WHO: Kematian akibat Covid-19 Bisa Tembus 2 Juta Jiwa
WHO memperingatkan, jumlah kematian akibat Covid-19 di dunia bisa mencapai 2 juta jiwa jika pemerintah tidak melakukan tindakan tegas untuk mencegahnya dan warga tidak mematuhi protokol kesehatan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
GENEVA, SABTU — Organisasi Kesehatan Dunia memperingatkan, jumlah kematian akibat Covid-19 bisa menembus angka dua juta jiwa jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas untuk mencegah penyebaran penyakit ini di wilayah mereka.
Meski semua menanti ditemukannya vaksin yang ampuh untuk mengatasi pandemi, tindakan tegas pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit sangat krusial. Namun, itu juga mungkin jika warga taat mematuhi protokol kesehatan yang diyakini bisa mencegah laju kematian akibat Covid-19.
Data Worldmeter.info hingga Sabtu (26/9/2020) pukul 09.00 WIB, jumlah kematian di dunia akibat Covid-19 nyaris mendekati angka 1 juta jiwa. Sementara jumlah kasus secara global mencapai 32.758 juta kasus dengan jumlah warga yang sembuh mencapai 24 juta jiwa.
Amerika Serikat menjadi negara yang paling terpukul akibat pandemi ini dengan jumlah kasus sudah melewati angka 7,2 juta jiwa. Jumlah itu lebih dari seperlima total kasus global meski populasinya hanya 4 persen dari populasi dunia.
Negara yang kini dipimpin Presiden Donald Trump ini memiliki jumlah kematian sudah mencapai 208.440 jiwa.
Di peringkat kedua, Brasil, yang dipimpin Presiden Jair Bolsonaro. Di Negara kiblat sepak bola dunia ini, jumlah kasus berada persis di bawah AS dengan jumlah nyaris mendekati 4,7 juta kasus. Adapun tingkat kematiannya mencapai 140.000 jiwa, nomor dua di bawah AS.
”Satu juta adalah angka yang mengerikan dan kita perlu merenungkannya sebelum mulai memikirkan satu juta yang kedua. Apakah kita siap secara kolektif untuk melakukan apa yang diperlukan untuk menghindari angka itu?” kata Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan, Jumat (25/9/2020).
Dia mengingatkan, jika pemerintahan di seluruh dunia tidak mengambil tindakan, tidak melakukan sesuatu untuk mencegahnya, warga dunia akan melihat angka itu melonjak. ”Jika kita tidak mengambil tindakan itu, ya, kita akan melihat angka itu dan sayangnya jauh lebih tinggi,” kata Ryan.
Peringatan WHO keluar ketika beberapa negara mulai memberlakukan tindakan penguncian yang diperluas. Spanyol, misalnya, mengeluarkan perintah penguncian di wilayah Kota Madrid dan sekitarnya yang berpenghuni sekitar 1 juta orang.
Otoritas kesehatan di kota itu, Jumat (25/9/2020), mengeluarkan aturan baru yang melarang puluhan ribu warga meninggalkan distrik tempat mereka tinggal, melengkapi 850.000 warga lainnya yang sudah hidup di bawah batasan serupa. Aturan itu akan diterapkan mulai Senin (29/9).
Di Benua Biru, julukan bagi Eropa, lonjakan kasus terjadi hampir di seluruh kawasan. Polandia dan Perancis menjadi negara dengan lonjakan kasus yang signifikan. Di Perancis, kasus harian melonjak melewati angka 16.000 per hari untuk pertama kalinya sebagai indikator nyata bahwa perang melawan penyakit ini belum usai.
Pada saat yang sama, Pemerintah Perancis harus menghadapi protes dari para pengusaha industri perhotelan ketika tengah mencoba mempersiapkan aturan pembatasan baru yang lebih keras.
Pemilik bar dan restoran di Kota Marseille berdemo di depan gedung pengadilan komersial kota menentang penutupan paksa yang akan diberlakukan mulai Minggu (27/9/2020) malam.
”Di sinilah kami mungkin akan menyatakan kebangkrutan,” kata Bernard Marty, Presiden Asosiasi Perhotelan Regional.
Eropa Timur muncul sebagai titik panas Covid-19. Polandia, yang tidak termasuk dalam daftar UE, mengalami infeksi dua kali lipat dari 700 lebih pada hari Selasa menjadi lebih dari 1.500 pada hari Jumat.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan kabinetnya juga telah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial yang lebih keras dibandingkan dengan sebelumnya. Pembatasan yang baru melingkupi seperempat populasi negara itu dan dengan denda yang lebih besar bagi para pelanggar.
Dua jaringan supermarket telah mengeluarkan kebijakan untuk menjatah pembelian barang-barang tertentu guna menekan pembelian besar-besaran (panic buying).
Ryan mengatakan, negara-negara Eropa memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menstabilkan situasi dan mengendalikan penularan. Secara keseluruhan, WHO, menurut Ryan, melihat kondisi peningkatan jumlah kasus yang mengkhawatirkan.
Maria van Kerkhove, Kepala Teknis WHO untuk Covid-19, menilai ada perkembangan yang salah di benua itu. ”Kita berada di akhir September dan bahkan belum memulai musim flu. Yang kami khawatirkan adalah kemungkinan tren ini terjadi di salah arah,” kata Kerkhove.
Brasil, negara dengan jumlah kasus terbanyak setelah AS, terpaksa harus menunda penyelenggaraan karnaval Rio de Janeiro di tahun ini. Jorge Castanheira, salah satu pengambil kebijakan dalam karnaval ini, menyatakan, meski bukan pembatalan, penyelenggaraan karnaval akan ditunda tanpa batas waktu. (AFP/REUTERS)