa de facto.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Para penguasa dan pengamat di kawasan Arab Teluk dan internasional kini sedang menunggu siapa gerangan putra mahkota baru Kuwait. Hal itu setelah Putra Mahkota, Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah (83), ditetapkan sebagai emir baru Kuwait menyusul wafatnya Emir Kuwait Sheikh Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah (91), yang diumumkan stasiun televisi negara Kuwait, Selasa (29/9/2020).
Posisi putra mahkota di kawasan Arab Teluk saat ini dianggap sangat strategis karena notabene menjadi penguasa de facto. Lihat, misalnya, di Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang menjabat putra mahkota sejak tahun 2017 dikenal sebagai penguasa sebenarnya di negara itu. Adalah MBS yang menggalang megaproyek visi Arab Saudi 2030 yang mengubah tata ekonomi, sosial, dan budaya di Arab Saudi.
Lihat pula di Uni Emirat Arab (UEA), Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) adalah penguasa de facto dan sangat berperan di negaranya. Adalah MBZ yang mengusung visi Abu Dhabi 2030 dan kemudian tercapainya Abraham Accord atau kesepakatan hubungan resmi Israel-UEA.
Pentingnya posisi putra mahkota di Kuwait tidak hanya soal isu sebagai penguasa de facto di negara itu kelak, tetapi juga terkait isu perimbangan kekuatan di kawasan Arab Teluk dalam konteks pertarungan geopolitik di Timur Tengah saat ini. Selama ini, Kuwait di bawah kepemimpinan duet Emir Kuwait, Sheikh Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah dan Putra Mahkota Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah, memilih netral dalam pertarungan itu.
Bahkan, Kuwait aktif menjadi mediator antara Qatar dan poros Arab Saudi-UEA-Bahrain yang memblokadenya sejak tahun 2017. Kuwait selama ini berhasil menjaga hubungan baik dengan Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Qatar. Qatar pun merasa diuntungkan oleh sikap netral Kuwait itu sehingga Doha tidak merasa terlalu terjepit di kawasan Arab Teluk. Selain Kuwait, ada juga kesultanan Oman yang bersikap netral sehingga meringankan posisi Qatar.
Karena itu, wafatnya Emir Kuwait merupakan kehilangan besar bagi Qatar. Usia Emir Kuwait baru, Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah, yang sudah berusia 83 tahun, diprediksi tidak akan bisa berbuat banyak untuk negara ke depan. Maka, putra mahkota baru Kuwait hampir dipastikan akan lebih banyak berperan, bahkan bisa menjadi penguasai sesungguhnya, seperti halnya di Arab Saudi dan UEA.
Qatar tentu sangat berharap putra mahkota baru Kuwait tetap mengikuti jejak pendahulunya yang memilih bersikap netral. Sementara poros Arab Saudi, UEA, dan Bahrain menginginkan putra mahkota yang nanti lebih memihak poros tersebut dalam konflik melawan Qatar.
Mekanisme suksesi di Kuwait dikenal lebih demokratis dibandingkan negara Arab Teluk lainnya karena menempatkan parlemen berperan besar dalam mengesahkan dan menyetujui jabatan emir dan putra mahkota baru.
Sheikh Mubarak al-Sabah yang merupakan Emir Kuwait VII (1837-1915) telah menetapkan mekanisme suksesi di Kuwait di lingkungan keturunannya, yakni di antara keturunan dari dua putranya, Sheikh Jaber Mubarak dan Sheikh Salem Mubarak. Jabatan emir dan putra mahkota harus bergantian dari keturunan dua putra Mubarak itu. Sistem pemerintahan di Kuwait yang berpijak pada konstitusi Kuwait tahun 1962, adalah campuran antara sistem parlementer dan presidensial.
Emir Kuwait adalah sebagai pemimpin negara sesuai dengan konstitusi negara itu. Sementara majelis ummah atau parlemen bertugas membuat undang-undang (UU) dan melegalisasinya. Parlemen yang terdiri dari 50 anggota dipilih melalui pemilu bebas setiap empat tahun.
Legitimasi pemerintahan di Kuwait bersandar pada konstitusi. Butir IV dalam konstitusi menegaskan tentang mekanisme suksesi di lingkungan keluarga besar, Sheikh Mubarak al-Sabah, yang populer dengan sebutan Mubarak al-Kabir atau keluarga besar Al-Mubarak. Syarat bisa menjadi emir dari keluarga besar Mubarak itu adalah sehat akal dan jasmani, beragama Islam dan anak dari bapak-ibu Muslim.
Menurut pakar hukum tata negara Kuwait, Dr Muhammad Al-Feili, emir menunjuk putra mahkota paling lambat dalam kurun waktu satu tahun dari awal menjabat sebagai emir negara. Penunjukan putra mahkota atas perintah emir dan mendapat persetujuan mayoritas anggota parlemen.
Jika calon putra mahkota yang ditunjuk emir itu tidak mendapat persetujuan mayoritas anggota parlemen, emir mengajukan tiga calon putra mahkota dari keluarga besar Mubarak al-Sabah. Kemudian parlemen memilih salah satu dari tiga calon putra mahkota yang diajukan emir tersebut. Emir lalu menentukan putra mahkota yang dipilih parlemen dari tiga kandidat putra mahkota itu.
Jadi, pemilihan putra mahkota di Kuwait adalah wewenang bersama antara emir yang mengajukan calon dan parlemen yang memilih dan mengesahkan. Jika terjadi kekosongan jabatan emir dan putra mahkota sekaligus, dewan kabinet meminta salah seorang keturunan Mubarak al-Sabah sebagai emir dan putra mahkota. Kemudian dewan kabinet minta persetujuan dari parlemen.
Jika tidak mendapat persetujuan mayoritas parlemen, dewan kabinet mengajukan masing-masing tiga calon emir dan putra mahkota untuk dipilih oleh parlemen dalam kurun waktu selambat-lambatnya delapan hari. Menurut pakar hukum tata negara Universitas Kuwait, Dr Fawaz Al-Jadie, dalam tradisi politik di Kuwait, semua calon putra mahkota yang diajukan emir selalu mendapat persetujuan mayoritas parlemen.
Namun di Kuwait pernah terjadi kekosongan jabatan emir dan putra mahkota. Saat itu, Sheikh Saad Abdullah al-Sabah (1930-2008) ditunjuk sebagai emir setelah wafatnya Emir Kuwait Sheikh Jaber Ahmed al-Sabah (1926-2006). Namun, ternyata Sheikh Saad Abdullah mengalami gangguan kesehatan yang tidak memungkinkan menjabat emir saat itu.
Dewan kabinet lalu meminta parlemen agar melobi Sheikh Saad untuk bersedia mundur karena tidak memenuhi syarat kesehatan. Sheikh Saad lalu mundur. Jabatan emir dan putra mahkota menjadi kosong di Kuwait saat itu.
Dewan kabinet lalu mencalonkan Sheikh Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah yang saat itu tidak menjabat putra mahkota sebagai emir baru dan kemudian mendapat persetujuan mayoritas anggota parlemen. Sheikh Sabah al-Ahmed lalu menunjuk Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah sebagai putra mahkotanya. Kini, dunia Arab menunggu putra mahkota baru Kuwait.