AS Hukum Perusahaan Sawit Malaysia karena Dugaan Kerja Paksa
Sejak lama perusahaan perkebunan dan produsen minyak sawit Malaysia dituding terlibat kerja paksa. AS kini menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang diduga terlibat.
AS menjatuhkan sanksi kepada produsen utama minyak sawit Malaysia yang masuk ke banyak perusahaan makanan dan kosmetik dunia. Sanksi itu bisa berdampak ke Indonesia.
WASHINGTON DC, KAMIS — Amerika Serikat menambah daftar perusahaan kelapa sawit Malaysia yang dikenai sanksi karena dugaan terlibat kerja paksa, pengerahan pekerja anak, dan pelecehan seksual.
Pengiriman minyak sawit dari produsen utama Malaysia ke AS ditolak. Sanksi itu bisa berimbas ke Indonesia dan aneka perusahaan, terutama terkait rantai pasokan merek makanan dan kosmetik ternama dunia.
Badan Keamanan Perbatasan dan Cukai (CBP) AS telah memerintahkan larangan pembongkaran komoditas ekspor (WRO) FGV Holdings dan produk yang menggunakan buatan perusahaan itu.
Larangan berlaku untuk minyak sawit dan produk turunannya yang dihasilkan anak perusahaan lembaga transmigrasi dan pengembangan perdesaan Malaysia, Felda, tersebut. Selain di Malaysia, FGV Holdings juga mempunyai kebun di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Baca juga: AS Tambah Sanksi Ekonomi Untuk China
Sanksi berlaku sejak diumumkan Asisten Komisaris Kantor Perdagangan CBP Brenda Smith pada Rabu (Rabu (30/9/2020) siang waktu AS atau Kamis dini hari WIB. Sebelum memutuskan sanksi, CBP telah menyelidiki FGV Holdings sejak 2019.
“Penggunaan kerja paksa dalam produksi aneka ragam produk memungkinkan perusahaan mendapat untung dari kesewenangan terhadap pekerja yang rawan. Perusahaan menciptakan kompetisi yang tidak adil untuk produk yang sumbernya jelas dan menunjukkan kepada khalayan kegagalannya memenuhi standar etika,” kata Smith.
FGV Holdings diketahui, antara lain, memasok ke perusahaan AS seperti Procter and Gamble. Sejumlah perusahaan Eropa, seperti Nestle, L’Oreal, dan Unilever juga mendapat pasokan dari FGV Holdings. Sejumlah lembaga keuangan AS dan Eropa juga diketahui menjadi pemegang saham perusahaan yang berbisnis perkebunan dan logistik.
Perusahaan analisis data keuangan AS, Eikon, menyebut pemegang saham FGV, antara lain, Vanguard Group, BlackRock, Charles Schwab, State Street Global Advisors, HSBC, dan Lembaga Dana Pensiun California.
Laporan itu dikutip kantor berita Associated Press. Lembaga-lembaga yang didata Eikon itu dikenal sebagai lembaga keuangan kelas dunia dan punya investasi bernilai total triliunan dollar AS di banyak negara.
Baca juga : Belanda Tidak Dukung Pelarangan Impor Sawit
CBP bukan satu-satunya lembaga yang menjatuhkan sanksi kepada FGV karena alasan kerja paksa. Pada November 2018, FGV juga disanksi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) karena dugaan kerja paksa terhadap pekerja migran.
RSPO, lembaga yang dibentuk para pemangku kepentingan di sektor sawit dan produk turunannya, mempertahankan sanksi kepada FGV lewat keputusan pada Januari 2020.
RSPO menilai FGV memenuhi kriteria penerap kerja paksa dalam praktik usahanya. Praktik itu diberlakukan pada pekerja migran. Sementara CBP menduga ada buruh anak di unit-unit usaha FGV. Tudingan kerja paksa terhadap FGV didasarkan pada standar yang ditetapkan Organisasi Pekerja Internasional (ILO).
Sebelum sanksi CBP, FGV diselidiki sejumlah pihak. Dalam penyelidikan independen itu, antara lain, ditemukan sejumlah orang Rohingya diselundupkan ke Malaysia lalu dipaksa bekerja di perkebunan milik FGV dan perusahaan lain.
Sebelum FGV Holdings, CBP pernah menyasar tiga produsen sarung tangan karet asal Malaysia, yakni WRP, TG Medical, dan Top Glove, dengan tudingan kerja paksa. Sanksi terhadap WRP diberlakukan pada Oktober 2019-Maret 2020. Sementara sanksi terhadap TG Medical dan Top Glove diberlakukan sejak Juli 2020 dan belum dicabut.
Baca juga : UE Tidak Ingin Isu Sawit Ganggu Hubungan dengan ASEAN
Sementara pada April 2020, Liberty Shared, memasukkan petisi kepada CBP terkait Sime Darby Plantation Bhd. Lembaga tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu menuding Sime Darby, perusahaan sawit Malaysia, terlibat pelanggaran terhadap hak-hak pekerja.
Keberatan Malaysia
Dalam pernyataan resminya, Sime Darby mengaku tidak pernah dihubungi Liberty Shared. Perusahaan Malaysia yang punya ladang sawit di Kalimantan dan Sumatera itu berusaha menghubungi lembaga tersebut untuk memahami tudingan terhadap Sime Darby. Perusahaan itu mengaku siap menindaklanjuti masukan Liberty Shared.
Sementara FGV menegaskan bahwa perusahaan itu telah menerapkan standar kerja dan menghormati hak asasi manusia (HAM) selama bertahun-tahun.
”FGV hendak menekankan bahwa semua persoalan ini telah diberdebatkan khalayak sejak 2015 dan FGV telah melakukan sejumlah langkah perbaikan,” demikian pernyataan perusahaan itu seperti dikutip sejumlah media di Malaysia dan Singapura.
Pengacara FGV telah berkomunikasi dengan CBP sejak Agustus 2019 dan menyampaikan sejumlah sanggahan atas aneka tudingan. ”Kami akan terus berkomunikasi dengan CBP untuk membersihkan nama FGV,” lanjut pernyataan itu.
Baca juga : Indonesia Ajak Ghana Bergabung
FGV menyatakan membayari biaya perekrutan pekerja migran untuk memastikan calon pekerja tidak dikenai biaya apa pun. Kontrak dengan lembaga penyalur juga dibuat untuk tujuan sejenis. Perusahaan itu juga membantah telah merekrut pengungsi menjadi pekerja di kebun.
”Hingga Agustus, FGV mempekerjakan 11.286 buruh dari Indonesia dan 4.683 buruh dari India. FGV tidak merekrut pekerja kontrak dan semua karyawan dipekerjakan langsung oleh kami,” lanjut perusahaan itu.
Top Glove juga mengaku menanggung semua biaya perekrutan. Di sisi lain, perusahaan itu juga tengah menghitung jumlah uang yang harus dikembalikan ke pekerja. Uang itu disebut dipotong dari gaji pekerja sebagai cara untuk mengembalikan biaya perekrutan.
Tudingan terhadap Top Glove, TG Medical, dan FGV telah lama disorot oleh organisasi dan pendamping pekerja migran di Asia. Mereka menyebut sejumlah perusahaan di Asia, termasuk di Malaysia, terlibat dalam sindikat TPPO.
Baca juga : Putus Rantai Perbudakan
Caranya, perusahaan-perusahaan merekrut pekerja lewat agen perantara yang berlapis-lapis. Sebagian pekerja mengeluhkan kondisi kerja yang buruk. Sayangnya, mereka tidak bisa pergi karena dokumen ditahan dan ada jeratan utang yang disebut sebagai pengganti biaya perekrutan.
Tudingan terhadap FGV juga menjadi masalah baru bagi industri sawit. Bersama Indonesia, Malaysia menghasilkan lebih dari 70 persen pasokan minyak sawit global. Karena alasan politis, India pernah menaikkan bea masuk impor untuk produk sawit Malaysia. Akibatnya, daya saing produk sawit Malaysia kalah dari Indonesia dan negara lain.
Sementara atas alasan lingkungan hidup, Uni Eropa membuat kebijakan yang dinilai menghambat ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Eropa.
Kini, Indonesia dan sejumlah negara lain tengah menggugat kebijakan itu di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Panel untuk memeriksa gugatan itu dibentuk pada Juli 2020. (AP/REUTERS)