Pertempuran di Nagorno-Karabakh Sengit, Perancis-Rusia Soroti Peran Milisi Suriah
Perancis-Rusia menyatakan prihatin atas peran Turki mengirimkan tentara bayaran dari Suriah dan Libya ke wilayah Nagorno-Karabakh. Bersamaan dengan makin sengitnya pertempuran di wilayah itu, korban jiwa terus bertambah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BAKU, JUMAT — Pihak bertikai di Nagorno-Karabakh bergeming dari desakan internasional untuk menahan diri dan menghentikan pertempuran. Sebaliknya, hingga Kamis (1/10/2020) atau hari kelima, pertempuran berlangsung semakin sengit antara militer Armenia dan Azerbaijan setelah milisi asal Suriah ikut dikerahkan dalam konflik ini.
Perkembangan terakhir mengenai keterlibatan milisi Suriah ini disampaikan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Macron, dalam pernyataannya, Kamis (1/10/2020), menyebutkan bahwa milisi Suriah telah bergabung dalam pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh melalui pihak Turki. Dia menilai pengerahan itu sebagai fakta baru yang serius dan bisa mengubah situasi.
Dalam perkembangan terpisah, Pemerintah Armenia menarik duta besar Armenia untuk Israel untuk konsultasi. Pemerintah Armenia menuding Israel menjual senjata ke Azerbaijan yang digunakan dalam konflik tersebut.
Perancis, ketua bersama dalam Kelompok Minsk-OSCE, lembaga ad hoc yang dibentuk Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) untuk mendamaikan Armenia-Azerbaijan, menyatakan keprihatinannya soal pelibatan tentara bayaran Suriah oleh Turki ke medan perang.
Macron, dalam pernyataannya di Brussels, Rabu (30/9/2020), menyebutkan bahwa pihaknya memiliki banyak informasi yang meyakinkan bahwa para tentara bayaran yang pernah diterjunkan Turki di Suriah juga telah dikerahkan untuk mendukung militer Azerbaijan dalam konflik dengan Armenia.
”Ini perkembangan baru yang serius dan juga mengubah keseimbangan banyak hal,” kata Macron.
Keprihatinan yang sama juga disampaikan Pemerintah Rusia. Kementerian Luar Negeri Rusia, dalam pernyataannya, Rabu (30/9/2020), mengatakan, pihaknya prihatin tentang adanya laporan keterlibatan militan dari kelompok bersenjata ilegal dari Suriah dan Libya yang dikirim ke zona konflik di Nagorno-Karabakh.
Pemerintah Rusia tidak memberikan rincian lebih lanjut soal keberadaan tentara bayaran di Nagorno-Karabakh, termasuk negara yang mengirimkannya. Namun, mereka mendesak pemimpin negara yang bersangkutan untuk mencegah penggunaan teroris asing dan tentara bayaran dalam konflik.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak mengomentari dugaan keterlibatan Turki dalam konflik tersebut, tetapi ia mengatakan bahwa ”pernyataan apa pun tentang dukungan militer untuk salah satu pihak (lawan)” dapat memicu eskalasi ketegangan lebih lanjut di wilayah tersebut.
”Kami percaya bahwa partisipasi negara ketiga dalam konfrontasi ini juga dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat negatif,” kata Peskov.
Pernyataan Macron dan Kremlin sempat dilontarkan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashiyan yang menuding Turki mengirim tentara bayaran dari Suriah utara untuk mendukung pasukan Azerbaijan dalam konflik Nagorno-Karabakh. Pashinyan mengulangi klaim bahwa tentara bayaran telah bergabung dalam konflik. Ia menyebut Azerbaijan dan Turki bertempur dengan bantuan dan keterlibatan pejuang teroris asing.
”Terorisme ini sama-sama mengancam Amerika Serikat, Iran, Rusia, dan Prancis,” tambahnya.
Korban bertambah
Memasuki hari kelima, pertempuran semakin sengit antara militer Armenia-Azerbaijan. Jumlah korban yang terkonfirmasi bertambah menjadi 136 orang pada Kamis (1/10/2020).
Kementerian Pertahanan Armenia menyatakan, pasukannya memukul mundur militer Azerbaijan, menjatuhkan helikopter tempur lawan hingga menghancurkan pesawat nirawak dan kendaraan lapis baja lawannya.
Kemenhan Armenia juga menyatakan bahwa militer Azerbaijan secara sporadis menyerang dua desa di wilayah Armenia, di dekat Karabakh, yang mengakibatkan satu orang warga sipil tewas.
Wakil Perdana Menteri Armenia Tigran Avinyan melalui laman Facebook mengklaim bahwa militernya telah menewaskan 1.280 tentara lawan dan sekitar 2.700 lainnya terluka sejak baku tembak antara keduanya terjadi hari Minggu lalu.
Sebaliknya Kemenhan Azerbaijan mengklaim serangan yang dilakukan pasukannya memukul mundur dan menghancurkan organisasi pasukan Armenia di lapangan serta artileri-artileri berat mereka. Azerbaijan juga membantah klaim Yerevan bahwa salah satu helikopternya ditembak jatuh dan jatuh di Iran.
Armenia mencatat kematian 104 tentara dan 13 warga sipil. Azerbaijan belum melaporkan adanya korban militer. Mereka mengatakan, 19 warga sipil tewas setelah penembakan Armenia.
Wartawan luka parah
Jurnalis peliput perang di wilayah ini juga dikabarkan mengalami luka serius hingga harus dioperasi. Empat jurnalis, masing-masing dua jurnalis yang bekerja untuk media Perancis, Le Monde, dan dua jurnalis asal Armenia, terluka ketika militer Azerbaijan membombardir Martuni, sebuah kota kecil di Karabakh yang berjarak sekitar 25 kilometer dari garis kontak. Serangan itu sendiri menewaskan empat warga sipil dan belasan lainnya terluka.
Redaksi Le Monde menyatakan, dua wartawan mereka terluka dalam penembakan pagi di kota Martuni. Satu di antaranya telah menjalani operasi di rumah sakit di kota tersebut. Pemerintah Perancis menyatakan mereka bersiap untuk membawa keluar dua jurnalis dari wilayah konflik itu.
Seorang pejabat Armenia menyatakan, seorang juru kamera saluran TV Armenia dan reporter outlet 24News Armenia juga terluka dalam penembakan Martuni. Seorang jurnalis Rusia dengan saluran TV independen, Dozhd, dilaporkan berhasil mencapai bunker ketika serangan terhadap kota itu terjadi. Tim peliput kantor berita AFP juga tengah mewawancarai penduduk setempat ketika penembakan di Martuni terjadi.
Artak Aloyan, warga berusia 54 tahun, bersumpah untuk tetap tinggal di Karabakh meski bentrokan terus terjadi. ”Saya membangun rumah ini dengan tangan saya sendiri. Saya tidak akan pergi ke mana pun. Itu saja,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pekerja konstruksi itu.
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev bersikukuh pihaknya tidak akan menghentikan pertempuran sebelum Armenia keluar dari wilayah mereka. Armenia menyatakan hal yang serupa. (AFP/AP/REUTERS)