Kekerasan Bersenjata Ancam Stabilitas di Kaukasus Selatan
Nagorno-Karabakh sekali lagi menjadi pusat konflik bersenjata antara Armenia-Azerbaijan. Tidak tuntasnya penyelesaian konflik di era tahun 1980-an mengakibatkan konflik sewaktu-waktu bisa muncul kembali.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BAKU, SENIN — Sedikitnya 23 anggota militer dan warga sipil tewas setelah bentrokan bersenjata antara militer Armenia dan Azerbaijan yang terjadi pada Minggu (27/9/2020). Bentrokan kedua tahun 2020 ini membuat sejumlah pihak khawatir terhadap stabilitas Kaukasus Selatan, terutama karena wilayah ini menjadi koridor pipa yang membawa minyak dan gas ke pasar dunia.
Bentrokan antara dua bekas Republik Soviet adalah gejolak terbaru dari konflik berkepanjangan di Nagorno-Karabakh, wilayah pegunungan yang menjadi perbatasan kedua negara. Nagorno-Karabakh adalah wilayah otonom di Azerbaijan, yang pernah menyatakan memisahkan diri dari negara itu dan kini dijalankan oleh etnis Armenia yang menjadi mayoritas penduduk.
Nagorno-Karabakh menyatakan, sebanyak 16 anggota militer mereka tewas dan lebih dari 100 lainnya luka-luka setelah Azerbaijan melancarkan serangan udara dan artileri Minggu pagi. Armenia dan Nagorno-Karabakh mengumumkan darurat militer dan memobilisasi penduduk laki-laki.
Pemerintah Armenia mengatakan, pasukan Azeri telah menyerang sasaran sipil termasuk ibu kota Nagorno-Karabakh, Stepanakert, dan menjanjikan tanggapan yang proporsional atas serangan itu. ”Kami tetap kuat berada di samping dan mendukung tentara kami untuk melindungi tanah air dari invasi Azeri,” cuit Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan melalui media sosial Twitter.
Azerbaijan, yang juga mengumumkan darurat militer, menyatakan, serangan yang dilakukannya sebagai respons terhadap serangan militer Armenia terhadap wilayahnya. Pemerintah Azerbaijan menyatakan satu keluarga tewas karena serangan militer Armenia sebelumnya.
Baku juga mengatakan, pasukannya telah menguasai tujuh desa di Nagorno-Karabakh. Pemerintah daerah otonom Nagorno-Karabakh yang didukung Armenia awalnya menyangkal hal itu, tetapi kemudian mengakui kehilangan ”beberapa posisi” dan mengatakan bahwa warga sipil menjadi korban tanpa memberikan rincian.
Pada saat yang sama, Pemerintah Azerbaijan membantah pernyataan Kementerian Pertahanan Armenia yang mengatakan helikopter dan tank milik pasukan Azeri telah dihancurkan. Mereka juga menuding pasukan Armenia melancarkan serangan yang disengaja dan ditargetkan di sepanjang garis depan.
”Kami mempertahankan wilayah kami. Tujuan kami benar!” kata Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dalam pidatonya, Minggu (27/9/2020).
Sebaliknya, bagi warga Karabakh, pemerintahan Azerbaijan adalah momok. ”Kami lelah dengan ancaman Azerbaijan, kami akan berjuang sampai mati untuk menyelesaikan masalah ini untuk selamanya,” kata Artak Bagdasaryan (36), yang tengah menunggu mobilisasi wajib militer di Yerevan untuk bisa kembali ke Nagorno-Karabakh.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Armenia Artsrun Hovhannisyan mengklaim pasukan pemberontak Karabakh membunuh sekitar 200 tentara Azerbaijan dan menghancurkan 30 unit artileri musuh dan 20 pesawat nirawak.
Jaringan pipa minyak dan gas
Konflik bersenjata di perbatasan Armenia dan Azerbaijan menjadi perhatian banyak pihak karena di wilayah ini terbentang jalur pipa minyak dan gas alam Kaspia, dari Azerbaijan ke dunia melewati wilayah sengketa. Armenia juga memperingatkan tentang risiko keamanan di Kaukasus Selatan pada Juli setelah Azerbaijan mengancam akan menyerang pembangkit listrik tenaga nuklir Armenia sebagai kemungkinan pembalasan.
Turki mengatakan sedang berbicara dengan anggota kelompok Minsk, kelompok negara-negara yang menengahi konflik antara Armenia dan Azerbaijan. Selain Turki, Pemerintah Rusia, Perancis, dan Amerika Serikat juga menjadi anggota kelompok ini.
Sikap partisan Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan yang menyatakan mendukung Azerbaijan membuat Pashiyan meminta komunitas global untuk mencegah negara itu terlibat dalam konflik. Sementara, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) serta Uni Eropa mendesak kedua belah pihak untuk menghentikan tindakan militer dan kembali ke meja perundingan.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan akan berusaha untuk mengakhiri kekerasan. ”Kami melihatnya dengan sangat cermat. Kami memiliki banyak hubungan baik di area itu. Kami akan melihat apakah kami bisa menghentikannya,” kata Trump.
Dalam sebuah pernyataan, Departemen Luar Negeri AS mengecam kekerasan dan menyerukan penghentian segera permusuhan serta retorika atau tindakan lain yang dapat memperburuk masalah.
Calon presiden dari Partai Demokrat AS yang juga mantan Wakil Presiden, Joe Biden, dalam sebuah pernyataan mengatakan, permusuhan dapat meningkat menjadi konflik yang lebih luas. Dia mendesak pemerintahan Trump untuk mendorong lebih banyak pengamat di sepanjang garis gencatan senjata dan agar Rusia berhenti secara sinis memberikan senjata kepada kedua belah pihak. (AFP/Reuters)