Masa Sulit Timor Leste akibat Covid-19 dan Jatuhnya Harga Migas
Pandemi Covid-19 telah berdampak multidimensi termasuk kelanjutan proyek minyak dan gas di ladang Greater Sunrise di Laut Timor.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Timor Leste kini mengalami masa sulit. Impian negara miskin itu membangun industri migas untuk kemandirian ekonominya sirna oleh Covid-19 dan jatuhnya harga migas global.
DILI, SENIN — Pandemi Covid-19 dan jatuhnya harga minyak dan gas atau migas global telah mengubur impian Timor Leste untuk memiliki industri migas sendiri. Industri ini diharapkan mengakhiri ketergantungannya pada bantuan asing, yang juga bisa memperkuat posisinya sebagai negara berdaulat dan membebaskannya sebagai salah satu negara termiskin di dunia.
Sejak merdeka dari Indonesia pada 2002, Timor Leste telah bertarung dengan sejumlah perusahaan minyak dan negara tetangganya untuk menguasai ladang gas Greater Sunrise, yang 70 persen berada di perairan Timor Leste dan 30 persen lagi di perairan Australia.
Ladang gas ini diperkirakan memiliki cadangan lebih dari 141,5 miliar meter kubik gas alam dan 226 juta barel minyak dan memiliki nilai sekitar 50 miliar dollar AS sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Akan tetapi, setelah melaporkan kasus Covid-19 pertamanya pada Maret 2020, negara ini menyatakan status darurat bahwa proyek Tasi Mane terhenti. Negara ini pun secara radikal memangkas pengeluarannya pada April 2020 menyusul anjloknya harga minyak mentah di pasar global.
Pada Juni 2020, kondisi negara ini semakin buruk setelah Kongres Nasional Rekonstruksi Timor (CNRT), partai Xanana Gusmao, presiden pertama sekaligus mantan Perdana Menteri Timor Leste, digulingkan dari koalisi pemerintah dan sekutu Gusmao, Francisco Monteiro, CEO TimorGAP (perusahaan minyak negara), dipecat.
Menurut Nikkei Asian Review, Senin (28/9/2020), Xanana selama ini telah memperjuangkan proyek Tasi Mane senilai 18 miliar dollar AS yang di dalamnya termasuk kilang LNG di darat dan kilang minyak yang terhubung ke ladang Greater Sunrise melalui pipa sepanjang 286 km melintasi Laut Timor.
Pemerintah Timor Leste telah menghabiskan ratusan juta dollar AS untuk membangun bandara pendukung Tasi Mane serta jalan raya buatan China yang sekarang terbengkalai. Berutang kepada China memang nyata karena proyek yang didanai Beijing itu telantar.
Setelah membeli saham bekas mitranya di Greater Sunrise, yaitu ConocoPhillips dan Shell, senilai 650 juta dollar AS, Timor Leste memiliki 57 persen Greater Sunrise, disusul Woodside Petroleum dari Australia 33 persen, dan Osaka Gas dari Jepang dengan kepemilikan 10 persen.
Xanana pun mendapat pujian di dalam negerinya karena berhasil membujuk perusahaan multinasional itu menjual sahamnya. Berulang kali ia menepis kekhawatiran atas keberlangsungan proyek itu.
Xanana bertekad menjadikan proyek Tasi Mane berjalan. Ia lalu mengajukan pinjaman 16 miliar dollar AS ke Exim Bank dari China hingga memosisikan Timor Leste ke dalam perangkap utang seperti negara lain di kawasan. Namun, Exim Bank menolak mendanai proyek setelah survei AS menyebut proyek itu membawa risiko besar.
Bandara untuk Tasi Mane yang kosong, jalan raya yang sepi, dan zona konstruksi yang menandai pantai selatan Timor Leste dilihat sebagai monumen ketidakmampuan negara itu. ”Timor Leste tak punya skill yang diperlukan dalam megaproyek yang kompleks. Perlu tenaga dari luar negeri,” kata David Low, analis senior di konsultan energi global Wood Makenzie, seperti dikutip Nikkei Asian Review.
Lebih sulit
Seperti analis lain di bisnis ini, Low menambahkan, akan lebih mudah jika memanfaatkan fasilitas yang terhubung ke kota Darwin, Australia. ”Dengan Freater Sunrise, semuanya harus mulai dari awal. Itu membuatnya lebih sulit untuk menghasilkan uang,” kata Low.
Pemerintah Timor Leste menyebutkan, perubahan kepemimpinan di TimorGAP dibutuhkan untuk menyatukan perusahaan minyak itu dengan visi strategis sektor migas pemerintah. Namun, Dili tidak memberikan komentar apa pun soal masa depan Tasi Mane.
Dosen bisnis internasional di RMIT Melbourne dan penulis Conflict, Identity, and State Formation in East Timor 2000-2017, James Scambary, mengatakan, Tasi Mane adalah bayi dari Xanana. Ia akan meneruskannya apa pun yang terjadi meski harga gas anjlok. ”Namun, sekarang ia sudah tidak berkuasa. Saya menduga ia akan meneruskannya diam-diam,” ujar Scambary.
Dengan sedikit investor yang tertarik, Scambary curiga semua orang, kecuali Xanana, menyadari biaya yang diperlukan untuk meneruskan proyek terlalu tinggi.
Sebenarnya masih dapat dibayangkan jika China mendanai proyek tersebut sebagai bagian dari persaingan geostrategisnya dengan AS. Investasi Beijing dapat mencakup hak untuk membangun pangkalan Angkatan Laut China di pantai selatan Timor Leste, satu hal yang paling ditakuti Australia.
Senator Australia Rex Patrick mengatakan, Februari lalu, Australia harus mempertimbangkan untuk mendukung Tasi Mane untuk mencegah Timor Leste menjadi pengikut China.
Xanana tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar. Mantan presiden dan peraih Hadiah Nobel Ramos Horta mengatakan, ketakutan Australia atas Chinafication di Timor Leste tak beralasan.
”Perjuangan keras kami dalam 24 tahun melawan Indonesia mengajarkan kami arti kemerdekaan sesungguhnya,” katanya. ”Faktanya, kami memiliki hubungan yang jauh lebih aktif dengan Indonesia, Australia, dan AS daripada dengan China.”
Rebecca Strating, dosen politik di La Trobe University Melbourne, penulis Social Democracy in East Timor, mengatakan, opsi untuk mendapatkan dukungan China, satu-satunya aktor yang siap, tidak dikesampingkan. (REUTERS/ADH)