Jenderal Haftar Pegang ”Kartu Truf” dalam Proses Perdamaian Libya
Ladang minyak di Sirte dan kedekatannya dengan akar rumput menjadi kunci kekuasaan Jenderal Khalifa Haftar di Libya timur. Negara-negara asing ”yang merasa berkepentingan” tidak bisa mengabaikan peran sosok Haftar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Serangan pasukan yang dipimpinnya, Tentara Nasional Libya (LNA), sejak April 2019 tak berhasil menembus Tripoli. Ibu kota Libya ini dikuasai Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj. Pasukan yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar itu kini secara perlahan mundur teratur ke benteng pertahanan mereka di wilayah Libya timur.
Tak hanya mengalami kemunduran, negara-negara yang semula mendukungnya untuk merebut kekuasaan dari tangan Fayez al-Sarraj perlahan-lahan menggeser dukungannya. Haftar mendapat dukungan dari Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Rusia, sedangkan Sarraj didukung, antara lain, oleh Turki dan Qatar.
Keputusan Haftar, jenderal yang sempat ”mengasingkan diri” di dekat markas Badan Pusat Intelijen AS (CIA) di Langley, Amerika Serikat, untuk mengangkat sebagian blokade minyak di wilayah yang dikuasainya, Sirte, tak bisa dipandang sebelah mata. Kuku pengaruhnya masih kuat mencengkeram wilayah Libya timur.
Bagi Haftar, Sirte adalah wilayah kunci. Tak hanya bagi dirinya dan kelompoknya, tetapi juga kehidupan rakyat Libya secara keseluruhan karena adanya ladang-ladang minyak di Sirte. Minyak adalah mata uang yang penting bagi seterunya di wilayah Libya barat, termasuk Sarraj sendiri.
Negara-negara asing, yang sebenarnya tidak memiliki mandat apa pun, kini mencoba mempromosikan dan mendorong faksi-faksi yang bertikai di Libya untuk membentuk pemerintahan bersatu, menggabungkan wilayah barat dan timur. Namun, pada saat yang sama, Haftar (76) mengganggu proses negosiasi.
”Itu adalah bagian besar dari teka-teki yang hilang. Apa yang harus dilakukan dengan Haftar dan bagaimana melibatkannya,” kata seorang diplomat Barat.
Libya tidak memiliki pemerintahan yang terpusat dan kuat setelah tumbangnya diktator Moammar Khadafy, satu dekade lalu. Haftar, yang terdepak oleh Khadafy dan mendapat dukungan dari NATO untuk menggulingkannya, membangun kekuatan di wilayah Libya timur. Seetelah tumbangnya Khadafy, Haftar membangun ”pusat pemerintahannya” di Benghazi. Pada saat bersamaan, PBB mendukung Sarraj untuk menjalankan kekuasaan di Tripoli. Belakangan, Turki juga menyatakan dukungannya kepada Sarraj.
Penguasaan ladang minyak
Kedua pemerintahan paralel ini didanai oleh minyak yang melimpah di tanah Libya. Akan tetapi, ketika Haftar menguji ”kekuatannya” dengan memblokade produksi minyak dari ladang minyak terbesar Libya di Sirte, delapan bulan lalu, kedua pemerintahan itu sama-sama lumpuh. Dan, ketika pada 19 September lalu Haftar mencabut blokade tersebut, produksi minyak secara bertahap kembali mengalir, bukti bahwa ”kekuasaan” Haftar masih bertuah. Penguasaan atas ladang-ladang minyak itu menjadi semacam ”kartu truf” bagi Haftar.
Namun, dimulainya kembali produksi minyak dan penghentian pertempuran saat ini tidak memiliki pijakan yang kuat. Kesepakatan Haftar dengan Ahmad Maiteeq, Wakil Ketua Dewan Kepresidenan Libya dari kubu GNA, memicu reaksi balik dari sejawatnya di Tripoli. Kesepakatan itu dikhawatirkan memberi LNA dan Haftar kendali lebih luas atas keuangan pemerintahan GNA.
Gencatan senjata sepihak yang diumumkan kubu Haftar juga belum diubah menjadi gencatan senjata formal yang mengikat kedua pihak. Turki, sebagai pendukung Sarraj, belum memberi lampu hijau. Apalagi, mereka sudah banyak ”menanam saham” dengan mendukung Sarraj dan militernya. Sebaliknya, negara-negara pendukung Haftar menginginkan status quo atas gencatan senjata itu.
LNA menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk melaksanakan gencatan senjata yang diumumkan pada Juni lalu. Akan tetapi, mereka tidak akan mundur dari Sirte. ”Di hadapan tentara bayaran Suriah dan Turki dan ancaman serangan ke Sirte, tentu saja tentara Libya tidak akan pergi,” kata Khaled Al-Mahjoub, juru bicara LNA.
Sejumlah negara Barat mengusulkan zona demiliterisasi di sekitar Sirte. Menurut para analis, kesediaan LNA untuk mundur dari Sirte bergantung pada ”bisikan” negara-negara pendukung mereka dan kontraktor militer Rusia yang berada di samping mereka.
Perpecahan internal
Sejak gencatan senjata dimulai Juni lalu, pertempuran mereda. Namun, perpecahan internal di masing-masing kubu terjadi. Di Tripoli, perselisihan meledak di tubuh GNA antara Sarraj dan Menteri Dalam Negeri Fathi Bashagna. Bashagna memegang peran kunci terkait keberadaan Turki di Libya. Sarraj bahkan mengancam akan mundur dari jabatannya. Namun, sejumlah manuver para pengikutnya membuatnya sulit menemukan calon penggantinya.
Di timur, sejumlah kekuatan internasional mencoba mencari sosok yang pas untuk menggantikan Haftar. Aguila Saleh, pemimpin parlemen di Timur, telah mendapat restu dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk menggantikan Haftar. Namun, tampaknya pengaruh Haftar kokoh di level akar rumput sehingga membuat UE dan AS tak mudah mempromosikan Saleh ke tampuk kekuasaan.
Mohamed Eljarh, analis politik Libya, menilai bahwa kekuasaan dan pengaruh Haftar yang besar di wilayah Libya timur, termasuk penguasaannya atas sumber-sumber keuangan, membuat Saleh dan negara pendukungnya tidak akan mudah menyingkirkan sang jenderal. ”Saya pikir Haftar tidak senang. Inilah mengapa saya pikir ada kemungkinan dia mencoba melakukan yang terbaik, menyabot upaya pembicaraan politik melalui aksi militer,” katanya.
Kini, dipimpin PBB, sejumlah negara mencoba menentukan nasib dan masa depan Libya. Turki dan Rusia, dua kekuatan besar di balik GNA dan LNA serta perundingan di Maroko antara anggota parlemen Libya di kedua kubu, merencanakan peta jalan untuk pemilihan umum.
Sejumlah negara Barat masih menginginkan Haftar memiliki peran di Libya walaupun terbatas pada peran militer. Namun, Perancis mendorong Haftar memiliki peran yang lebih, terutama dalam bidang politik. Hal itu diketahui setelah seorang diplomat Perancis mengatakan bahwa Paris berusaha untuk mengurangi penampilannya yang sangat pro-Haftar dengan mitra-mitranya di Uni Eropa untuk melawan Turki. Lainnya menyatakan sosok Haftar sangat penting untuk solusi politik di Libya.
Tidak ada tanda-tanda UEA, pendukung Haftar yang paling berkomitmen, menarik dukungan, kata dua diplomat Barat. ”Tentu mereka sedikit lebih keras dengan dia,” kata salah satu diplomat Barat itu. ”Namun, faktanya adalah tidak ada yang mengurangi dukungan untuk LNA dan tidak ada yang benar-benar menarik dukungan atas dirinya.” (REUTERS)