Konsumsi Daging Merah Turun, Orang Beralih ke Nabati
Kekhawatiran terhadap kaitan antara daging merah dan Covid-19 membuat permintaan akan sosis kedelai, burger kacang, dan daging nabati lain meningkat.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sejak pandemi Covid-19, penjualan daging buatan atau daging nabati melonjak gara-gara pola makan konsumen yang berubah. Konsumen juga khawatir dengan kondisi peternakan hingga proses pengepakan daging. Belum lagi kekhawatiran publik akan adanya hubungan antara daging hewan dengan Covid-19.
Untuk memenuhi kebutuhan daging nabati, perusahaan bioteknologi ORF Genetics di Islandia memodifikasi jelai, pucuk tanaman sereal kuno secara genetik, untuk menghasilkan bahan-bahan penumbuh daging berharga mahal yang dikembangkan di laboratorium.
ORF dan perusahaan-perusahaan lain berharap lebih banyak orang mengonsumsi daging yang dibudidayakan dalam sel ketika nanti tersedia di pasar secepatnya tahun depan. Selain biaya produksi yang mahal, tantangan yang akan dihadapi adalah konsumen yang belum percaya pada daging nabati.
”Teknologi yang mengambil sel punca untuk diubah jadi daging ini berdampak besar pada lingkungan,” kata salah satu pendiri dan kepala bidang ilmiah ORF, Bjorn Orvar, di ibu kota Islandia, Reykjavik.
Dengan teknologi ini, lanjut Orvar, penggunaan lahan, emisi, dan konsumsi air bisa dikurangi. Produksi pangan lokal juga akan berkembang. Kekhawatiran akan kaitan antara daging merah dengan Covid-19 membuat permintaan akan sosis kedelai, burger kacang, dan daging nabati lain.
Dari data Institut Makanan Sehat, 21 Maret sampai 20 Juni, penjualan daging nabati di Amerika Serikat naik tiga kali lipat setiap pekan jika dibandingkan tahun lalu.
Munculnya Covid-19 dan The Game Changers, film dokumenter tentang atlet yang mengikuti pola makan nabati, mendorong guru bahasa Inggris, Melanie Devaney, kembali vegetarian. ”Ada banyak alternatif selain daging segar dan anak-anak saya suka,” kata Devaney, yang tinggal di Selandia Baru.
Tak mudah beralih
Peneliti pasar, Euromonitor, berharap pasar nabati yang biasanya berbasis kedelai, biji-bijian, atau kacang-kacangan lainnya di Asia tumbuh 11,6 persen tahun ini. Tren ini pertanda baik bagi potensi sumber protein alternatif.
Meski demikian, bagi banyak konsumen tidak mudah beralih dari burger berbahan dasar keledai atau kacang hijau ke steak atau makanan laut yang ditumbuhkembangkan dari sel hewan.
Di ORF, para ilmuwan memilih jelai—salah satu biji-bijian pertama yang dibudidayakan—karena bisa tumbuh dalam kondisi sulit dan tidak perlu ada penyerbukan silang. Itu artinya, turunan yang dimodifikasi secara genetik bisa tumbuh berdampingan.
Biji jelai yang direkayasa secara biologis menghasilkan faktor penumbuh, yakni protein yang merangsang pertumbuhan jaringan tertentu termasuk yang dibutuhkan untuk membentuk kembali otot dan sel lemak hewan.
Orvar mengatakan, teknik ini lebih hemat biaya dan lebih mudah untuk meningkatkan produksi daging yang ditumbuhkembangkan dibanding menggunakan faktor penumbuh dari sumber yang lebih konvensional seperti bakteri e-coli atau jaringan manusia.
Meski biaya produksi daging di laboratorium turun drastis, biaya tetap menjadi masalah utama untuk produksi massal.
Pada tahun 2013, ketika burger pertama dengan daging yang ditumbuhkan di laboratorium diperkenalkan, harganya mahal atau sekitar 250.000 euro. Sejak itu, biaya produksi turun drastis menjadi 100 dollar AS per kilogram.
Para pendukung daging hasil budidaya sel sering menyoroti potensi pengurangan yang besar dalam emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan peternakan intensif. Namun, kubu lain memperingatkan produksi daging hasil budidaya perlu meminimalkan penggunaan energi dan menghindari bahan bakar fosil agar menjadi bahan pangan alternatif yang ramah iklim.
Menurut PBB, secara global, beternak menyumbang sekitar 14,5 persen dari emisi pemanasan bumi dan lahan yang digunakan untuk pertanian merupakan penyebab utama penggundulan hutan.
Hewan mamah biak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing menghasilkan dinitrogen oksida, karbondioksida, dan metana, yang merupakan gas utama yang dikeluarkan sebagian besar melalui sendawa.
Pandemi Covid-19 mendorong orang lebih memperhatikan apa yang dimakan dan cara produksinya. Ada juga tekanan yang lebih besar bagi konsumen di negara kaya yang saat ini makan lebih banyak daging daripada yang dibutuhkan untuk mengurangi asupannya.
”Jika perubahan mendadak dalam pola makan sebagai akibat Covid-19 bisa dipertahankan jangka panjang, konsumsi daging yang berlebihan akan berkurang,” sebut makalah Cambridge University Press.
Daniel Vennard, Kepala Laboratorium Better Buying Lab di World Resources Institute, lembaga kajian lingkungan di London, Inggris, memperingatkan agar tidak hanya melihat tren peningkatan penjualan daging nabati saja. Data The Good Food Institute menunjukkan penjualan daging juga tumbuh.
Karena daging memiliki basis yang jauh lebih tinggi, maka mengurangi pangsa pasar daging nabati dari 1,5 persen pada awal Maret menjadi 1,27 persel awal Mei.
Richard Horsey, salah satu penulis buku Ugly Food: Overlooked and Undercooked, buku tentang makanan enak, murah, dan berkelanjutan, ragu pencarian daging alternatif akan membuka jalan menuju pola makan global yang lebih hijau.
”Akan lebih baik jika setiap orang lebih banyak berhubungan dengan makanan mereka atau makan lebih sedikit daging saja,” ujarnya. (REUTERS)