Parlemen Thailand Tunda Perubahan Konstitusi, Aktivis Siap Demo Besar Lagi
Para aktivis pro-demokrasi di Thailand mengultimatum parlemen agar mengamendemen konstitusi paling lambat 30 September mendatang. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka siap menggelar demo besar-besaran lagi, Oktober.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
BANGKOK, JUMAT — Perjuangan kelompok pro-demokrasi yang turun ke jalan setiap hari selama dua bulan terakhir di Thailand belum usai. Setelah dua hari berdebat, parlemen Thailand menunda keputusan untuk mengubah konstitusi. Parlemen yang beranggotakan mayoritas pendukung pemerintah itu malah membentuk komite khusus untuk mempelajari proses perubahan konstitusi terlebih dahulu.
”Hasil voting memutuskan bahwa mosi perubahan konstitusi ditunda sampai November,” kata anggota parlemen pro-pemerintah, Chinnaworn Boonyakiat, Kamis (24/9/2020) malam.
Keputusan itu membuat marah oposisi di parlemen dan sekitar 1.000 pengunjuk rasa yang berdemonstrasi di luar gedung parlemen. Mereka menuntut perubahan konstitusi dan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-O-cha yang juga mantan pemimpin junta militer. Pemerintahan Prayuth mengindikasikan mendukung perubahan konstitusi, tetapi rupanya hal itu hanya untuk menenangkan massa dan mengulur waktu saja agar tidak timbul gejolak.
Ada tiga tuntutan perubahan dalam konstitusi yang dikehendaki kelompok pro-demokrasi, yakni reformasi monarki, pembatasan kekuasaan senator yang tidak terpilih, dan proses pemilihan—bukan penunjukan—anggota komite penyusunan konstitusi. Komite baru itu akan terdiri dari koalisi partai berkuasa, anggota oposisi dari Majelis Rendah, dan anggota senat non-partisan.
Konstitusi yang berlaku saat ini dituding sengaja dibuat untuk memastikan Prayuth tetap berkuasa setelah pemilu tahun lalu. Namun, Prayuth menegaskan pemilu tahun lalu berlangsung jujur dan adil.
Wiroj Lakkhanaadisorn, anggota parlemen dari partai oposisi, Partai Bergerak Maju, menilai, keputusan parlemen menunda keputusan mengubah konstitusi itu hanya untuk memperdaya rakyat. ”Jika proses ini ditunda selama satu bulan untuk membentuk komite, lalu jika mosinya ditolak lagi, anggota parlemen tidak bisa mengusulkan mosi itu lagi sampai tahun depan,” ujarnya.
Salah satu aktivis yang berada di luar gedung parlemen, Tattep Ruangprapaikitseree, menuding pemerintah sengaja mengulur waktu saja. ”Mereka tidak tulus memperjuangkan kepentingan rakyat Thailand. Kami tidak bisa terima,” ujarnya.
Keputusan parlemen itu sudah diprediksi berbagai media di Thailand. Mereka mengindikasikan kemungkinan besar tuntutan perubahan konstitusi tidak akan disahkan karena kurangnya dukungan di senat yang mayoritas berisi kelompok konservatif dan berseberangan dengan pro-demokrasi.
Untuk bisa mengesahkan keputusan perubahan konstitusi setidaknya dibutuhkan dukungan dari Majelis Rendah dan Senat. Untuk Senat, dibutuhkan dukungan dari sepertiga anggota Senat yang total berjumlah 250 senator. Hasil pemungutan suara menunjukkan, sebanyak 431 anggota Majelis Rendah dan Senat mendukung pembentukan komite baru, sedangkan hanya 255 orang yang menentang. Ada 28 suara yang abstain dan 1 suara tidak diberikan.
Ultimatum pengunjuk rasa
Kelompok pro-demokrasi mengancam akan tetap berunjuk rasa besar-besaran pada Oktober jika tuntutan mereka tidak dipenuhi sampai 30 September mendatang. ”Rakyat sudah ada di depan parlemen untuk menunjukkan kekuatan. Anggota parlemen dan senator harus mendengarkan suara rakyat,” kata salah satu pengunjuk rasa, Nawat Yamwattana.
Gelombang protes terakhir ini menjadi tantangan terbesar bagi militer dan kerajaan sejak Prayuth berkuasa pasca-kudeta tahun 2014. Para pengunjuk rasa menilai konstitusi tak hanya menguntungkan Prayuth, tetapi juga memberikan kekuasaan terlalu besar kepada Raja Maha Vajiralongkorn. Untuk pertama kalinya rakyat menuntut kekuasaan Raja dikurangi. Selama ini, mengkritik monarki dianggap merupakan salah satu hal yang tabu.
Selain dari para pengunjuk rasa, pemerintahan Prayuth juga mendapat tekanan dari beberapa anggota keluarga kerajaan. Mereka kecewa pada rakyat yang mulai mempertanyakan kekuasaan monarki yang dianggap sakral oleh konservatif. Bagi kelompok pengkritik konstitusi, konstitusi dibuat hanya untuk mengamankan kekuasaan elite penguasa, seperti anggota keluarga kerajaan, militer, dan birokrat yang tidak dipilih melalui proses demokrasi.
Anggota-anggota Senat yang ditunjuk dianggap sebagai pembela status quo dan sangat dipengaruhi oleh militer. Hal yang dianggap paling kontroversial adalah Senat diperbolehkan memberikan suara dalam pemilihan perdana menteri. Ini yang dikritik kelompok pro-demokrasi karena dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
Konstitusi 2017 dibuat oleh komite yang ditunjuk oleh militer dan disetujui melalui referendum tahun 2016. Pada waktu itu, oposisi dilarang berkampanye menjelang referendum. Meski ada kesepakatan umum bahwa perlu ada perubahan konstitusi, tetap ada perbedaan pendapat apa saja yang semestinya diubah. Salah satunya, posisi dan hak istimewa monarki dan peran kekuasaan Senat.
Jika terlaksana, proses perubahan konstitusi ini tak akan mudah dan akan memakan waktu yang lama, yakni minimal dua tahun. Thailand digoyang belasan kudeta dan telah memiliki 20 konstitusi sejak pemerintahan langsung oleh raja berakhir tahun 1932. (REUTERS/AFP/AP)