Pandemi Jadi Sorotan Para Pemimpin Negara dalam Sidang Majelis Umum PBB
Pandemi Covid-19 menjadi momen pembuktian pentingnya multilateralisme daripada unilateralisme. Semua kepala negara menyoroti penguatan kerja sama global ini dalam sidang Majelis Umum PBB.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang tahun ini diadakan secara virtual, menjadi panggung para kepala negara untuk mendorong kerja sama global mengatasi pandemi Covid-19, Rabu (23/9/2020).
Presiden RI Joko Widodo, yang tahun ini berpidato di Sidang Umum Tahunan PBB, memasukkan isu pandemi dalam pidatonya. Presiden menekankan pentingnya penguatan kerja sama di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi untuk mengatasi Covid-19 yang telah memukul sektor vital banyak negara.
Dalam pidatonya yang disampaikan dalam rekaman video itu, Presiden Jokowi juga kembali mengingatkan pentingnya jaminan akses yang setara bagi semua negara di dunia terhadap vaksin Covid-19 yang aman dan terjangkau. ”Vaksin akan menjadi game changer dalam perang melawan Covid-19,” ujar Presiden Jokowi.
Selain soal pandemi Covid-19, Presiden juga menyampaikan pesan tentang perjuangan Palestina, multilateralisme, dan penguatan kepemimpinan kolektif global dalam hubungan internasional.
Sidang Umum Tahunan PBB kali ini mengambil tema ”Menegaskan Kembali Komitmen Kolektif terhadap Multilateralisme”. Tema ini diambil ketika pandemi Covid-19 telah menelan korban jiwa hampir 1 juta jiwa. Ancaman penyakit yang mematikan ini seharusnya membuat dunia bahu-membahu dan bersatu mencari solusi bersama.
Para kepala negara yang video pidatonya turut diputarkan dalam Sidang Tahunan PBB juga menyuarakan penguatan multilateralisme dalam mengendalikan pandemi, termasuk dalam mengatasi dampaknya yang multidimensi.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, misalnya, menyerukan penangguhan pembayaran bunga pinjaman negara-negara Afrika dan memperbarui fokus eradikasi kemiskinan global. Kemudian Presiden Chile Sebastian Pinera menyerukan kepada negara-negara adidaya agar terus bekerja sama dan berhenti menghasilkan ”kurangnya kepemimpinan”.
Sementara itu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menguatkan pernyataan para pemimpin negara lain dengan mengatakan bahwa ketika vaksin Covid-19 sudah tersedia, harus bisa diakses oleh semua negara.
Namun, berbeda dengan negara berkembang yang mendorong semangat kolaborasi, beberapa kepala negara kuat seperti ingin menunjukkan semangat unilateral. Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin menawari personel PBB vaksin Covid-19 buatan negara itu.
Adapun Presiden China Xi Jinping mengatakan, ada banyak calon vaksin Covid-19 di China yang kini sedang dalam tahap uji klinis fase III. Pemerintah China akan memberikan jutaan vaksin Covid-19 buatannya kepada PBB untuk memerangi pandemi. ”Sebanyak 1,4 miliar warga China yang tidak gentar oleh Covid-19 berusaha keras mengendalikan pandemi,” ujar Xi.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa AS telah “berperang melawan musuh besar, virus China.” Ia juga menyerukan kepada PBB agar menuntut pertanggungjawaban China atas virus korona dan hal-hal terkait lainnya.
Kematian tertinggi
Trump, yang sedang berkampanye menuju Pilpres AS pada November nanti, tidak menyebutkan bahwa pada Selasa (22/9/2020) AS mencapai tonggak sejarah yang buram terkait pandemi Covid-19. Otoritas AS mencatat, angka kematian akibat Covid-19 di negara itu 200.000 kasus, jumlah tertinggi di seluruh dunia.
Saeed Khan, Direktur Studi Global di Wayne State University di Michigan, AS, mengatakan, pandemi Covid-19 telah menjadi metafora globalisme versus nasionalisme.
Pandemi telah membawa perpecahan antarnegara, membawa banyak hal untuk diperdebatkan. ”Resistensi terbesar datang dari rezim yang hipernasionalistis,” ujarnya.
Profesor Hubungan Internasional dari University of Oxford, Richard Caplan, mengatakan, meski ada ”serangan” terhadap multinasionalisme sekitar pandemi, khususnya dengan munculnya ”nasionalisme vaksin”, ada juga indikasi bahwa Covid-19 bisa membawa pada penguatan kerja sama, bahkan di antara negara yang bermusuhan sekalipun.
Awal tahun ini, Caplan menyebut, Israel dan otoritas Palestina mengoordinasikan upaya di antara kementerian kesehatan mereka. Ribuan pekerja warga Palestina bisa tetap berada di Israel dalam waktu yang lama.
”Sayangnya kerja sama praktis yang belum pernah terjadi ini gagal, sebagian karena ketegangan politik terkait dengan rencana perdamaian Trump di Timur Tengah dan langkah Israel menganeksasi wilayah Palestina,” kata Caplan.