Fatah-Hamas Sepakat Gelar Pemilu untuk Pertama Kali dalam Hampir 15 Tahun
Adanya normalisasi hubungan diplomatik Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel serta menyusul kemungkinan beberapa negara Arab lain yang semula mendukung Palestina, persatuan Fatah-Hamas menjadi kebutuhan mendesak.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ISTANBUL, JUMAT — Dua faksi utama di Palestina, Fatah dan Hamas, sepakat untuk melaksanakan pemilihan umum dalam waktu enam bulan ke depan. Kesepakatan ini sebagai bagian dari penguatan internal Palestina yang selama ini terpecah. Penguatan di kalangan internal Palestina itu semakin dibutuhkan pascanormalisasi hubungan dua negara Arab, Uni Emirat Arab dan Bahrain, dengan Israel.
Kedua pihak sepakat, pemilu akan dilaksanakan secara bertahap, mulai dari pemilu legislatif, pemilihan presiden Otoritas Palestina, dan terakhir pemilihan Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Kesepakatan kedua faksi tentang pelaksanaan pemilu di Palestina disampaikan Jibril Rajub, pejabat senior Fatah, Kamis (24/9/2020). Pembicaraan intensif antara Pemimpin Fatah Mahmoud Abbas dan Kepala Politik Hamas Ismail Haniyeh telah berlangsung selama beberapa hari di Istanbul, Turki.
Saleh al-Arouri, pejabat senior Hamas, membenarkan adanya kesepakatan itu sebagai upaya besar untuk menyatukan kembali kekuatan di Palestina. ”Kali ini kami mencapai konsensus yang nyata. Perpecahan telah merusak tujuan nasional dan kami sedang bekerja untuk mengakhirinya,” kata Arouri.
Pemilihan parlemen terakhir di Palestina terjadi tahun 2006. Secara tidak terduga, Hamas—yang menguasai Jalur Gaza—menang telak pada pemilihan itu. Pascapemilihan, pertikaian antara kedua faksi politik itu tak pernah berhenti dan menyulitkan perjuangan Palestina mewujudkan negara merdeka.
Pemerintahan gabungan antara dua faksi hasil pemilihan tahun 2006 hanya berjalan singkat, yaitu hanya satu tahun. Bentrokan berdarah yang meletus tahun 2007 menjadi rangkaian sejarah tak terlupakan yang malah semakin melemahkan perjuangan Palestina. Hamas sejak saat itu menguasai Gaza. Sementara Fatah menjalankan Otoritas Palestina yang bermarkas di kota Ramallah, Tepi Barat.
Berbagai upaya rekonsiliasi, termasuk perjanjian pertukaran tahanan pada tahun 2012 dan kemudian pemerintahan koalisi yang berumur dua tahun, gagal untuk menutup keretakan hubungan kedua kelompok tersebut. Kini, dengan adanya normalisasi hubungan diplomatik Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel serta menyusul kemungkinan beberapa negara Arab lain yang semula mendukung Palestina, rekonsiliasi Fatah-Hamas menjadi kebutuhan mendesak.
Pejabat senior Palestina Hanan Ashrawi menyambut baik kesepakatan itu. Dia menyatakan, ini adalah langkah yang lama tertunda untuk merevitalisasi dan menyatukan Palestina.
”Perkembangan menjanjikan yang muncul dari pembicaraan antara Fatah dan Hamas adalah kabar baik bagi rakyat Palestina. Mengakhiri keretakan yang sudah lama berlangsung dalam sistem politik adalah prioritas mendesak,” kata Ashrawi.
Ashrawi meminta faksi-faksi Palestina untuk memasukkan kelompok perempuan dan anak muda ke dalam posisi dengan tingkat keterpilihan yang tinggi. Pada saat yang sama, Ashrawi mendesak komunitas internasional untuk memastikan Israel tidak menghalangi atau menghambat pelaksanaan pemilu di Palestina.
Tentang calon pemimpin Palestina yang akan datang, Hamas dan Fatah belum memastikan akan mengusung siapa. Fatah sendiri belum memastikan, apakah Abbas—yang sejak tahun 2005 memimpin Palestina—akan kembali bertarung pada pemilihan umum mendatang.
Menurut jajak pendapat Pusat Kebijakan dan Penelitian Palestina yang dilakukan awal tahun ini, Haniyeh memiliki peluang untuk memimpin Palestina bila dia memutuskan ikut dalam pencalonan.
Perundingan baru
Secara terpisah, di Amman, Jordania, menteri luar negeri empat negara, yaitu Jordania, Mesir, Perancis dan Jerman, mendesak Palestina dan Israel untuk terlibat dalam dialog yang kredibel serta memulihkan harapan pada proses perdamaian.
”Mengakhiri kebuntuan dalam pembicaraan damai, upaya menciptakan cakrawala politik dan pemulihan harapan melalui dialog yang kredibel harus menjadi prioritas,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Perundingan antara Israel dan Palestina telah dibekukan sejak 2014. Proposal perdamaian AS yang diumumkan pada Januari tahun ini disambut baik Israel, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Palestina karena terlalu bias pro-Israel.
Setelah pertemuan hari Kamis, para menteri empat negara tersebut menekankan urgensi dimulainya kembali perundingan yang serius, bermakna, dan efektif berdasarkan hukum internasional dan parameter yang disepakati langsung antara para pihak atau di bawah payung PBB.
”Kami menyerukan kepada para pihak untuk berkomitmen pada perjanjian sebelumnya dan melanjutkan dialog yang kredibel atas dasar ini,” kata mereka.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri Utusan Uni Eropa untuk Proses Perdamaian Timur Tengah Susanna Terstal, para menteri juga bertemu dengan Raja Jordania Abdullah II. Dalam pertemuan itu, Raja Abdullah II menegaskan kembali posisi lama yang dipegangnya bahwa mengakhiri konflik di Timur Tengah membutuhkan ”solusi dua negara dengan negara Palestina yang merdeka (dan) layak” berdasarkan perbatasan pra-1967 dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.
Para menteri juga menilai, penundaan pencaplokan Tepi Barat oleh Pemerintah Israel sudah seharusnya permanen setelah normalisasi hubungan Israel dengan UEA dan Bahrain. Mereka menekankan tidak boleh ada lagi rencana pencaplokan wilayah Palestina oleh Israel.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan, seluruh pihak terkait harus membangun kembali kepercayaan yang memungkinkan terjadinya dialog dan negosiasi. Adapun Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi memperingatkan bahaya kebuntuan politik dalam negosiasi Palestina-Israel.
”Harus ada kemajuan menuju perdamaian yang komprehensif dan adil,” kata Safadi. (AFP/REUTERS)