Poros AS ke Asia, Bertujuan Menekan China (2)
Amerika Serikat memusatkan perhatian ke Asia Pasifik untuk menekan China. Namun, China memiliki segala yang diperlukan untuk melawan balik Amerika Serikat.
Kemunculan China membuat Amerika Serikat mencanangkan pemusatan perhatian ke Asia Pasifik. Ini bertujuan untuk menahan, menekan, hingga jika perlu memerangi China. Demikian dikatakan John Mearsheimer, pakar politik dan hubungan internasional dari University of Chicago. Perang, meski demikian, tidak selalu dalam wujud perang konvensional.
Mearsheimer mengatakan, ”Saat Hillary Clinton menjabat menlu, pada 2011 dia menyatakan poros perhatian AS kini adalah Asia.” Istilah pengalihan poros AS ke Asia Pasifik ini, kata halus dari sikap menghadapi kekuatan baru, dalam hal ini China. Materi dan sumber daya diarahkan ke Asia Pasifik.
Hillary mengelaborasi pernyataan ini lewat tulisannya sendiri di Foreign Policy berjudul ”America’s Pacific Century” pada 11 Oktober 2011. Hillary menegaskan, adalah kepentingan AS dan global agar AS tetap hadir di Asia.
Menurut Mearsheimer, poros ke Asia ini adalah fenomena kecemburuan, takut tertinggal, dan pertanda AS ingin berkuasa hingga di Asia. Dengan zaman Asia yang berkembang secara ekonomi, termasuk di luar China, AS tidak ingin ketinggalan. AS ingin menikmati ekonomi Asia karena ekonomi adalah sumber kekuatan.
Sesungguhnya memang Asia Pasifik dalam situasi relatif damai-damai saja setidaknya hingga kemunculan China, yang terus menguat bersama. Lalu, logikanya, mengapa AS harus memfokuskan sumber daya ke Asia Pasifik? Kembali ke postulat awal, AS sebagai negara kuat, tidak ingin tersisih dan ingin meraup manfaat ekonomi.
Bingung, tetapi paham situasi
Poros AS ke Asia ini mengkristalkan perseteruan di antara dua kekuatan besar. Dalam berbagai langkah AS yang terlihat, perseteruan ini makin mengental dan terus-menerus terjadi. AS memaksa China mendevaluasi mata uang renminbi. Tekanan ini sudah terjadi sejak Presiden Barack Obama.
Di era Obama, lewat Hillary Clinton, China dipaksa membuka akses bagi Google dan ditolak oleh China. AS tanpa henti juga memaksa China untuk terus membuka pasar dan memberikan akses pada korporasi AS. Sembari itu, tekanan terus muncul, hingga AS menuduh China mencuri teknologi.
Baca juga: Amerika Si ”Jealous Guy” Versus China (1)
Tekanan, walau belum sekuat sekarang ini, juga sudah muncul sejak era Presiden George W Bush. Kini, tekanan berlangsung lebih keras di bawah Presiden Donald Trump. Serangan AS kepada China seakan tiada akhirnya, termasuk pengenaan tarif atas impor China yang diperluas ke berbagai komoditas.
China juga diganggu lewat isu kemerdekaan di Hong Kong. AS mengakui secara parsial dan formal hak Taiwan sebagai negara pada tingkat tertentu. AS juga mengganggu China lewat isu hak asasi manusia di Xinjiang.
China diserang lewat berbagai tuduhan, apalagi saat China mencanangkan ”One Belt One Road” (OBOR), sebuah program pembangunan infrastruktur global. China juga semakin dicurigai dengan program pengembangan ”blue navy Line”, merujuk program pengembangan jalur maritim China di seluruh dunia. Derajat ketidaksukaan ”a jealous guy” makin meningkat dan inilah alasan AS terus menekan China.
Tuntut perubahan tatanan
Soal China itu, AS sebenarnya lebih dari sekadar ”a jealous guy”. Tantangan dari China juga memang muncul. China, misalnya, lebih berani dari Eropa atau negara mana pun untuk menuntut penyusunan kembali tatanan dunia lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), juga lewat Bank Dunia, lewat IMF yang sekian lama didominasi AS dan Eropa. China menuntut porsi hak suara di lembaga-lembaga internasional itu.
Tuntutan China itu tidak terjadi atau belum terwujud. Akan tetapi, dengan kekuatan ekonominya, China mengupayakan langkah penyusunan kembali tatanan dunia lewat BRICS, nama kumpulan untuk Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Ini diperkuat lagi dengan pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). ”Pinjaman China lewat AIIB ke negara-negara berkembang melampaui jumlah yang dipinjamkan Bank Dunia,” kata Martin Jacques saat berbicara pada ”32nd Annual Camden Conference” di Camden, Maine, AS, 22 Februari 2019.
Baca juga: Teriakan Trump soal China Sia-sia Saja
Martin Jacques adalah penulis buku When China Rules the World: the End of the Western World and the Birth of a New Global Order, diterbitkan pada 2009. Martin juga profesor tamu di Tsinghua University (Beijing) dan di Fudan University (Shanghai). Dia juga Senior Fellow di Department of Politics and International Studies, Cambridge University.
Bagi China, semua hal ini, kekuatan dan segala sepak terjang sebagai kekuatan baru, merupakan kewajaran. ”Memang logis apa yang dilakukan China,” demikian Mearsheimer. China sebagai kekuatan baru logis memperluas pengaruh global. Akan tetapi, AS tidak akan membiarkan itu berjalan mulus, kata Mearsheimer.
Kemudian, muncul tuduhan bahwa pertarungan ini adalah karena China yang komunis berhadapan dengan AS yang demokratis. ”Ini tidak ada urusan dengan ideologi. Itulah alamiahnya pertarungan di antara kekuatan,” kata Mearsheimer.
Meredam, tetapi tak mundur
Meredam kesan persaingan yang dipersepsikan kian memanas, mulai dari Presiden Xi Jinping hingga Menlu Wang Yi, menekankan China tidak mengejar hegemoni dan tidak ingin menjadi kekuatan hegemoni. China bolak-balik mengatakan tidak ingin menjadi nomor satu di dunia. China ingin hidup berdampingan dengan damai.
Untuk itu Presiden Xi hadir pada Januari 2017 di World Economic Forum, Davos, Swiss. Pemimpin China dan para pakar China, termasuk media China, mengumandangkan win-win solution serta menepis kekhawatiran bahwa China akan menggusur AS.
Martin Jacques mendukung ini dengan melihat China berdasarkan sejarah. ”Tidak ada sejarahnya China ingin hegemonik di masa lalu. Dan, rasanya China pun tidak akan menjadi seperti itu di masa datang,” kata Jacques. China sebagai kekuatan baru yang besar akan fokus pada urusan sosial politik di dalam negeri walau berekspansi ke seberang. Akan tetapi, yang jelas, kata Jacques, China akan tetap fokus pada politik domestik.
Namun, AS tidak menerima kenyataan ini, setidaknya kubu Trump tidak bisa menerima hal itu. Profesor dari National University of Singapore, Kishore Mahbubani, mengatakan, agar AS paham. Dia katakan, China memiliki akar dan nilai Confusius. Intinya, Mahbubani mengatakan China itu cinta damai.
Harian China Daily edisi 22 Maret 2020 menuliskan pernyataan Dubes China untuk AS, Cui Tiankai. ”Agar pemikiran tentang ’jebakan Thucydides’ dibuang jauh-jauh,” demikian Cui.
Cui Tiankai menyerukan pemikiran lebih serius tentang fondasi hubungan bilateral. Cui bicara dalam konteks pandemi Covid-19. ”Dalam beberapa tahun terakhir kita sibuk membahas soal jebakan Thucydides. Namun, lihatlah situasi sekarang, virus yang tak terlihat telah memberikan dampak besar kepada kita semua, hanya sedikit yang bisa mengantisipasi ini,” kata Cui.
Tidak mereda
Tidak ada gejala perseteruan akan mereda. AS bahkan menggalang kekuatan memblokade China. Paling nyata, langkah ini terlihat dalam kasus Huawei. AS memengaruhi banyak negara agar menghindari penggunaan teknologi Huawei. Bahkan, lewat Kanada, AS telah menahan Direktur Keuangan Huawei Meng Wanzhou dengan alasan Huawei turut mendukung teknologi informasi di Iran.
China memang menolak sanksi AS atas Iran. Sanksi oleh AS atas Iran tidak berlaku bagi China. Sikap China jelas soal ini.
Langkah AS atas China lewat Huawei ini dinamakan containment, semacam pencegatan bagi China menuju kekuatan baru. Ini termasuk dengan pembentukan balancing power oleh AS entah itu lewat kolaborasi dengan Jepang, Australia, Vietnam, hingga India.
China merasakan tekanan ini, tetapi terus melanjutkan programnya sembari melawan sekaligus. ”Memang China tidak akan mau diam juga,” kata Mearsheimer. Itulah pertarungan di antara kekuatan, China tidak akan diam dan China logis melawan.
Dan, China memang tidak hanya melanjutkan rencananya, tetapi juga melawan. Ini termasuk dengan menyerang Australia karena berpihak ke AS. ”Negara Kanguru” ini sampai disebutkan oleh China sebagai sampah kulit putih di Asia Pasifik. ”Australia berisiko untuk tergelincir menjadi negara miskin di Asia Pasifik,” demikian dituliskan Yu Lei di The Global Times edisi 31 Agustus 2020. Penulis adalah peneliti di Liaocheng University dan di Australian Studies Center at Beijing Foreign Studies University.
Bahkan, China lewat Menlu Wang Yi, seperti diberitakan Xinhua pada 29 Juli 2020, menyebut AS sebagai tidak rasional dan bertindak memalukan. ”China akan membuat balasan tegas dan rasional pada aksi-aksi AS,” kata Wang. Sejauh ini, China tentu membela kepentingannya sembari menyuarakan perdamaian. (Bersambung)