Pemerintah dan Taliban Belum Temukan Pijakan yang Sama
Perundingan intra-Afghanistan belum menunjukkan kemajuan. Pemerintah dan Taliban masing-masing bersikukuh dengan pandangannya.
DOHA, SELASA — Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban belum menemukan pandangan dan pijakan yang sama untuk memulai tahapan yang sangat awal dalam perundingan intra-Afghanistan, yang telah berlangsung lebih dari sepekan.
Jurang perbedaan tidak hanya pada masalah gencatan senjata, yang diinginkan banyak pihak menjadi hal pertama yang disepakati dan menjadi kebutuhan mendesak di lapangan, tapi juga hal mendasar lainnya.
Banyak pihak menilai kondisi ini menunjukkan jalan terjal yang harus ditempuh tim perunding untuk melewatinya agar luka-luka akibat perang bisa disembuhkan.
Sejak pembukaan pelaksanaan perundingan yang banyak dihadiri para pihak terkait, termasuk Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, Sabtu (12/9/2020), kedua belah pihak mengonfirmasi bahwa mereka memiliki pertentangan di hampir setiap masalah.
”Kami berbicara dengan pihak yang sulit dan tidak fleksibel. Oleh karena itu, segala sesuatunya tidak bergerak maju,” kata seorang perunding senior di pihak Pemerintah Afghanistan, Selasa (22/9/2020).
Kelompok Taliban muncul menjadi kekuatan politik baru di awal 1990-an setelah perselisihan antarfaksi diantara kelompok pejuang Mujahidin yang berperang melawan pendudukan Uni Soviet (sekarang Rusia), yang berakhir tahun 1989.
Dengan dukungan para pelajar dari Pakistan, para pejuang yang mayoritas beretnis Pashtun mendirikan gerakan yang sekarang dikenal sebagai Kelompok Taliban.
Baca juga: Topik Gencatan Senjata Permanen Jadi Tantangan Perundingan
Sikap konservatif mereka membuat perempuan, dalam pandangan sebagian besar warga dunia, terkekang.
Menghalangi perempuan untuk bisa mengeyam pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, melarang bekerja, hingga mengatur cara berpakaian adalah beberapa kebijakan yang diambil ketika Taliban berkuasa.
Jelang perundingan intra-Afghanistan, Taliban menyatakan mereka akan menghormati hak-hak perempuan. Namun, untuk beberapa posisi penting di struktur pemerintahan atau kehakiman, mereka masih belum sepakat.
”Minggu pertama telah menunjukkan betapa rumitnya pembicaraan secara umum, dengan yang paling penting adalah sistem politik Afghanistan di masa depan,” kata Graham Smith, seorang analis independen.
Tiga diplomat yang mengikuti dari dekat jalannya perundingan ini mengatakan kepada Reuters bahwa pembicaraan itu macet mengenai poin-poin penting dari hukum Islam.
Pemerintah dan Taliban yang sama-sama mengikuti mazhab Hanafi, salah satu mazhab utama di dalam Islam, memiliki perbedaan pandangan soal penyatuan dan penerapan hukum Islam ke dalam kehidupan masyarakat.
Hal itu diungkapkan seorang diplomat senior Barat di Doha yang menolak untuk disebutkan namanya karena sensitifnya pembicaraan. Perbedaan itulah yang memengaruhi posisi pada isu-isu utama, seperti hukuman atas kejahatan, hak-hak perempuan, dan kebebasan berbicara.
Juru bicara Presiden Ashraf Ghani, Sediq Sediqqi, mempertanyakan apa yang dia katakan sebagai desakan Taliban untuk menyelesaikan masalah sistem Islam di awal pembicaraan.
”Ini tidak selaras dengan keinginan rakyat kami untuk perdamaian abadi dan sistem politik Afghanistan saat ini yang merupakan negara Republik Islam dan memiliki legitimasi,” kata juru bicara Sediq Sediqqi.
Baca juga: Membuka Kotak Hitam Afghanistan
Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban di Afghanistan, membalikkan pernyataan Sediqqi yang dinilainya sebagai retorika antiperdamaian.
Mujahid, dikutip dari laman resmi Taliban, mengatakan, pemahaman yang sempit dan dangkal dari para pejabat Pemerintah Afghanistan tentang sejarah dan hukum Islam itulah yang membuat perundingan ini tidak bisa berjalan.
”Apa yang bisa dibanggakan oleh para pejabat pemerintah di Kabul dari sebuah sistem demokrasi yang dipaksakan, yang tidak memberikan manfaat apa pun pada rakyat. Bahkan, sistem ini memperlihatkan adanya perbudakan, penyuapan, kekuasaan yang korup dan tidak kompeten yang berujung pada korupsi serta ketidakadilan bagi rakyat,” kata Mujahid.
Salah satu diplomat yang menjadi tim pengarah perundingan mengatakan bahwa fokusnya untuk saat ini adalah menjaga para perunding tetap di meja, tidak berbalik arah dan bahkan lebih buruk lagi, mengakhiri perundingan tanpa kesepakatan apa pun.
”Mereka meningkatkan lapangan bermain mereka. Tantangan bagi kami adalah memastikan tidak ada yang meninggalkan lapangan,” kata diplomat itu.
Korban berjatuhan
Di lapangan, puluhan korban tewas tidak hanya jatuh dari kedua pihak, yaitu otoritas keamanan Afghanistan dan Taliban, tapi juga dari warga sipil. Gencatan senjata yang dinanti-nanti dan diharapkan menjadi titik awal yang cerah bagi keberlanjutan perundingan tak kunjung muncul.
Sedikitnya 57 anggota pasukan keamanan Afghanistan tewas dan puluhan lainnya cedera dalam bentrokan yang terjadi sepanjang Senin (21/9/2020). Ini adalah bentrokan kedua setelah sehari sebelumnya, menurut Wakil Gubernur Provinsi Uruzgan Sayed Mohammad Sadat, bentrokan antara dua pihak berkonflik mengakibatkan 24 orang anggota pasukan keamanan Afghanistan tewas ketika pejuang Taliban menyerang pos pemeriksaan keamanan.
Baca juga: Perundingan di Doha Melambat, Serangan Bersenjata di Afghanistan Berlanjut
Bentrokan dan korban juga dilaporkan di Provinsi Takhar, Helmand, Kapisa, Balkh, Maidan Wardak, dan Kunduz. Di Balkh, menurut juru bicara Pemprov Balkh Monir Ahmad Farhad, Taliban menyandera tiga anggota Direktorat Keamanan Nasional Afghanistan.
Taliban tidak memastikan adanya korban di pihak mereka. Namun, menurut juru bicara korps militer Pamir, Abdul Hadi Jamal, sebanyak 54 pemberontak tewas dalam bentrokan di provinsi Kunduz, Takhar, dan Baghlan pada Minggu (20/9/2020) malam.
Juru bicara pemerintah provinsi Maidan Wardak, Muhibullah Sharifzai, mengatakan, 26 pejuang Taliban tewas dalam bentrokan di sana.
Juru bicara kementerian dalam negeri Tariq Arian mengatakan, serangan Taliban telah menewaskan 98 warga sipil dan melukai 230 lainnya dalam dua minggu terakhir di 24 provinsi.
Baca juga: Jalan Terjal Menuju Damai di Afghanistan
Setidaknya 24 warga sipil tewas pada Sabtu dalam serangan udara di pangkalan Taliban di utara Provinsi Kunduz. Pejabat Kementerian Pertahanan mengatakan, 40 pejuang Taliban tewas, tetapi mereka tidak mengonfirmasi korban sipil.
Terlepas dari tekanan internasional, terutama dari Washington, Taliban terus menolak gencatan senjata sampai kedua belah pihak mencapai kesepakatan. (REUTERS)