Lagi, konflik lama Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh meletus dalam pertempuran. Perlu upaya deeskalasi agar tak meluas, menyeret Turki dan Rusia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Nagorno-Karabakh, yang secara literal berarti ”taman hitam bergunung-gunung” dan berlokasi di tengah teritorial Azerbaijan dan Armenia menjadi arena konflik dan ketegangan antara kedua negara selama bertahun-tahun. Di bawah cengkeraman Uni Soviet, sebelum bubar tahun 1991, wilayah berpenduduk mayoritas etnis Armenia itu dideklarasikan sebagai bagian dari Azerbaijan-Soviet, dan belum menjadi persoalan besar.
Tahun 1988, menjelang Uni Soviet pecah, Nagorno-Karabakh melepaskan diri dari Azerbaijan-Soviet dan bergabung dengan Armenia. Tiga tahun kemudian, wilayah itu mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Republik Artsakh. Pilihan mendirikan republik sendiri, terpisah dari Armenia, itu untuk menghindari tuduhan agresi oleh Armenia, serta memastikan posisi lebih tinggi dalam negosiasi. Tak satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mengakui Republik Artsakh, bahkan termasuk Armenia. Namun, tidak bisa dimungkiri, Artsakh mendapatkan dukungan penuh Armenia.
Dengan Uni Soviet bubar, bara konflik Nargono-Karabakh berubah menjadi perang berdarah di antara dua negara bersebelahan itu. Sekitar 30.000 orang tewas dan ratusan ribu warga mengungsi dalam pertempuran hingga 1994. Tahun itu sempat terjalin gencatan senjata, tetapi konflik tak pernah benar-benar padam hingga hari ini, termasuk berbuntut pada pecahnya pertempuran, mulai hari Minggu (27/8/2020).
Pertempuran berlanjut hingga Selasa (29/9/2020). Korban jiwa pun bertambah. Dari sedikitnya 68 orang, termasuk sembilan warga sipil, tiga hari pertempuran, menurut laporan Kementerian Pertahanan Nagorno-Karabakh, menewaskan 84 tentara Artsakh. Dan, seperti diumumkan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, 10 warga sipil Azerbaijan tewas. Pemerintahan di Baku tak mengumumkan korban di pihak militer Azerbaijan. Jika pertempuran berlanjut, hampir bisa dipastikan korban jiwa itu akan bertambah.
Lebih mengkhawatirkan dari konflik di Nagorno-Karabakh adalah meluasnya eskalasi konflik dengan menyeret negara-negara utama di kawasan, terutama Turki dan Rusia. Dua negara ini terjatuh dalam konflik berdarah di dua front, yakni Suriah dan Libya. Jangan ditambah konflik Armenia-Azerbaijan. Turki, seperti yang terang-terangan ditegaskan Presiden Recep Tayyip Erdogan, menyatakan akan mendukung Azerbaijan. Sementara Rusia menjalin hubungan dekat dengan Armenia, termasuk memiliki pangkalan militer di negara itu, meski juga menjual persenjataan dalam jumlah besar ke Azerbaijan.
Sejumlah negara, termasuk Kremlin, dan PBB menyerukan penghentian segera pertempuran dan deeskalasi di Nagorno-Karabakh. Bersama Amerika Serikat dan Perancis, Rusia pada 1992 membentuk kelompok Minsk guna menyelesaikan konflik Nagorno-Karabakh. Dewan Keamanan PBB, Selasa, juga dijadwalkan bersidang membahas konflik itu. Upaya deeskalasi akan lebih mudah jika semua pihak menghindari retorika-retorika yang memanaskan situasi.