Lewat Pendidikan, Keagamaan, dan Media, Arab Saudi Ubah Persepsi tentang Yahudi
Arab Saudi terus melakukan perubahan radikal. Salah satunya, mengganti isi buku pelajaran sekolah dan khotbah yang penuh kebencian, termasuk terhadap warga Yahudi. Apakah ini akan berujung pada normalisasi dengan Israel?
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Pemerintah Arab Saudi urung menormalisasi hubungan diplomatiknya dengan Israel. Namun, upaya mencoba untuk menghapus dan mengganti isi buku pelajaran sekolah dan khotbah yang penuh kebencian merupakan langkah ”normalisasi” dan perubahan radikal yang tengah coba dilakukan di internal Arab Saudi. Hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan golongan lain adalah tujuan akhir.
Riyadh menyatakan tidak akan mengikuti jejak dua sekutunya, Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel tanpa penyelesaian menyeluruh persoalan Palestina. Meski sebenarnya mereka menjalin hubungan tidak resmi, bawah tanah, dengan Israel.
Bagi Israel, bisa membangun hubungan diplomatik resmi dengan Arab Saudi—negara terkemuka di dunia Arab, sekaligus menjadi pusat rujukan bagi umat Islam dunia—tentu saja menjadi sasaran utama negara tersebut. Namun, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi masih menimbang-nimbang manfaat dan mudaratnya. Banyak warga Arab Saudi bersimpati pada perjuangan rakyat Palestina. Mereka, dalam pandangan Pemerintah Arab Saudi, mungkin tidak siap untuk menerima hubungan diplomatik yang terbuka Arab Saudi-Israel.
Meskipun belum secara terbuka, Arab Saudi tampaknya ingin mengubah persepsi rakyatnya tentang orang Yahudi yang selama ini dipersepsikan buruk oleh para ulama kerajaan dan media yang terafiliasi dengan pemerintah. Hal itu mungkin bisa menjadi fondasi yang berujung pada pengakuan Arab Saudi terhadap Israel.
Upaya yang tengah dilakukan adalah mengubah substansi pengajaran tentang orang Yahudi dan non-Muslim di buku pelajaran sekolah. Dari sikap merendahkan martabat orang-orang di luar Islam menjadi sikap saling menghormati. Ini adalah bagian dari kampanye Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) untuk memerangi ekstremisme dan radikalisme di pendidikan.
Melibatkan ulama
Kampanye ini juga menjangkau para ulama pemegang otoritas di masjid-masjid. ”Pemerintah Saudi juga telah melarang penghinaan terhadap orang Yahudi dan Kristen di masjid,” kata analis Saudi Najah al-Otaibi.
Salah satu perubahan ini sudah dilakukan ulama terkemuka Arab Saudi, yang dikenal luas seantero dunia Muslim. Abdulrahman as-Sudais, yang dikenal sebagai Imam Masjidil Haram, tempat suci umat Islam, telah berbicara mengenai hubungan persahabatan antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang Yahudi. Pesan yang menjadi ramai diperbincangkan adalah ketika dia menguraikan masalah hubungan antaragama, hubungan anak-orangtua yang berbeda agama, dan Nabi Muhammad SAW yang bertetangga baik dengan Yahudi di Madinah. Tujuannya: mendukung toleransi beragama (Kompas, 21/9/2020).
Isi khotbah Abdulrahman as-Sudais, Kepala Pengelola Dua Masjid Suci (Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah) memicu percakapan dan juga perdebatan di media sosial Arab Saudi.
Mohammed al-Issa, ulama Arab Saudi lainnya dan pemimpin di Liga Muslim Dunia, mencoba hal yang selama ini ditabukan: melawat Polandia untuk acara peringatan 75 tahun kamp Nazi di Auschwitz. Tidak hanya itu, awal tahun ini, Riyadh juga mengumumkan pemutaran film bertema Holocaust untuk pertama kalinya di sebuah festival film. Namun, pemutaran itu urung karena pandemi Covid-19.
Tindakan nyata juga dilakukan oleh MBS, sebutan bagi putra mahkota Kerajaan Arab Saudi. Dia menjamu seorang rabi, pemuka agama Yahudi, David Rosen, Februari lalu. Perjamuan pertama kalinya dalam sejarah modern Arab.
Beberapa peristiwa itu semua mengindikasikan bahwa berbicara tentang normalisasi hubungan Arab-Israel, bukan menanyakan soal apakah akan terjadi normalisasi tersebut, melainkan kapan waktu yang tepat normalisasi itu akan dilakukan.
”Ketika berbicara tentang Arab Saudi dan Israel membangun hubungan, itu adalah pertanyaan ’kapan’, bukan ’jika’,” kata Marc Schneier, seorang rabi asal Amerika Serikat yang memiliki hubungan dekat dengan sejumlah penguasa Teluk.
Schneier menambahkan, hal ini adalah bagian dari sebuah proses yang telah dan sedang dilakukan oleh semua negara Teluk, yakni mendorong hubungan yang lebih hangat antara umat Islam dan Yahudi. Setelah itu, negara-negara tersebut akan bergerak lebih jauh dan lebih berani untuk membahas normalisasi hubungan Israel-Arab.
Soal Yahudi, bukan Israel
Situs berita berbahasa Inggris terkemuka Arab Saudi, Arab News, juga tidak ketinggalan mulai menggaungkan ”kehangatan” hubungan kedua negara, dimulai dengan mengubah gambar di akun media sosialnya, Twitter dan Facebook. Redaksi mengucapkan selamat Tahun Baru Yahudi, Rosh Hashanah, dalam bahasa Ibrani. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan media Arab Saudi.
Media itu juga menerbitkan serial panjang tentang kehidupan orang Yahudi di Lebanon. Mereka juga tengah mempersiapkan cerita yang sama pada komunitas Yahudi kuno yang pernah tinggal dan berkembang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Kerajaan Arab Saudi.
Editor Arab News, Faisal Abbas, mengatakan kepada AFP bahwa liputan itu ”tidak terkait dengan Israel”, tetapi ditujukan untuk berhubungan dengan ”Arab Yahudi di seluruh dunia”. Meski begitu, banyak pihak menilai liputan ini menandai pergeseran kebijakan redaksi yang selama ini dikontrol ketat oleh pemerintah.
Dalam bidang seni pertunjukan, pergeseran yang sama juga terjadi. Dua drama televisi disiarkan jaringan televisi MBC yang dikendalikan Pemerintah Arab Saudi memicu kontroversi karena ceritanya menerabas tabu dalam hal berbisnis dengan Israel. Salah satu karakternya menyebutkan bahwa Palestina adalah ”musuh” sejati karena menghina Kerajaan Arab Saudi ”siang dan malam” meski telah mendapat dukungan puluhan tahun.
Langkah tersebut menunjukkan bahwa Kerajaan Arab Saudi tidak menentang normalisasi dengan Israel setelah selama beberapa dekade mereka dengan tegas mendukung Palestina, secara politik dan keuangan.
Namun, ada pandangan lain soal normalisasi ini. Menurut Giorgio Cafiero, analis lembaga Gulf State Analytics. ada pandangan bahwa normalisasi hubungan antara Israel dan pemerintahan negara-negara Arab yang tidak dipilih oleh rakyatnya tidak sama dengan ”Israel berdamai dengan orang-orang Arab”.
Data jajak pendapat yang dilakukan oleh Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat menunjukkan bahwa banyak warga Saudi tidak mendukung kesepakatan negaranya dengan Israel. David Pollock, analis lembaga tersebut, mengatakan, hanya 9 persen warga Arab Saudi yang setuju bahwa orang-orang yang ingin berbisnis atau menjalin kontak olahraga dengan Israel harus diizinkan untuk melakukannya.
Pendapat Bader, salah satu warga Arab Saudi, mungkin mewakili hasil jajak pendapat tersebut. ”Damai apa? Damai setelah semua yang (Israel) lakukan? Pembunuhan dan perang? Sulit untuk ini terjadi antara (Arab Saudi dan Israel). Saya tidak akan mendukungnya,” kata Bader, seorang pemuda Arab Saudi di Riyadh. (AFP)