Singapura Terapkan Teknologi Pemindai Wajah, Muncul Kekhawatiran Soal Privasi
Singapura akan menjadi negara pertama di dunia yang menggunakan pemindai wajah dalam skema identitas nasional. Sistem itu akan memberikan akses warga pada layanan pemerintah dan swasta. Namun, ada sorotan soal privasi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
SINGAPURA, SELASA — Pemerintah Singapura siap memberlakukan teknologi pemindai wajah bagi lebih dari 4 juta warganya. Teknologi itu akan menjadi sarana warga mengakses layanan pemerintah melalui skema identitas nasional. Namun, sejumlah kalangan mengkritik penggunaan teknologi itu karena teknologi itu dinilai mengganggu data ataupun kebebasan individu warga secara umum.
Singapura akan menjadi negara pertama yang menggunakan teknologi itu untuk skema kartu tanda penduduk bagi warganya. Penggunaan sistem itu disebut sangat penting bagi pengembangan ekonomi digital negara itu.
Sebenarnya teknologi pemindai wajah secara umum sudah digunakan, misalnya untuk membuka layar telepon seluler hingga mengakses rekening bank. Teknologi pemindai wajah bekerja dengan memindai wajah seseorang dan mencocokkannya dengan basis data sang pemilik wajah.
”Tidak seperti biometrik yang digunakan untuk pengawasan, (teknologi) ini memastikan bahwa para penggunanya sadar dan wajib ada persetujuan eksplisit mereka sebelum proses verifikasi berlanjut,” kata seorang juru bicara GovTech, badan yang menangani teknologi Pemerintah Singapura. ”Sistem ini dirancang dengan mempertimbangkan privasi mereka.”
Juru bicara GovTech tersebut menjelaskan, pemeriksaan identitas dengan sistem pemindai wajah itu melekat pada SingPass, kartu identitas digital nasional di Singapura. SingPass akan memungkinkan setiap pemiliknya untuk mengakses pada lebih dari 400 layanan publik dan swasta di negara itu.
Tidak disebutkan secara pasti kapan sistem itu akan diberlakukan secara penuh bagi warga Singapura. Namun, sistem itu tengah diujicobakan oleh beberapa lembaga pemerintah di kios-kios bagi warga yang tidak memiliki ponsel pintar.
Di Singapura, teknologi pengenalan atau pemindaian wajah tengah gencar diluncurkan di tempat-tempat publik. Misalnya, di bandara dan bahkan ditempatkan di tiang-tiang lampu.
Di seluruh dunia, sistem pengenalan wajah digunakan untuk berbagai aplikasi. Sistem itu digunakan beragam, mulai dari bidang keamanan untuk melacak penjahat hingga di bidang pendidikan, misalnya menghitung siswa yang membolos.
Di Singapura, teknologi pengenalan atau pemindaian wajah tengah gencar diluncurkan di tempat-tempat publik. Misalnya, di bandara dan bahkan ditempatkan di tiang-tiang lampu.
Andrew Bud, Kepala Eksekutif iProov, perusahaan Inggris yang memasok teknologi pemindai wajah itu bagi Singapura, mengatakan, keputusan negara kota itu untuk menggunakannya dalam skema kartu identitas ”menandai sebuah titik perubahan penting”. ”Seluruh dunia akan mempelajari inovasi ini,” katanya.
Isu privasi
Namun, pegiat keamanan data digital mengatakan, penggunaan sistem teknologi tersebut meningkatkan kekhawatiran tentang hak privasi dan pengawasan warga. Ioannis Kouvakas, pejabat bagian hukum pada kelompok perlindungan hak digital, Privacy International, menyoroti fakta bahwa sistem SingPass bergantung pada persetujuan pengguna atau pemilik kartu.
Hal itu, kata Kouvakas, tetap menyiratkan adanya pihak yang mungkin merasa bahwa hak privasi dan keamanan data pribadinya akan terekspos. ”Ada data biometrik yang sangat sensitif terekspos. Ketidakseimbangan kekuasaan antara pemerintah dan warga, kurangnya fleksibilitas, dan ketidaksengajaan membuat persetujuan (bisa) tidak valid,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
Kouvakas mengungkapkan, sistem itu berpeluang digunakan sekaligus dalam rangka pengawasan oleh negara sebagai institusi terhadap warganya. Hal itu bisa saja dirasa sangat mengganggu bagi warga. Kekeliruan mengidentifikasi juga dapat terjadi. Bahkan, sistem itu dapat digunakan untuk menarget pribadi-pribadi tertentu dengan karakter khusus, misalnya orang kulit berwarna dan atau perempuan.
Jika dibandingkan dengan sistem verifikasi wajah yang digunakan untuk membuka kunci ponsel pintar pun, kata Kouvakas, sangat berbeda. Skema kartu identitas nasional yang cenderung dipaksakan oleh pemerintahan satu negara terhadap warganya bisa diskriminatif.
Secara khusus, Kouvakas menekankan risiko yang lebih besar yang dapat menimpa kelompok minoritas dan warga yang dikategorikan pemerintah atau pihak-pihak tertentu sebagai kelompok rentan. Mereka-mereka bisa saja dikucilkan.
Tersimpan 30 hari
Namun, kekhawatiran itu dibantah oleh Pemerintah Singapura. Juru bicara GovTech mengatakan, teknologi verifikasi wajah SingPass hanya mengumpulkan data yang diperlukan untuk tujuan tertentu. Foto hasil swafoto disimpan di server pemerintah hanya selama 30 hari.
Dia juga memastikan tidak ada data pribadi yang dibagikan kepada sektor swasta. Jika ada, hal itu hanya mencakup sebagian saja. Yakni, hanya semacam penilaian yang cocok ketika gambar wajah diverifikasi dengan basis data pemerintah.
Media BBC menyatakan, sistem pengenalan wajah dan verifikasi wajah merupakan dua hal yang berbeda. Hal itu bergantung pada pemindaian wajah seseorang yang kemudian hasilnya dicocokkan dengan gambar di basis data yang ada. Hal itu digunakan untuk menetapkan identitas mereka. Perbedaan utamanya adalah verifikasi wajah membutuhkan persetujuan eksplisit dari pengguna, dan si pengguna mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya, seperti akses ke ponsel atau aplikasi layanan perbankan bank di ponsel mereka.
Adapun teknologi pengenalan wajah, sebaliknya, memungkinkan pemindaian wajah semua orang di tempat-tempat umum, seperti stasiun kereta. Sistem itu lalu memberi tahu pihak berwenang jika seseorang yang dicurigai atau dicari berjalan melewati kamera untuk pengenalan wajah tersebut.
”Pengenalan wajah memang memiliki berbagai implikasi sosial. Namun, pemindai wajah tidak berbahaya,” kata Bud.
Meski demikian, bagi para pendukung privasi, persetujuan atau izin lanjutan dari si pemilik wajah—dalam hal ini adalah warga—merupakan ambang batas yang tipis sekaligus sensitif terkait keberadaan data biometrik yang bersangkutan. (THOMPSON REUTERS FOUNDATION)