Sirnanya Keakraban di Teluk Kura-kura
Pandemi Covid-19 memaksa perubahan cara sidang Majelis Umum PBB. Akibatnya, New York kehilangan puluhan ribu orang yang biasanya menghadiri rangkaian kegiatan sidang tahunan itu.
Setiap pertengahan September, aparat keamanan di New York memasang perintang dan menutup kawasan lebih dari 50 hektar. Pada permulaan pekan keempat September, puluhan ribu orang mengantre memasuki kawasan itu. Hotel di sekitar Manhattan, Brooklyn, sampai Queens penuh oleh tamu dari sejumlah negara. Pandemi Covid-19 membuat semua itu tidak ada lagi.
Pemasangan perintang dan antrean ribuan orang menjadi bagian dari sidang Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang puncaknya digelar setiap pekan keempat September. Sepanjang Agustus, Sekretariat Jenderal PBB juga membuat bilik-bilik yang rata-rata dilengkapi dengan satu meja besar, dua meja kecil, dan beberapa kursi. Beberapa bilik malah hanya dilengkapi dua kursi dan satu meja kecil. Bilik-bilik itu dibuat di lobi dan lorong gedung Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat.
Baca juga : Indonesia Ingatkan Dampak Pengabaian Multilateralisme
Sementara bilik-bilik itu dibuat, para diplomat berkoordinasi dengan Setjen PBB untuk memesan penggunaannya. Sidang MU PBB tidak hanya menjadi ajang pidato perwakilan negara-negara. Biasanya ada ribuan pertemuan bilateral dan multilateral di sela-sela sidang MU PBB. Perwakilan negara memanfaatkan ajang tahunan itu untuk bersua dengan aneka alasan.
Banyak pertemuan tersebut hanya berlangsung dalam hitungan menit, biasanya hanya foto, bersalaman, atau tanda tangan dokumen oleh pejabat tertinggi di delegasi. Karena singkat, sebagian diplomat berseloroh, menyebut perjumpaan-perjumpaan itu sebagai diplomatic short time. Istilah ini menggabungkan makna ”kencan kilat” dan pertemuan diplomatik.
Selain membuat bilik pertemuan, pada Agustus, pusat layanan pengunjung kantor Setjen PBB mulai mengurus penerbitan kartu pengenal. Tanpa kartu itu, tidak bisa masuk ke kompleks Setjen PBB yang terletak di kawasan Teluk Kura-kura, New York. Kartu itu akan diperiksa di beberapa pos pemeriksaan sepanjang perjalanan menuju kompleks Setjen PBB.
Pada hari pertama rangkaian sidang MU PBB, rata-rata 25.000 orang masuk kompleks Setjen PBB. Kerap kali, para presiden, perdana menteri, wakil presiden, menteri-menteri, dan tentu saja diplomat serta anggota lain di delegasi negara harus berjalan lebih dari 1 kilometer dari tempat parkir terdekat atau tempat menginap. Mereka juga harus mengantre di beberapa lapis pos pemeriksaan.
Baca juga : PBB Tekankan Kembali Multilateralisme
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang selalu memimpin delegasi Indonesia di sidang MU PBB pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, memilih berjalan kaki dari hotel tempatnya menginap karena pertimbangan lebih praktis.
Pilihan jalan kaki itu, antara lain, disebabkan susahnya mencari tempat parkir di sekitar Setjen PBB dan lalu lintas yang kerap sangat macet. Pemimpin Asosiasi Hotel Kota New York Vijay Dandapani mengatakan bahwa hotel-hotel di kota New York meraih rata-rata 20 juta dollar AS selama rangkaian puncak sidang MU PBB. Pendapatan itu baru dari sewa kamar saja. ”Bayangkan berapa banyak orang dari 193 negara bertemu di sini, menyaksikan keragaman. Tidak ada kota seperti New York,” ujarnya.
Pertemuan seteru
Selama rangkaian sidang MU PBB, Presiden Iran sekalipun akan datang ke New York, yang menjadi bagian dari AS. Padahal, AS dan Iran bermusuhan puluhan tahun. Bahkan, AS menjatuhkan sanksi baru kepada Iran tepat pada peringatan 75 tahun PBB. Kala ke New York, Presiden Iran Hassan Rouhani kerap menginap di Hotel Millennium yang terletak persis di depan Setjen PBB dan berjarak tidak sampai 2 kilometer dari Trump Tower New York milik Presiden AS Donald Trump.
Pertemuan seteru menjadi salah satu warna sidang MU PBB. Presiden AS George W Bush pertama kali bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela sidang MU PBB tahun 2001. Bush menyebut pertemuan itu sebagai kesempatan melihat secara langsung dan merasakan jiwa Putin.
”Pertemuan secara langsung tidak selalu menyelesaikan masalah. Walakin, setidaknya memberi kesan kepada orang-orang yang berurusan dengan Anda,” kata Margaret MacMillan, pengajar Ilmu Hubungan Internasional di University of Toronto, Kanada.
Para presiden, perdana menteri, dan anggota delegasi ke sidang MU PBB menjadi bagian dari 65 juta pelawat ke New York setiap tahun. Bukan hanya perwakilan negara yang berkumpul di New York selama rangkaian sidang MU PBB. Ada pula perwakilan perusahaan, masyarakat madani, dan tentu saja para pendamping anggota delegasi memadati kota yang kini mencatatkan jumlah infeksi dan kematian tertinggi akibat Covid-19 itu. Tidak ada kota lain di bumi yang menyaingi New York dalam hal jumlah infeksi dan kematian akibat penyakit tersebut.
”Kami kota kosmopolitan, tempat pertemuan dunia. Sedih karena dunia tidak mendatangi kami,” kata pengelola salah satu restoran di Manhattan, Philippe Massoud.
Baca juga : New York Memulai Isolasi
Restoran bernama Ilili yang menyajikan menu Lebanon dan Laut Tengah itu hanya berjarak 1,6 kilometer dari Setjen PBB. Hingga 2019, restoran itu menjadi salah satu lokasi pertemuan para tokoh dan perwakilan sejumlah negara selama rangkaian sidang MU PBB. Banyak anggota delegasi sejumlah negara mulai berkenalan di sela-sela makan di restoran Massoud.
”Kami menyediakan tempat bagus untuk pertemuan diplomatik pertama. Sambil mengudap, orang mulai berbincang,” ujar Massoud.
Suasana yang lebih cair di restoran dibandingkan di dalam kompleks Setjen PBB membuat orang lebih santai dan bisa berbicara lebih leluasa. Pertemuan akrab dan hangat, bahkan kala para pihak baru berkenalan, dimungkinkan dalam suasana seperti itu. ”Kita akan kehilangan hubungan itu, hubungan pribadi yang saya yakini sangat penting agar diplomasi mangkus,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Pandemi
Sayangnya, pandemi membuat suasana itu mustahil didapat lagi. Semua kedai makan dan minum dilarang melayani pesanan untuk makan di tempat. Patsy’s, kedai piza yang berjarak hampir 2 kilometer dari Setjen PBB, juga mengalami hal seperti Ilili. ”Ada orang yang kami kenal bertahun-tahun datang ke sini setiap sidang. Tahun ini, kami merindukan mereka,” ujar Gus Menessis, pemilik Patsy’s.
Presiden MU PBB 2020 Volkan Bozkir setuju, percakapan di sela-sela makan dan minum di kompleks atau luar kompleks Setjen PBB amat penting. ”Tidak ada yang bisa menggantikan komunikasi seperti itu. Membantu orang memahami pikiran pihak lain dan membuka peluang menemukan cara berkompromi,” kata diplomat Turki itu.
Baca juga : Telepon Perempuan Tengah Malam
Pertemuan langsung dan saling berhadapan sangat penting dalam proses pembangunan hubungan lintas bangsa. Di tengah pandemi, komunikasi lintas negara semakin dibutuhkan. Sayangnya, pandemi juga menyulitkan upaya membangun komunikasi lintas negara.
”Itulah inti PBB. Untuk membuat permainan berlangsung, Anda harus punya empati, memperlakukan semua secara diplomatis. Bagaimana melakukan itu tanpa manusia sebenarnya?” kata David Sax, penulis buku The Revenge of Analog: Real Things and Why They Matter. Buku itu membahas pentingnya pertemuan langsung.
Menessis, Massoud, dan Dandapani mewakili kemuraman New York hari-hari ini. Tidak ada keceriaan di sekitar Teluk Kura-kura karena pandemi memaksa cara sidang MU PBB berganti rupa.
Bagi banyak negara, kerja diplomasi saat masa pandemi mungkin lebih murah dan mengurangi kerepotan mencari penginapan, makan, hingga transportasi. Sayangnya, pertemuan virtual tidak menyediakan peluang untuk saling mengakrabkan diri di antara anggota delegasi lintas negara. Keakraban yang bisa menghasilkan kejutan dan terobosan. ”Kehilangan kesempatan untuk menemukan cara-cara menyelesaikan masalah,” kata mantan Wakil Kepala Staf Sekretaris Jenderal NATO Jeff Rathke.
Sidang virtual
Seperti aneka pertemuan antarnegara dalam beberapa bulan terakhir, rangkaian sidang MU PBB tahun ini juga digelar secara virtual. Alih-alih dihadiri ribuan orang, aula utama gedung MU PBB hanya boleh diisi tidak sampai 300 orang. Mereka terdiri dari diplomat yang bertugas di perwakilan tetap setiap negara untuk PBB serta para pejabat dan pekerja PBB. Para kepala negara atau kepala pemerintahan tidak lagi hadir dan berpidato di ruang utama MU PBB. Mereka mengirimkan rekaman pidato yang akan disiarkan PBB.
Baca juga : Pandemi Jadi Batu Uji Diplomasi
Perubahan cara sidang bukan berarti tidak ada kesibukan di Setjen PBB. Karena ini pertama kalinya sidang digelar secara hibrida, yaitu gabungan virtual dan perwakilan negara di Setjen PBB, semua pihak masih sama-sama belajar.
Guterres pun khawatir dengan cara baru sidang MU PBB. Pokok kekhawatirannya adalah menipisnya peluang pertemuan perwakilan negara yang biasanya sangat banyak di sela-sela sidang MU PBB. Kesibukan para diplomat dan pekerja Setjen PBB antara lain berkoordinasi untuk menentukan urutan waktu pidato perwakilan negara.
Kepala negara atau kepala pemerintahan mendapat prioritas, setelah itu baru pejabat lebih rendah. Semakin rendah jabatan perwakilan yang berpidato, giliran negara yang diwakilinya akan semakin mendekati waktu akhir sidang MU PBB.
Baca juga : Indonesia Damaikan AS-China di Sidang DK PBB, Resolusi Disahkan Aklamasi
Dalam situasi normal, perwakilan negara bisa berpidato melebihi alokasi yang dianjurkan, yakni 15 menit. Meski aula utama tetap dipadati banyak orang, tidak sedikit yang memilih keluar ruangan untuk aneka keperluan kala perwakilan suatu negara berpidato. Kini, banyak orang bertanya, siapa yang akan menyimak rekaman pidato Presiden Trump, Presiden Putin, hingga Presiden Indonesia Joko Widodo? (AP)